PARBOABOA – H, seorang anak berusia tujuh tahun yang kerap berkeliaran di jalanan Kota Medan, mengaku dipaksa orangtuanya untuk mengemis. Dia tidak kuasa melawan, dan jika dia menolak dan tidak mendapatkan uang, orang tuanya akan memukulnya.
“Bapak sama mamak yang nyuruh minta-minta (ngemis). Kalau tidak mau, dilibas pakai kayu,” ungkapnya saat berbicara kepada wartawan Parboaboa pekan lalu.
Berulang kali dia menjelaskan bagaimana orangtuanya mengeksploitasinya untuk mencari uang dengan cara meminta-minta di jalan. Ayah kandungnya sering melibasnya dengan bambu jika dia tidak mendapatkan uang.
“Kalau dapat duit tidak dilibas, kalau tidak mau cari duit (ngemis) dilibas,” katanya ketika ditemui di seputaran Jalan Ringroad, Medan. Akibat siksaan ayahnya itu, dia menjadi trauma dan tak lagi berani menolak.
“Bapak libas pakai kayu sama bambu, badan belakang dilibas,”ujarnya.
Tidak hanya kepada dia, ayahnya juga memukul adiknya jika menolak perintah ayahnya untuk mengemis.
“Adek juga dilibas kalau nggak mau cari duit, adek masih kecil,” ucapnya.
Setiap hari H dan adiknya diantar orangtuanya ke jalan sekitar pukul empat sore, lalu meninggalkan mereka untuk mengemis, dan menjemputnya pulang saat hari sudah malam.
“Mamak dan bapak (kandung) tidak minta-minta, jaga di becak sama bapak, kadang gantian ngantarnya, bapak sama mamak,” tambahnya.
Keduanya bisa mendapatkan uang Rp50 ribu – Rp100 ribu dan semuanya diberikan kepada ayahnya. Uang itu digunakan untuk kebutuhan keluarga mereka, terutama untuk makan.
“Duit kasih bapak semua, sampai jam satu cari duit bapak disitu nunggu,” katanya.
Orang tuanya tidak mau bekerja seperti yang dilakukan beberapa orang di persimpangan jalan, misalnya menjual tisu, atau menjadi badut, tapi lebih memilih menyuruh anaknya jadi pengemis.
“Bapak tak mau jadi badut, tukang minta-minta aja,” pungkasnya.
Menurut Andika, salah seorang pedagang tisu di seputaran yang mengenal kedua anak itu mengatakan, keduanya selalu dipantau oleh kedua orang tuanya yang berada tak jauh dari lokasi mereka mengemis.
“Mamak bapaknya biasa nungguin, tak jauh jauh dari dia, kalau mamaknya ngikut bapaknya saja biasanya,” katanya.
“Bapaknya cari butut (barang bekas), diantar bapaknya, kadang mamaknya. Kadang diantar naik becak, kalau pas berdua naik kereta (sepeda motor),” jelas Andika yang sudah tiga tahunan berjualan tisu di jalanan itu.
Dinas Sosial hanya Bisa Merazia
Maraknya anak di bawah umur yang dipaksa oleh orang tuanya untuk mengemis sepertinya belum menjadi perhatian Pemerintah Kota Medan.
Kepala Dinas Sosial Kota Medan Khoiruddin Rangkuti tidak membantah bahwa ada realita yang terjadi seperti itu. “Ada seperti itu (kasus yang pernah ditangani), udah ditindaklanjuti oleh Dinas Perlindungan Anak, kita komunikasi dengan mereka, beberapa kasus yang lalu kita bawa si anak ini ke rumah aman agar kembali ke keluargaannya,” katanya ketika dikonfirmasi Parboaboa, Selasa (6/6/2023).
Terkait adanya kembali kasus seperti itu, dia mengatakan akan mencoba berkoordinasi dengan dinas lainnya untuk menyelesaikannya. “Anak yang dipaksa orang tua, itu tetap kita komunikasikan dengan DP3APM (Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat), dan komunikasikan dengan perlindungan anak,”katanya.
Khairudin mengatakan, sejauh ini pihaknya bekerja sama dengan Satpol PP dalam untuk melakukan operasi razia gepeng, namun dalam penangkapan itu pihaknya hanya bisa memberi arahan.
“Bagi warga Medan yang ketangkap kita panggil keluarganya, baru sebatas itu yang kita laksanakan,” katanya. Saat ini pihaknya tidak memiliki anggaran tersendiri untuk para pengemis yang dirazia.
“Hanya kita tangkap, kita bawa ke kantor, hanya kita kasih makan, tidak ada lain, tidak ada uang saku. Tapi, hasil razia dari mereka itu kita kasihlah beli nasi bungkus (dari anggaran operasional razia),” jelasnya
Sayangnya lagi, Dinas Sosial Kota Medan tidak memiliki data terkait keberadaan pengemis di kota Medan. Pihaknya berdalih untuk mendata para pengemis termasuk sulit karena banyaknya pengemis dari luar Kota Medan.
“Data pastinya belum ada sama saya, tapi pastinya banyak, dan itu banyak orang dari luar kota. Mereka ini mobilitasnya tinggi susah untuk mendatanya, karena berpindah-pindah dan mobilitasnya tinggi,” jelasnya.
Terkait adanya dugaan eksploitasi anak oleh sekelompok orang tertentu, Khairuddin mengatakan belum menyikapinya. “Kita belum sampai situ (aktor intelektual), mudah-mudahan nanti dengan komunikasi yang bagus dengan petugas terkait, bisa kita harapkan kita berantas sampai situnya, sampai aktor intelektualnya,” jelasnya.
Pemerintah Tidak Serius
Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) menyayangkan pemerintah yang terkesan tidak serius dalam menyikapi adanya eksploitasi anak untuk mengemis. Razia yang dilakukan hanya sebatas razia formalitas.
“Tidak sampai tuntas, sehingga ini hal utama membuat para pengemis itu bertambah terus menerus,” kata Koordinator Unit SKA PKPA Lia kepada Parboaboa, Selasa (6/6/2023).
Menurutnya, pemerintah yang memiliki dana dan sumber daya manusia harusnya dapat menyelesaikan persoalan ini. Sayangnya, tidak ada hasil yang dilakukan pemerintah sejauh ini. “Pemerintah punya langkah khusus, tugaskan sampai akar cari solusinya agar mereka tertangani,” katanya.
Sejauh ini PKPA belum pernah menangani kasus eksploitasi anak oleh orangtuanya sendiri. Namun, dalam kasus lain, anak-anak yang bekerja sebagai pemulung untuk kebutuhan keluarga bukanlah realita baru dan pernah diadvokasi oleh lembaga itu.
“Mereka yang kita dampingi ini, kita advokasi ke orang tuanya, jadi kita lakukan pertemuan dari basis PKPA yang sudah dilakukan basis kelurahan. Kalau di jalanan ini sulit, kita tidak tahu tinggalnya di mana karena pendampingnya harus intens,” katanya.
Pengamat sosial dari Universitas Sumatra Utara (USU) Suryadi mengatakan, maraknya pengemis di jalanan juga dipengaruhi pola pikir masyarakat yang pragmatis, sehingga menimbulkan rasa iba dan memberikan uang kepada pengemis.
“Peluang bisnis sosial yang menjanjikan seperti mengemis dengan cara kaki ‘dipuntungkan’, mata dibuat seolah-olah buta,” jelasnya.
Situasi menjadi rentan untuk menjadikan anak-anak sebagai komoditi dengan modus yang beragam oleh orang tertentu.
"Inikan secara tidak langsung TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Pasalnya jelas, banyak kasus mobilisasi dari orangtua atau kelompok tertentu, anak dijadikan komoditi untuk mengemis,” ungkapnya.
Menurutnya, masalah ini tidak pernah terselesaikan kalau pemerintah dan pihak terkait lainnya tidak menangkap aktor intelektual dibalik kejahatan itu. Selama ini pemerintah hanya menangkap pelaku bukan otak pelakunya.
“Mereka tidak sampai ke akarnya, jadi tidak ada berkurang malah makin bertambah,” katanya.
Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus ‘kerasnya kota’. Nama-nama anak dalam laporan ini sengaja tidak disebutkan untuk melindungi privasi anak di bawah umur.
Reporter: Ilham Pradilla
Editor: Tonggo Simangunsong