PARBOABOA - Asap kendaraan, industri, juga aktivitas bongkar muat batu bara di pelabuhan, disebut-sebut menjadi penyebab utama pencemaran udara di Kota Jakarta. Peralihan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil ke kendaraan menggunakan energi listrik pun digadang-gadang menjadi salah satu solusinya.
Penggunaan mobil listrik di kota-kota besar pun belakangan mulai naik.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales (dari pabrik ke dealer) mobil listrik sepanjang Mei 2023 saja sebanyak 82.097 unit, apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya terjadi kenaikan sekitar 39,35 persen.
Peningkatan penjualan wholesales juga terjadi pada periode Januari-Mei 2023, yaitu sebanyak 423.404 unit. Gaikindo mencatat, angka tersebut naik sekitar 6,88 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 396.120 unit.
Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto mengatakan, peningkatan jumlah penjualan ini karena adanya keuntungan dari penggunaan kendaraan listrik. Salah satunya, biaya operasional kendaraan listrik jauh lebih rendah dari konvensional.
Kendati demikian, Jongkie menyebut harga kendaraan listrik yang relatif mahal menjadi salah satu kelemahan, sehingga belum terjangkau masyarakat luas.
“Karena daya beli masyarakat ada di harga mobil Rp300 juta ke bawah. Selain itu, penggunaan mobil listrik juga tentu akan mengurangi polusi,” kata Jongkie kepada Parboaboa, Jumat (7/7/2023).
Belum ada survei yang menjelaskan bahwa peningkatan pembelian mobil listrik di Indonesia dipicu karena kesadaran masyarakat akan lingkungan yang semakin tinggi. Namun, menurut pengamat otomotif dan pakar kelistrikan di Institut Teknologi Bandung, Agus Purwadi, hanya sedikit masyarakat Indonesia membeli mobil listrik karena sadar akan lingkungan.
“Menurut pengamatan saya, mereka (yang beli mobil listrik) karena peduli lingkungan masih jauh lebih sedikit daripada mereka yang pengen gaya dan pengen punya status (lebih tinggi) aja,” ujar Agus, seperti dikutip dari Detik.com.
Sementara itu menanggapi apakah penggunaan mobil listrik menjadi solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan seperti pencemaran udara di Jakarta, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan penggunaan EV (electric vehicle) hanya memindahkan polusi dari knalpot kendaraan ke cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Sejatinya, kalau solusi pencemaran udara adalah menggunakan EV, maka itu hanya memindahkan polusi dari knalpot kendaraan ke cerobong PLTU,” kata Bondan kepada Parboaboa saat dihubungi, Rabu (6/7/2023).
Pasalnya, kata Bondan, saat ini sumber listrik di Indonesia masih didominasi PLTU batubara, yang mengeluarkan polusi udara termasuk di Jakarta
Apakah Kendaraan Listrik Solusinya?
Sementara itu, Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar mengatakan selain sektor transportasi, sumber lain dari polusi udara di wilayah Jakarta, yaitu kawasan industri serta pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil. Sehingga, dalam jangka pendek penggunaan mobil listrik akan ada kontribusi untuk mengurangi polusi udara di Jakarta, apabila terjadi konversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.
“Cuman, pengecualiannya tidak hanya selesai di situ saja,” kata Ghofar yang dihubungi Parboaboa, Kamis (6/7/2023).
Ghofar mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses transisi ke kendaraan listrik. Pertama, prioritaskan kendaraan listrik untuk transportasi publik. “Jadi yang harus diganti menjadi kendaraan listrik itu pertama ya transportasi publik dulu sebagai prioritas,” ujarnya.
Kedua, terkait isu subsidi untuk pembelian mobil listrik yang mencapai triliunan rupiah tersebut dinilai tidak tepat. “Nah, menurut kami pemberian subsidi semacam itu tidak tepat,” tambahnya.
Seharusnya, katanya, subsidi digunakan untuk mengembangkan transportasi publik, baik di Jakarta maupun beberapa wilayah perkotaan lainnya yang selama ini memiliki persoalan tidak hanya polusi tetapi juga kemacetan. “Jadi kendaraan banyak, polusi meningkat, perubahan iklim semakin parah, dan kemacetan juga makin parah,” katanya. Sehingga, dari kedua hal tersebut pihaknya kemudian melihat bahwa mobil listrik bisa menjadi solusi apabila dilihat secara bijak.
“Berkontribusi iya, tapi harus dilihat secara bijak terutama soal pemberian subsidi serta prioritas kendaraan listriknya harus ke kendaraan publik dulu,” tegasnya.
Ghofar menegaskan, tidak ada solusi tunggal dalam mengatasi permasalahan polusi udara terutama di Jakarta, karena ada kontribusi yang beragam. Sehingga masalah polusi udara dari kendaraan pribadi, solusinya pun bermacam-macam.
“Di antaranya pengembangan transportasi publik yang menjangkau wilayah pemukiman sehingga masyarakat mau beralih menggunakan transportasi publik," katanya.
Selain itu, ketika menggunakan kendaraan pribadi berbasis fosil maka emisinya akan tinggi. Sehingga jika diganti kendaraan listrik, maka mengurangi emisi dari pemakaian kendaraan pribadi yang masih cukup banyak.
“Cuman catatannya tadi, jangan menjadikan konversi kendaraan listrik ini sebagai solusi tunggal,” katanya.
Terlebih, lanjut Ghofar, apabila disertai pemberian subsidi untuk pembelian motor dan mobil listrik tanpa mempertimbangkan bahwa alih fungsi kendaraan pribadi konvensional ke listrik besar-besaran memperparah penggunaan bahan tambang. “Terutama wilayah-wilayah Sulawesi dan Maluku. Belum lagi sumber listrik yang didapatkan itu masih berasal dari fosil bumi,” tutur Ghofar
Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah
Selama beberapa bulan terakhir kondisi udara Jakarta berada di level-level terburuk.
Menurut IQAir, hampir seluruh udara di wilayah Jakarta tidak sehat. Daerah terparah paparan polusi ialah Jakarta Utara dengan indeks kualitas udara berada di angka 158 AQI US dan tingkat polutan PM 2.5 sebesar 68.1 µg/m³.
Sementara di Jakarta Barat, indeks kualitas udara berada di angka 155 AQI US dengan tingkat polutan PM 2.5 sebesar 63 µg/m³. Polusi udara itu disebabkan dari emisi kendaraan bermotor dan aktivitas industri.
Kondisi itu juga telah memperburuk kondisi kesehatan sejumlah warga, di antaranya warga yang tinggal di Rusunawa Marunda.
Sejak tahun 2019, paparannya menyebabkan warga terjangkit penyakit batuk-batuk, ISPA, gatal-gatal, bronkitis, pneumonia, hingga ulkus kornea.
Forum Masyarakat Rusun Marunda (F-MRM) mencatat, total ada 66 warga di Blok D3 Rusun yang terjangkit penyakit. Rinciannya, balita 17 orang, anak-anak 18 orang, remaja 2 orang, dewasa 23 orang, dan lansia 6 orang. Jumlah itu belum mencakup seluruh penduduk yang tinggal di 29 tower Rusun—dengan masing-masing tower dihuni 100 kepala keluarga (KK).
Warga meminta agar pemerintah serius mengatasi persoalan lingkungan tersebut. “Lakukan pengawasan yang ketat kepada pelaku usaha agar segera melakukan evaluasi dalam tata kelola lingkungan usahanya agar sesuai regulasi yang berlaku,” kata Ketua F-MRM Didi Suwandi
Akan tetapi masalah ini tampaknya belum menjadi persoalan serius bagi pemerintah. Saat ditanya terkait masalah itu belum lama ini, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono malah berkelakar.
“Iya saya tiup saja,” ujar Heru sambil memperagakan cara meniup di depan awak media, Senin (12/6/2023), seraya menyarankan percepatan penggunaan kendaraan listrik.
Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus ‘Pencemaran udara Jakarta’.
Reporter: Hasanah Syakim, Achmad Rizki Muazam
Editor: Tonggo Simangunsong