PARBOABOA, Jakarta – Pendapatan pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta tidak serta merta meningkat, usai pemerintah resmi melarang TikTok Shop, layanan media sosial yang merangkap sebagai social commerce.
Seperti yang dialami Mely (50), pedagang di Pasar Tanah Abang asal Bogor yang terpaksa menutup kiosnya dibandingkan harus berdagang sendirian di Tanah Abang imbas sepi.
"Kios sekarang saya kontrakan, karena sekarang berdagang di rumah secara online. Kalau begini saya bisa sambil menjaga anak-anak saya," katanya kepada PARBOABOA.
Mely menilai, kebijakan melarang TikTok Shop tidak efektif untuk menaikkan omzet pedagang.
"Persoalan sebenarnya bukan TikTok Shop, tapi, minat pembeli yang sekarang lebih suka beli online karena lebih murah. Penjual di TikTok Shop juga sudah tidak mau beli grosir di Tanah Abang karena lebih murah langsung beli di konveksi atau beli di Bangkok," jelasnya.
Bahkan, lanjut Mely, berjualan di Tanah Abang, malah menambah biaya untuk sewa kios.
"Kalau punya kios kan harus bayar ini itu, ribet dah. Mending kita setok barang di rumah sekarang, kita kerja sama dengan e-commerce atau sewa model untuk promosi. Dari situ omzet kita jauh lebih besar dan menghemat pengeluaran," tambahnya dengan logat Betawi.
Salah seorang pelanggan grosir Tanah Abang, Selvi (39) mengaku ogah membeli lagi grosiran di Tanah Abang karena malas berpacu dengan jarak dan waktu.
"Duh, udah dari pandemi keenakan tinggal pesan ke konveksi terus diantar ke rumah, harga lebih miring dan kualitas bisa dijamin karena kita pakai hubungan saling percaya. Kalau beli grosir di Tanah Abang mahal, udah gitu jauh," katanya kepada PARBOABOA.
Selvi yang kesehariannya berjualan baju muslim dan baju anak-anak ini mengaku lebih mudah menjual dagangannya melalui e-commerce karena jangkauan pembeli lebih luas.
"Lebih mudah juga ya tinggal klik order, kita kirim, e-commerce yang saya pakai kan hanya Shopee. Untuk keuntungan ada potongan paling sedikit 8 persen bisa lebih, kalau jualan konvensional jangkauannya enggak terlalu luas. Hanya sekitaran Jabodetabek saja yang bisa nyamperin toko," ungkap pemilik Toko Online Javas Kids Cikeas ini.
Sepi Karena Siklus Pembeli
Sementara Pengelola Blok A Pasar Tanah Abang Hery Supriatna mengaku pasar grosir terbesar di Indonesia itu sepi pengunjung karena siklus pembeli.
"Kita lihat kondisi di lapangan, biasanya ramai kalau lebaran haji, Iduladha, jelang puasa atau lebaran, setelah itu biasanya agak sepi," jelasnya kepada PARBOABOA.
Hery juga menilai, e-commerce membuat pola persaingan tidak adil antara pedagang konvensional seperti pedagang di Tanah Abang dengan pedagang online.
"Dulu seperti Bukalapak, Tokopedia dan semacamnya harga masih bersaing, tapi dengan TikTok Shop mereka tidak bisa bersaing karena yang ditawarkan lebih murah. Bahkan sekarang, harga dagangan di Tanah Abang justru dianggap lebih mahal," kesalnya.
Terkait banyak kios di Tanah Abang yang tutup, Hery lagi-lagi menegaskan kondisi tersebut imbas siklus pascahari raya.
"Sebenarnya kalau kita lihat Blok A, pedagang masih sama, mungkin yang disorot media bukan di Blok A. Pedagang masih optimis ada pembeli yang datang, karena kami menawarkan kenyamanan seperti halnya mal," ungkapnya.
Pengelola, lanjut Hery terus menginformasikan dengan mengajak masyarakat berbelanja di Blok A Tanah Abang melalui iklan di media sosial.
"Kalau pedagang di Blok A sudah lumayan stabil, pengunjung bisa datang 85 persen," jelasnya.
Disinggung terkait larangan TikTok Shop oleh pemerintah, Hery mengungkapkan, omzet pedagang di Tanah Abang tidak naik, tapi tidak juga turun.
"Kalau melihat jumlah pengunjung hanya 20 persen, tapi nilai belanjanya berkurang. Kalau grosir, pedagang eceran di daerah yang lebih terkena imbasnya, karena mereka yang punya toko di daerah itu punya stok dagangan yang banyak. Efek dominonya di situ," kata dia.
Efek Disrupsi Masa Pandemi
Menanggapi kondisi pasar kondisi Tanah Abang kini, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), Adinda Tenriangke Muchtar menilai, secara umum fenomena terjadi imbas dari disrupsi masa pandemi.
"Ini tidak terelakkan, ada keterbatasan mobilitas, ada barang yang harus dijual, ada hidup yang harus dihidupi, pedagang beradaptasi melalui platform, ada yang jualan di TikTok, Instagram atau marketplace," jelasnya kepada PARBOABOA.
Dinda beranggapan, pascapandemi jualan melalui e-commerce jauh lebih efisien.
Ia mencontohkan, saat pandemi, pedagang tidak sanggup berjualan di kios mereka dan terpaksa berjualan di rumah, karena keterbatasan gerak saat PPKM. Kondisi itu terjadi bukan hanya di Pasar Tanah Abang, tapi di banyak mal, kios-kios juga tutup.
"Ini bagian dari disrupsi teknologi dan juga krisis. Apalagi, menggunakan teknologi bukan perkara mudah bagi pedagang yang biasa berjualan secara konvensional. Mereka dituntut membuat dagangan mereka menarik, punya kreativitas lebih, paham produk dan pastinya, pembeli akan mempertimbangkan harga," kata Dinda.
Jika berdagang di pasar, pedagang harus mempertimbangkan bayar kios, belum harus bayar pungutan liar, preman dan ketidakefisienan lainnya.
"Ini menjadi evaluasi juga bagi pemerintah daerah untuk bisa membuat lingkungan yang kondusif bagi para pedagang konvensional," ungkap Dinda.
Lompatan teknologi ini, tambah dia, hampir mirip seperti peralihan ojek pangkalan ke ojek daring yang pernah terjadi pertentangan dan protes.
"Banyak orang merasa dirugikan. Namun alih teknologi adalah sebuah hal yang tak terelakkan, pada akhirnya semua berdamai
dengan kondisi ini, mereka punya pasarnya masing-masing, ojek pangkalan juga tetap bisa mendapatkan akses konsumen untuk daerah tertentu, ojek online juga punya lahannya sendiri,” imbuh Dinda.
Pekan lalu, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan resmi melarang TikTok Shop.
Larangan itu tercantum dalam Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Editor: Kurniati