Tantangan dan Upaya Menahan Arus Warga Berobat ke Luar Negeri

Tantangan dan upaya menahan laju warga berobat ke luar negeri. (Foto: Dokumen Kemenkes)

PARBOABOA, Jakarta - Presiden RI, Jokowi menyebut Indonesia kehilangan devisa ratusan triliunan rupiah per tahun akibat banyaknya pasien yang berobat ke luar negeri.

Ia menyinggung hal itu saat meresmikan Rumah Sakit (RS) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024).

Menurutnya, beberapa negara tujuan berobat masyarakat Indonesia adalah Malaysia, Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.

"Kita pergi ke Jepang, pergi ke Singapura, pergi ke Amerika Serikat, pergi ke Malaysia untuk berobat," kata Jokowi. 

Akomodasi pembiayaan selama pengobatan itu pertahun, tambahnya, sebanyak "Rp 180 triliun."

Apa yang disampaikan presiden terkonfirmasi dalam data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, 1 dari 1.000 rumah tangga Indonesia pernah mengakses layanan kesehatan di luar negeri. 

Medical check-up adalah layanan yang paling sering dicari karena fasilitas di luar negeri dianggap lebih lengkap dan pelayanannya lebih cepat.

Faktor lain yang mendorong masyarakat memilih berobat ke luar adalah pelayanan medis di negara tujuan lebih komunikatif, akses yang lebih mudah, dan biaya yang lebih terjangkau.

Sementara itu, berdasarkan spesifikasi penyakit, pasien kanker termasuk yang paling banyak berobat ke luar negeri.

Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI),  Prof. Dr. Aru W. Sudoyo menyampaikan, faktor geografis dan biaya pengobatan yang lebih murah menjadi alasan utama mereka berobat ke negara lain.

Salah satu tempat rujukan penyakit kanker yang paling diminati adalah Penang, Malaysia. Di sana, harga pengobatan, termasuk obat-obatan dan PET scan, lebih terjangkau dibandingkan di Indonesia.

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa penerbangan ke luar negeri, seperti Malaysia, seringkali lebih murah dibandingkan penerbangan domestik, seperti ke Jakarta yang memiliki fasilitas kesehatan lengkap. 

Faktor ini semakin mendorong masyarakat memilih berobat ke luar negeri, terutama masyarakat di perbatasan termasuk orang-orang di Sumatra.

Di Surabaya, presiden menegaskan, untuk membendung orang berobat ke luar negeri, pemerintah terus membangun fasilitas kesehatan yang memadai.

Salah satu langkah konkret yang diambil adalah pembangunan RS Kemenkes di Kota Pahlawan, yang diharapkan menjadi salah satu pusat layanan kesehatan terbaik di Indonesia.

Rumah sakit yang baru dibangun ini dilengkapi dengan 867 tempat tidur dan memerlukan anggaran total lebih dari Rp 2 triliun. 

Dari jumlah tersebut, Rp 1,6 triliun dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, Rp 368 miliar untuk pengadaan peralatan medis, serta Rp 50 miliar untuk pengembangan sumber daya manusia. 

Pemerintah menganggap investasi besar ini sebanding dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.

Jokowi juga menyoroti pentingnya kenyamanan fasilitas rumah sakit, seperti penerangan dan ruang perawatan. Ia membandingkan kondisi rumah sakit yang sering ia kunjungi di daerah-daerah, di mana beberapa masih gelap dan kurang layak. 

Pembangunan rumah sakit baru di Surabaya ini, kata Jokowi diharapkan menjadi contoh yang mampu memberikan fasilitas terang dan nyaman, sehingga pasien dapat mendapatkan perawatan yang lebih baik dan proses penyembuhan lebih cepat. 

Bagi pemerintah, tegasnya, yang terpenting adalah memastikan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan berkualitas tanpa harus pergi ke luar negeri.

Sebelumnya, Mantan Wali Kota Solo itu sempat menyinggung hadirnya Rumah Sakit Tzu Chi di Jakarta yang dinilai dapat menekan tingginya angka penduduk RI yang berobat ke negara tetangga.

Menurutnya, rumah sakit ini menawarkan berbagai fasilitas untuk penanganan penyakit berat, termasuk kanker, thalasemia, dan kelainan tulang sumsum.

Dengan 576 kamar, Presiden Jokowi menegaskan bahwa rumah sakit ini memiliki peralatan medis yang sangat canggih. Ia pun menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif pembangunan fasilitas tersebut.

"Jangan lagi bawa uang ke luar negeri, jangan ada capital outflow. Kita ingin semua sehat, tapi kalau sakit, cukup ke Rumah Sakit Tzu Chi," ujar Jokowi.

Namun dalam sebuah keterangan, Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, mengungkapkan, pendekatan pemerintah terhadap fenomena warga yang memilih berobat ke luar negeri belum sepenuhnya tepat. 

Menurut Grace, kesehatan adalah hak asasi manusia, sehingga setiap individu memiliki hak untuk memilih layanan kesehatan terbaik yang sesuai dengan kebutuhannya. 

Namun, respons pemerintah terhadap fenomena ini, kata dia, lebih fokus pada pengembangan pariwisata medis daripada memperbaiki masalah mendasar.

Diketahui, selain membangun sejumlah fasilitas kesehatan, pemerintah saat ini juga sedang gencar mendorong pembangunan pariwisata medis. 

Tujuannya adalah untuk menarik warga yang berobat ke luar negeri agar tetap berobat di dalam negeri sambil berlibur. 

Namun, Grace menilai langkah ini kurang efektif karena banyak pasien yang memilih berobat ke luar negeri bukan untuk wisata, melainkan untuk mendapatkan perawatan yang lebih nyaman dan terjangkau.

Pemerintah, tegasnya, dinilai terlalu fokus pada aspek ekonomi, seperti menghitung devisa yang hilang ketika pasien memilih berobat ke luar negeri, daripada memperhatikan kualitas hidup yang dapat diperoleh pasien melalui pengobatan yang tepat. 

Hal ini dinilai oleh Grace sebagai salah kaprah dalam merespons fenomena kesehatan masyarakat.

"Ingat kesehatan tidak berdiri sendiri. Standar gaji dan intensif petugas harus dipenuhi, jangan cuma bangunan yang dipikirkan," tegasnya. 

Sementara itu, Mahesa Paranadipa, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), juga sependapat bahwa kesehatan adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. 

Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak melihat sektor kesehatan hanya dari sudut pandang untung-rugi. Paradigma yang hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, kata dia, berpotensi mengabaikan kewajiban negara dalam memenuhi hak kesehatan rakyatnya.

Fenomena banyaknya warga yang berobat ke luar negeri seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah. 

Menurut dia, kebijakan yang hanya bersifat reaktif, seperti membangun rumah sakit dan membeli peralatan medis canggih, belum tentu menyelesaikan akar masalah. 

Mahesa menegaskan bahwa pemerintah harus lebih menekankan pada upaya preventif dan promotif, serta memperkuat akses dan kualitas layanan kesehatan di dalam negeri agar masyarakat merasa lebih nyaman dan yakin berobat di Indonesia.

"Kalau hanya bicara untung dan rugi, maka perintah konstitusi dan UUD dianggap sebagai beban negara. Harusnya (upaya preventif) itu dipenuhi tanpa harus melihat kalkulasi," kata dia.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS