PARBOABOA, Jakarta – Pengesahan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) hasil revisi menuai kritikan banyak pihak.
Kritikan terkait Pasal 19 UU ASN hasil revisi yang memperbolehkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri menduduki jabatan ASN.
'Jabatan ASN diisi dari pegawai ASN. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia' bunyi pasal tersebut.
Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pasal 19 UU ASN hasil revisi menjadi catatan buruk supremasi sipil di era demokrasi saat ini.
“Menurut kami, itu salah satu upaya untuk dapat menghidupkan kembali militerisme yang sempat dikalahkan pada saat proses reformasi 25 tahun silam,” kesal Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Dia menegaskan, aturan itu mencederai semangat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penegakan supremasi sipil.
Dengan diperbolehkannya TNI dan Polri menduduki jabatan sipil, kata Dimas, merupakan tindakan keliru pemerintah untuk mengembalikan dwifungsi TNI/Polri seperti yang terjadi di zaman orde baru (Orba).
“Jika merujuk pada konstitusi, TNI dimandatkan mengurusi bidang pertahanan dan Kepolisian ditugaskan mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil,” tegas dia.
Oleh karena itu, KontraS mendesak DPR membatalkan pengesahan UU ASN tersebut.
"Pembatalan tersebut, demi menjaga profesionalitas aparat keamanan dalam menjalankan tugas pertahanan negara," kata Dimas.
Ia juga meminta Presiden Joko Widodo tidak menandatangani dan mengundangkan revisi UU ASN hingga muatan Pasal 19 dicabut.
Jokowi Kembali ke Era Orba
Sementara itu aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Sumarsih menilai diperbolehkannya TNI dan Polri menduduki jabatan sipil menjadi cerminan wajah pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
Ia juga menyesalkan Jokowi yang sering mengeklaim sebagai anak kandung reformasi, tapi justru mengembalikan iklim politik Indonesia seperti zaman orba.
“Salah satu agenda reformasi yang diperjuangkan mahasiswa waktu itu kan adalah cabut dwifungsi ABRI, waktu itu kan ABRI itu termasuk TNI dan Polri ya. Tapi TNI saat ini malah kembali seperti tahun 1998, mereka bisa menempati jabatan-jabatan di pemerintahan, yang seharusnya dijabat oleh sipil,” ucap Sumarsih kepada Parboaboa di sela-sela aksi kamisan, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Menurutnya, TNI seharusnya fokus menjalankan tugasnya menjaga kedaulatan negara, bukan malah mencampuri urusan sipil.
“Memang seharusnya tentara itu kembali ke barak. Artinya, ya sesuai dengan tugasnya menjaga kedaulatan negara,” tegas Sumarsih.
Ditambahkannya, akan berbahaya bila TNI menduduki jabatan sipil.
“Mereka akan sewenang-wenang seperti dulu,” pungkas Sumarsih.
Diketahui, Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (03/10/2023) kemarin.
Pengesahan tersebut dilakukan DPR dan pemerintah, saat Sidang Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
Sementara itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) tidak menyinggung sama sekali Pasal 19 UU ASN yang dipermasalahkan masyarakat sipil.
Dalam rilisnya yang dikutip PARBOABOA dari laman Sekretariat Kabinet, Menpan-RB, Abdullah Azwar Anas mengatakan UU ASN menjadi payung hukum penataan tenaga non-ASN yang rencananya akan dihapus pemerintah pada November 2023.
"Disahkannya RUU ini memastikan semuanya aman dan tetap bekerja. Istilahnya, kita amankan dulu agar bisa terus bekerja,” katanya.
PARBOABOA pun berupaya menghubungi Menpan-RB Abdullah Azwar Anas melalui aplikasi perpesanan. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.
Editor: Kurniati