Nestapa Tak Berkesudahan Penganut Ahmadiyah di Indonesia

Jemaah Ahmadiyah saat menjelaskan kronologi peristiwa penyegelan Masjid kepada Parboaboa. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta -  Hak beragama warga Ahmadiyah mendapat perlakuan yang tidak adil di Indonesia. Dalam banyak kasus, tak jarang mereka dipersekusi.

Di tahun 2011, sewaktu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memang ada larangan tegas untuk tidak menyebarkan ajaran-ajaran Ahmadiyah.

Suryadharma Ali, Menteri Agama RI kala itu menyampaikan, adalah bentuk penistaan agama jika Ahmadiyah dengan segala ajaran diterima begitu saja.

Dasarnya, meski mereka mengaku Islam tetapi punya kitab suci sendiri yang bukan Al-Qur'an. Hal itu, kata Suryadharma, bertentangan dengan ajaran Islam. 

"Al-Qur'an adalah kitab suci yang tidak boleh diubah-ubah dan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir," pungkasnya.

Larangan itu dikuatkan oleh fatwa MUI yang menyatakan ajaran Ahmadiyah sesat, dan adanya SKB tiga Menteri yang memerintahkan penganut Ahmadiyah segera meninggalkan ajaran yang bertentangan dengan Islam.

"Fatwa MUI kita jadikan referensi untuk mengambil keputusan permanen," kata Suryadharma, sembari menegaskan, jika mereka masih terus menyebarkan ajarannya, "pasti akan kami tindak."

Legitimasi hukum ini seperti memberi karpet untuk menyerang penganut Ahmadiyah, tidak saja saat mereka beribadah tetapi juga di tempat-tempat umum.

Parboaboa mencatat, salah satu peristiwa paling dikenang terkait kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah adalah tragedi di Cikeusik, Pandeglang, Banten tahun 2011 silam. 

Insiden ini dimulai ketika kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan Muslim Cikeusik berencana membubarkan Ahmadiyah di daerah tersebut. 

Akibatnya terjadi adu lempar dan perlawanan yang menyebabkan enam orang Ahmadiyah tewas, sebuah mobil dibakar dan satu rumah dirusak.

Komnas HAM menemukan kejanggalan dalam penanganan kasus ini, terutama karena jumlah pasukan keamanan tidak seimbang dengan jumlah massa. 

Mereka juga mengungkapkan bahwa intelijen kepolisian telah mengetahui rencana aksi ini dua hari sebelumnya tetapi tidak mengambil langkah pencegahan.

Dua tahun sebelumnya, di tahun 2008, sekitar 200 anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, Jakarta. 

Mereka menduga ada anggota Ahmadiyah di acara tersebut. Massa FPI, yang datang dengan truk dan mengenakan jubah serta peci putih menyerang peserta aksi damai - menyebabkan banyak orang luka-luka, termasuk ibu-ibu dan anak-anak. 

Akibat insiden ini beberapa pimpinan FPI, seperti Rizieq Shihab dan Munarman divonis bersalah dan dipenjara.

Di Lombok, NTB, jemaat Ahmadiyah juga pernah mengalami persekusi dan kekerasan berkepanjangan. Sejak 2001 misalnya, Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, mengalami penyerangan. Meski tidak ada korban jiwa tetapi mereka diusir dari rumah.

Jemaat yang terusir terus berpindah-pindah, dan rumah yang dibeli kembali dirusak massa. Pemerintah Provinsi NTB sempat menampung korban di Wisma Transito di Mataram, Lombok Barat.

Namun pada Mei 2018, serangan kembali terjadi di Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB, menyebabkan enam rumah rusak dan empat sepeda motor hancur.

Pada Mei 2016, masjid Ahmadiyah di Purworejo, Kendal, Jawa Tengah, dirusak oleh sekelompok orang tak dikenal, diduga karena provokasi terhadap Ahmadiyah. 

Protes terhadap pembangunan masjid ini memang sudah terjadi sejak awal, meskipun alasan dari penolakan tidak pernah diketahui.

Apa yang terjadi di Kendal berdekatan dengan pengepungan oleh FPI terhadap sebuah rumah di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, yang diduga sebagai markas jemaat Ahmadiyah. 

Mereka menolak aktivitas ibadah Ahmadiyah di rumah tersebut, meski hanya berjumlah 11 orang. Insiden ini berhasil diselesaikan secara damai dengan mediasi oleh kepolisian dan pejabat setempat.

Penyegelan Masjid Ahmadiyah di Garut

Nestapa berkepanjangan penganut Ahmadiyah terjadi sampai sekarang. Kali ini dialami oleh komunitas Ahmadi di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Di awal Juli lalu, Masjid Babussalam, tempat beribadah 124 komunitas Ahmadi di daerah itu disegel atas alasan tidak memiliki izin dan diduga sebagai tempat penyebaran pemahaman Ahmadiyah.

Ade Sumpena (54), tokoh Ahmadiyah Kampung Nyalindung berbicara kepada Parboaboa bahwa penyegelan Masjid dilakukan tanpa peringatan.

Ade berkata, dirinya yang waktu itu "mau sembahyang isya" tiba-tiba "disetop" oleh segerombolan orang yang terdiri dari Kepala Satpol PP Garut, Kepala Seksi Intelijen Kejari, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Garut, Ketua FKUB Garut, Komandan Rayon Militer dan Kapolsek Cilawu.

Penyegelan Masjid Babussalam dilakukan oleh Tim Korpakem Kabupaten Garut, merujuk pada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah. 

Pada tahun 2021, saat Masjid Babussalam mulai dibangun, penyegelan sempat menghentikan proyek tersebut. Namun, pembangunan dilanjutkan dan mulai digunakan pada bulan Mei-meskipun baru 50 persen rampung.

Masjid Babussalam terletak di RW 01, Kampung Nyalindung. Kampung ini terdiri dari RT, yaitu RT 01, 02, dan 03. Dari 394 warga, 124 adalah penganut Ahmadiyah. 

Kebanyakan dari mereka tinggal di RT 01 dan RT 02, di mana sekitar 70 persen penduduknya adalah Ahmadi. Di RT 03, jumlah Ahmadi lebih sedikit.
 
Masjid Babussalam adalah satu-satunya masjid terdekat bagi warga Kampung Nyalindung. Masjid Ahmadiyah lainnya berjarak 4,5 kilometer, dan warga yang tidak memiliki kendaraan harus membayar Rp 10 ribu untuk naik angkot pulang-pergi.

Setelah penyegelan Masjid Babussalam, warga Ahmadiyah kini beribadah di rumah masing-masing, dan Salat Jumat diadakan di rumah salah satu warga. 

"Anak-anak sampai menangis ingin takbiran dan mengaji," kata Ade. 

Sementara itu, ada tetangga yang bilang "sebelum meninggal, saya ingin sembahyang dulu di masjid ini," tambahnya.

Kebijakan Menag Yaqut Cholil Qoumas

Pada tahun 2020, Menteri Agama (Menag) saat ini, Yaqut Cholil Qoumas pernah mengeluarkan pernyataan untuk memberikan kebebasan beribadah kepada penganut Ahmadiyah dan Syiyah.

Yaqut menyatakan bahwa pemerintah akan menjamin hak beragama bagi warga yang menganut kedua kepercayaan ini. Langkah tersebut diambil untuk mencegah pengusiran warga hanya karena perbedaan keyakinan.

Mereka, kata dia, merupakan "warga negara yang harus dilindungi."

Tak hanya itu, Yaqut yang kala itu baru genap setahun jadi Menag mengaku akan mengkaji pencabutan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang berisi tentang larangan ajaran Ahmadiyah.

"Kita akan kaji," katanya singkat.

Namun begitu, belakangan ia menjelaskan maksud pernyataannya, terutama saat mendapatkan kritikan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kata dia, setiap warga negara Indonesia berhak mendapat perlindungan hukum, bukan hanya Ahmadiyah dan Syiah saja.

Karena, demikian ia menegaskan, "semua warga negara sama di mata hukum. Ini harus clear."

Ia mengatakan, tidak ada pernyataan dirinya yang melindungi organisasi atau kelompok Syiah dan Ahmadiyah. "Sebagai menag agama melindungi mereka sebagai warga negara," tutupnya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS