PARBOABOA, Jakarta – Masalah kemiskinan terus menjadi sorotan utama di Indonesia selama beberapa dekade terakhir.
Alasannya, kegagalan dalam mengatasi kemiskinan dapat memicu berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik di tengah masyarakat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 tercatat mencapai 25,90 juta orang atau 9,36% dari total populasi.
Lebih lanjut, pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 25,22 juta orang, turun sebesar 0,68 juta orang dibandingkan Maret 2023.
“Di kawasan perdesaan, persentase penduduk miskin pada Maret 2024 tercatat sebesar 11,79%, lebih rendah dibandingkan Maret 2023 yang mencapai 12,22%,” tulis BPS dalam sebuah laporan.
Meskipun demikian, pemerintah mengakui bahwa tingkat kemiskinan ekstrem masih tinggi di wilayah Indonesia Timur, terutama di enam provinsi di Papua.
“Beberapa provinsi di wilayah timur masih memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi. Kami telah melakukan koordinasi dan bahkan terjun ke sana, contohnya untuk Papua,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, Nunung Nuryartono, Senin (03/06/2024).
Menurut Nunung, pihaknya telah mengumpulkan data sebagai acuan dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan ekstrem di enam provinsi di Papua.
“Kami memastikan bahwa data tersebut menjadi referensi. Selanjutnya program-program akan disesuaikan dengan data yang diperoleh,” jelas Nunung.
PMK sendiri telah mengambil langkah khusus untuk wilayah Papua. Sementara untuk wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, juga sudah dipastikan proses penanganannya.
Nunung berharap tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia dapat ditekan hingga di bawah 1% pada 2024. Pemerintah sedang memaksimalkan upaya tersebut di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Sampai Maret 2023, tingkat kemiskinan ekstrem telah berkurang menjadi 1,12%. Kami berharap, angka tersebut bisa turun di bawah 1%. Kami optimis bisa mencapai target ini,” ujar Nunung.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem nol persen pada tahun 2024.
Namun, target ini dianggap sulit tercapai. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahkan mengakui bahwa target tersebut sangat tidak realistis.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Suprayoga Hadi menyatakan bahwa target yang lebih masuk akal untuk dicapai pemerintah adalah 0,5 hingga 0,7 persen kemiskinan ekstrem pada 2024.
"Kalau nol koma nol persen jelas tidak mungkin, jadi target yang realistis adalah antara 0,5 hingga 0,7 persen," kata Suprayoga di Jakarta, Kamis (14/01/2023) lalu.
Suprayoga beralasan bahwa tren penurunan kemiskinan ekstrem dalam beberapa tahun terakhir tidak terlalu signifikan.
Sebagai contoh, angka kemiskinan ekstrim turun hanya 1 persen dari 2,04 persen pada Maret 2022 menjadi 1,12 persen pada 2023.
Pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk menekan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen.
“Target optimis kita berada di angka 0,5 hingga 0,7 persen yang lebih realistis, namun jika sangat optimis, bisa mencapai sekitar 0,3 persen," jelas Suprayoga.
Ia menambahkan bahwa pencapaian target ini akan dilakukan dengan melibatkan pelaku dan mitra non-pemerintah.
Suprayoga juga menegaskan bahwa isu tersebut tidak boleh dianggap enteng karena ada potensi peningkatan kemiskinan nasional akibat inflasi.
Review Kebijakan
Selama ini, pemerintah telah menggencarkan berbagai kebijakan dan program untuk mengatasi kemiskinan.
Beberapa program yang telah diterapkan antara lain adalah Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan Kredit Usaha Kecil (KUK).
Selain itu, program-program lain seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan PDM-DKE juga telah dilaksanakan.
Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dianggap paling serius adalah IDT yang diterapkan di sepertiga desa di Indonesia, serta program Takesra/Kukesra di dua pertiga desa lainnya.
Di samping itu, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN diwajibkan menyisihkan 1-5% dari labanya untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi.
Berbagai program pemberdayaan lain bagi penduduk miskin juga telah dilaksanakan, seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K).
Ada pula Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pembangunan Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).
Pemerintah terus melakukan upaya pengentasan kemiskinan, yang salah satunya ditandai dengan pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada tahun 2002.
Komite tersebut dibentuk melalui Keputusan Presiden RI No. 124/2001 yang kemudian diperkuat oleh Keppres RI No. 8/2002 dan Keppres RI No. 34/2002.
Dalam pelaksanaannya, KPK melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, LSM, pelaku usaha, birokrasi daerah, ormas/orsospol, serta lembaga keuangan bank dan non-bank.
Tujuan utamanya adalah menanggulangi kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah meyakini, upaya pengentasan kemiskinan bisa tercapai jika masyarakatnya berdaya.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana kebijakan dan program tersebut berhasil mengentaskan kemiskinan? Mengapa upaya pengentasan kemiskinan belum menunjukkan hasil yang memuaskan?
Erwan Agus Purwanto (2007) dalam sebuah riset menemukan bahwa salah satu alasannya adalah program-program tersebut tidak berhasil mendorong kemandirian masyarakat miskin.
Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang cara mengelola bantuan tersebut.
Akibatnya, banyak dari bantuan tersebut tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang berkelanjutan, melainkan untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif.
Pendekatan tersebut jelas berdampak negatif, karena tanpa adanya pemanfaatan yang produktif, bantuan yang diberikan tidak akan memberikan perubahan signifikan dalam jangka panjang.
Urgensi Data dan Teknologi
Berhadapan dengan persoalan kemiskinan, Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini, menekankan pentingnya data yang akurat serta pemanfaatan teknologi.
"Kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih baik, yang inklusif tanpa kemiskinan dan kelaparan," ungkap Risma pada Forum Politik Tingkat Tinggi di New York, Kamis (11/7/2024).
Risma juga menegaskan pentingnya pembaruan data kemiskinan untuk memastikan solusi yang tepat guna, baik dalam mengurangi pengeluaran keluarga maupun meningkatkan pendapatan mereka.
"Dengan data yang akurat, bantuan sosial dapat tersalurkan secara lebih efektif," sambung Mantan Wali Kota Surabaya itu.
Kemensos sendiri telah meluncurkan sejumlah program untuk mendukung kelompok rentan, termasuk penyediaan makanan gratis bagi lansia dan penyandang disabilitas yang tinggal sendiri.
Selain itu, ada Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, dan Asistensi Rehabilitasi Sosial untuk Anak Yatim Piatu (YAPI) yang rutin disalurkan melalui transfer tunai kepada keluarga miskin setiap bulan.
Serupa, Menko PMK, Muhadjir Effendy, menjelaskan upaya pemerintah untuk mencapai target penurunan kemiskinan di bawah 7,5 persen dan kemiskinan ekstrem di bawah 0 persen pada akhir tahun 2024.
"Pemerintah terus mengoptimalkan tiga strategi utama, yaitu menekan pengeluaran keluarga miskin, meningkatkan pendapatan melalui program pemberdayaan, dan mengurangi kantong kemiskinan," ujar Muhadjir.
Strategi pentahelix yang melibatkan kerjasama pemerintah pusat, daerah, akademisi, organisasi masyarakat, dan media massa diharapkan dapat mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem.
“Segala upaya sangat bergantung pada kemauan dan kesungguhan pemerintah daerah,” tegasnya.
Pemerintah pusat akan memperkuat intervensi di daerah yang memiliki keterbatasan fiskal dan anggaran, serta memfokuskan upaya pada daerah dengan angka kemiskinan ekstrem.
Meski demikian, Muhadjir sendiri mengakui bahwa semakin kecil angka kemiskinan ekstrem, maka semakin sulit untuk diatasi.
Namun, ia tetap optimis bahwa angka kemiskinan dan ekstrem di Indonesia bisa mendekati target yang ditetapkan Presiden Jokowi pada akhir tahun 2024.
Penulis: Luna
Editor: Defri Ngo