Penyegelan Masjid Ahmadiyah Garut: Ahmadi Tanpa Pelindung di Nyalindung

Ade Sumpena menunjukkan segel masjid milik jemaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (16/7/2024). (Foto: PARBOABOA/Achmad Muazam)

PARBOABOA - Ade Sumpena (54) bergegas menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, ia keluar dengan sisa air wudu yang masih membekas di wajah dan janggut panjangnya.

Pagi itu, Selasa (16/7/2024), azan subuh baru saja berkumandang di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ade menggelar sajadah merah di salah satu ruangan rumahnya lalu menunaikan salat. 

Sudah dua pekan lebih, rutinitas tersebut ia lakoni setiap pagi. Biasanya, ia beribadah subuh di Masjid Babussalam yang berjarak sekitar 200 meter dari kediamannya. 

"Waktu masjid masih dibuka, sebelum disegel, ya di situ," ujar Ade kepada Parboaboa, Selasa (16/7/2024).

Ade merupakan tokoh Ahmadiyah di Kampung Nyalindung. Sementara Masjid Babussalam merupakan tempat ibadah komunitas ahmadi, sebutan untuk penganut Ahmadiyah, di kampung yang sama. 

Senin (2/7/2024) lalu, bangunan berukuran 10x10 meter itu disegel Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Korpakem) Kabupaten Garut. Dalam keterangan resmi Korpakem Garut, terdapat beberapa alasan penyegelan. 

Masjid Babussalam dinilai tidak memiliki izin pendirian sebagai tempat ibadah. Selain itu, masjid disinyalir menjadi tempat penyebaran pemahaman Ahmadiyah. 

Tim Korpakem merujuk pada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah. Dalam Keputusan itu, ajaran Ahmadiyah dinilai menyimpang dari pokok ajaran Islam dan tidak boleh disebarkan. 

Penyegelan sendiri datang tanpa peringatan. Ade tengah menunggu waktu isya bersama beberapa jamaah ketika sejumlah orang berbondong-bondong menuju ke masjid.

Dalam rombongan itu terdapat beberapa pejabat daerah seperti Kepala Satpol PP Garut, Kepala Seksi Intelijen Kejari, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Garut, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Garut, Komandan Rayon Militer dan Kapolsek Cilawu.

"Mau sembahyang isya, disetop," Ade menceritakan peristiwa awal Juli lalu itu.

Obrolan tetamu dan tuan rumah mulanya dibuka oleh Kasat Intel Polres Garut, AKP Sonson Sudarsono. Selanjutnya giliran Kasat Pol PP Usep Basuki Eko yang berbicara.

Ketua RW 01 Ali Nugraha (kanan) dan Ketua RT 02 Asep Supiandi (kiri) saat ditemui Parboaboa, Minggu (14/7/2024). (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

Usep mempertanyakan perihal perizinan masjid dan peruntukannya. Dari pihak warga hanya Ade Sumpena dan Ketua RW 01, Ali Nugraha, yang berbicara dan memberi penjelasan.

Obrolan itu bergulir sekitar 30 menit. Tim Korpakem menyampaikan bahwa masjid akan disegel.

Tak ada perlawanan dari komunitas ahmadi. Di penghujung pertemuan, mereka menggulung tikar masjid. Ade lalu menyerahkan kunci masjid kepada Usep. 

Warga Ahmadi sudah dikondisikan oleh Ali Nugraha untuk menahan diri. "Saya bilang ke warga, 'Jangan ada yang anarkis', saya mengimbau kita adu opini aja. Istilahnya, jangan ada perlawanan," ia mengulang kembali pesannya kepada warga ahmadi.

Beberapa hari sebelum Selasa nahas itu, petugas dari Polsek Cilawu dan Polres Kabupaten Garut silih berganti menemui Ade Sumpena. Mereka sempat menanyakan perihal pembangunan masjid. 

Ihwal apa tujuan di balik kunjungan aparat keamanan itu baru mulai jelas pada sore di hari penyegelan. Ali Nugraha sempat diminta datang ke Polsek Cilawu. 

Di sana sudah ada sejumlah perwakilan Tim Korpakem yang menyampaikan rencana penyegelan. Ali berusaha menahan agar rombongan Tim Korpakem tidak menuju ke masjid. 

Ia meminta dilakukan musyawarah terlebih dulu dengan penganut Ahmadiyah. Lalu terjadilah penyegelan pada malam di hari yang sama. 

Kejadian awal Juli itu bukan kali pertama Masjid Babussalam disegel. Peristiwa serupa juga terjadi pada 2021 saat masjid baru mulai dibangun. 

Kala itu alasannya pun sama: Masjid dianggap tak berizin. Belakangan, setelah beberapa tahun, pembangunan yang sempat terbengkalai dilanjutkan kembali. 

Dua bulan lalu, menurut Ade Sumpena, masjid yang baru rampung 50 persen mulai digunakan jemaat Ahmadiyah untuk beribadah. 

Masjid Babussalam berada di RW 01, Kampung Nyalindung. Di RW tersebut terdapat tiga RT, yakni RT 01, 02 dan 03. Dari total 394 warga di sana, 124 orang di antaranya merupakan ahmadi. 

Jemaah Ahmadiyah saat menjelaskan kronologi peristiwa penyegelan masjid kepada Parboaboa, Minggu (14/7/2024). (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

Sebaran penganut Ahmadiyah paling banyak berada di RT 01 dan RT 02. Mayoritas penduduk di dua wilayah itu, atau sekitar 70 persennya, merupakan ahmadi. 

Hanya di RT 03 saja yang jumlah ahmadinya bisa dihitung dengan jari. Adapun penganut Ahmadiyah di Kabupaten Garut sendiri ditaksir jumlahnya mencapai 5 ribuan orang.

Bagi warga ahmadi di Kampung Nyalindung, Masjid Babussalam merupakan satu-satunya masjid terdekat. Masjid lain milik kelompok Ahmadiyah jaraknya sekitar 4,5 kilometer dari Kampung Nyalindung. 

Untuk menuju ke sana, ahmadi yang tidak memiliki kendaraan harus mengeluarkan ongkos naik angkot Rp 10 ribu pergi-pulang. 

Kini warga Ahmadi di Kampung Nyalindung telah kehilangan masjid mereka. Jemaah sekarang beribadah di rumah masing-masing. Salat jumat pun kini harus digelar di rumah salah satu warga ahmadi. 

"Anak-anak sampai nangis pengen takbiran, dan ngaji," ujar Ade. "Ada tetangga, kata dia mah, 'Sebelum meninggal saya mau sembahyang dulu di masjid ini'."

Ade justru heran, selama ini ahmadi hidup damai di Kampung Nyalindung. Mereka juga rukun dengan warga lain yang non-ahmadi.

Ia menduga ada campur tangan orang dari luar Kampung Nyalindung yang berusaha merusak ketentraman ahmadi. Kasak-kusuk di kalangan warga Kampung Nyalindung ada orang bernama Asep Hafid di balik penyegelan Masjid Babussalam. 

Ia disebut-sebut berasal dari desa yang berbeda. Parboaboa berusaha menelusuri keberadaan Asep Hafid. 

Namun, upaya itu menemui jalan buntu. Sejumlah orang yang Parboaboa temui tidak mengetahui keberadaan Asep.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Garut, Nurrodhin, tidak membantah ada pihak dari luar Kampung Nyalindung di balik keputusan penyegelan Masjid Babussalam. 

"Belum memiliki izin, dan memang ada penolakan dari warga sekitar dan di luar," ujar Nurrodhin kepada Parboaboa, Senin (15/7/2024).

Di Kampung Nyalindung, ahmadi dan warga non-Ahmadiyah selama ini hidup berdampingan. Komunitas ahmadi sudah berada di sana sejak 1970-an. 

Mereka sudah beranak pinak bergenerasi. Ade Sumpena, misalnya, lahir dan besar sebagai penganut Ahmadiyah di Kampung Nyalindung. 

Tidak pernah ada gesekan antara warga ahmadi dan non-ahmadi. Maman Suparman (74), warga non-Ahmadi di Kampung Nyalindung, membenarkan hal itu. 

Ade Sumpena menunjukkan lokasi masjid jemaat Ahmadiyah yang disegel Satpol PP. (Foto: PARBOABOA/Achmad Muazam)

Menurutnya, keberadaan penganut Ahmadiyah di kampungnya tidak pernah menjadi masalah. Komunitas ahmadi dinilai bisa berbaur dengan warga lain. 

Selama ini jemaah Ahmadi juga tidak pernah berbuat onar. Soal perbedaan pemahaman keagamaan juga tidak dianggap sebagai persoalan, selama satu sama lain tidak berusaha saling mempengaruhi. 

Warga ahmadi dan non-ahmadi mengamalkan keyakinannya masing-masing. “Harus bersatu. Satu uyuhan di lingkungan, itu mah akidah masing-masing pada punya prinsip,” ujar pria yang karib disapa Maman Ewok.

Warga non-ahmadi justru kerap menjadi pelindung warga ahmadi. Maman bercerita, dulu sekitar tahun 2000 - 2004 pernah ada konflik antara penganut Ahmadiyah di Nyalindung dengan ormas tertentu. 

“Sering ngumpet di sini dan diterima warga, daripada kena, diumpetinlah, karena kalau ke warga sini belum pernah macam-macam,” kenang pria dengan rambut penuh uban tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif SETARA, Halili Hasan, penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia menyoroti keberadaan SKB 3 Menteri tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah. 

Aturan itu menurutnya, bermasalah secara substantif dan sosial-politik. Sebab, SKB itu melanggar ketentuan UUD 1945 dan justru memberikan legitimasi terhadap kelompok intoleran. 

Ade Sumpena menunjukkan foto penyerahan kunci masjid Ahmadiyah kepada Kepala Satpol PP Garut. (Foto: PARBOABOA/Achmad Muazam)

Penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut itu merupakan tindakan inkonstitusional. Penyegelan rumah ibadah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Pasal 29 Ayat (2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya,” ujar Halili kepada Parboaboa.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, SKB 3 Menteri telah menimbulkan praktik represif terhadap jemaah Ahmadiyah di berbagai wilayah Indonesia. Negara, dalam beberapa kasus, malah jadi alat untuk menekan kelompok tertentu. 

“Oleh karena itu, SKB diskriminatif ini harus dicabut,” tegas Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Penyegelan, persekusi, dan pengusiran jemaat Ahmadiyah kerap terjadi di Indonesia. Itu, menurut Usman, menjadi bukti bahwa pemerintah belum berhasil menjamin hak beragama dan beribadah bagi semua warga negara.

Padahal, lanjutnya, tugas utama pemerintah adalah melindungi hak asasi manusia semua warganya, termasuk hak untuk beribadah dengan bebas dan aman.

Sebelum insiden di Garut tersebut, data Amnesty International Indonesia mencatat selama Januari 2021 hingga Mei 2024, terdapat 121 kasus intoleransi atas umat beragama di Indonesia.

Adapun praktik itu berupa penolakan, pelarangan, penutupan, atau perusakan rumah ibadah maupun penyerangan atau intimidasi atas umat.

“Pelaku intoleransi berasal dari aparat negara, warga, maupun organisasi masyarakat,” tutur Usman Hamid.

Reporter: Achmad Rizki Muazam, Patrick Damanik, Putra Purba

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS