Nasib Para Pekerja Di Bawah Cengkraman Gig Economy

Bahaya sistem gig economy bagi masa depan pekerja di Indonesia (Foto: PARBOABOA/Pranoto)

PARBOABOA, Jakarta - Para pekerja sektor swasta di Indonesia kini tak bisa berharap banyak akan masa depan mereka.  

Pasalnya, beberapa perusahaan memberlakukan sistem gig economy yang menekankan pekerjaan sementara atau kontrak jangka pendek sebagai solusi operasional.

Sistem ini menimbulkan perhatian luas di kalangan publik, sebab perusahaan memiliki wewenang yang besar untuk memberhentikan kontrak kerja.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengungkapkan keprihatinan terkait sistem kerja gig economy.

Jokowi menyampaikan bahwa model ekonomi gig harus diawasi dengan baik. Sebab jika tidak, maka bisa menimbulkan permasalahan serius bagi pekerja, khususnya mereka yang bekerja di sektor swasta.

Gig economy, kita harus waspada. [Atau] ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Jika tidak diatur dengan baik, maka bisa menimbulkan masalah,” ucap Jokowi pada Kamis (19/09/2024).

Ia khawatir perusahaan dapat tergoda untuk menggunakan pekerja sementara dan kontrak jangka pendek guna mengurangi risiko ketidakpastian ekonomi global.

Hal ini tentu berdampak buruk pada kesejahteraan pekerja dalam jangka panjang. Konsekuensi lebih lanjut, mereka akan menjadi penganggur-penganggur baru.

"Perusahaan mungkin akan lebih cenderung memilih pekerja lepas, freelancer, dan kontrak jangka pendek sebagai upaya mengurangi risiko ketidakpastian ekonomi global," lanjutnya.

Gig economy, melansir laman Internal Revenue Service (IRS), merujuk pada kecenderungan perusahaan untuk menerapkan sistem kerja paruh waktu kepada kontraktor independen dan pekerja lepas.

Strategi ini bermaksud untuk menekan biaya, mengurangi risiko ketidakpastian ekonomi, serta memberikan fleksibilitas dalam menghadapi fluktuasi kebutuhan tenaga kerja.

Jika ditarik dalam konteks Indonesia, sistem gig economy mulai diterapkan sejak pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. 

Ketentuan dalam UU tersebut mengatur beberapa hal yang mencakup regulasi mengenai outsourcing sebagai salah satu bentuk kerja kontrak. 

Selanjutnya, pada 16 Februari 2021, pemerintah juga memperkenalkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja, hubungan kerja, waktu istirahat, hingga pemutusan hubungan kerja.

Dalam sistem gig economy, posisi pekerja hanya bersifat sementara. Mereka dikontrak oleh pemilik perusahaan untuk mengerjakan proyek tertentu pada waktu tertentu.

Kontrak kerja sendiri adalah kesepakatan formal antara pekerja dan pemberi kerja yang mencantumkan hak, kewajiban, serta persyaratan bagi kedua pihak. 

Di Indonesia, melansir laman Badan Pusat Statistik (BPS), banyak perusahaan skala kecil dan menengah berencana meningkatkan jumlah pekerja kontrak sejak paruh pertama 2024. 

Survei menunjukkan bahwa 45% dari perusahaan kecil dan 44% dari perusahaan menengah berencana merekrut lebih banyak pegawai kontrak selama periode Januari hingga Juni 2024. 

Langkah ini mencerminkan kecenderungan perusahaan untuk mencari fleksibilitas dalam operasionalnya melalui pekerja kontrak.

Dengan diterapkannya sistem gig economy, para pekerja kontrak kemungkinan besar akan menghadapi kehilangan pekerjaan. Imbasnya, penghasilan mereka juga akan raib. 

Berhadapan dengan fakta ini, Presiden Jokowi menekankan pentingnya kerja kolaboratif antara pemerintah dan para pemberi kerja untuk merumuskan model kebijakan yang tepat. 

Secara khusus, ISEI sebagai wadah berkumpulnya para lulusan ekonomi perlu membuat kajian yang lengkap sebagai rekomendasi untuk merumuskan arah kebijakan. 

“Saya harap ISEI dapat merancang rencana taktis yang jelas dan terukur. Langkah-langkah strategis dibutuhkan untuk menghadapi situasi yang dinamis ini,” tutup Jokowi.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS