PARBOABOA, Jakarta - Status Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta akan segera berubah setelah DPR secara resmi mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebagai RUU inisiatif.
Apabila terealisasi, DPR harus mengubah struktur kewilayahannya, termasuk administrasi perkotaan, seperti penetapan ibu kota provinsinya.
Dalam pasal 2 draf RUU itu, disebutkan status ibu kota Provinsi Daerah Khusus Jakarta akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Rencananya Jakarta akan menjadi pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi.
Tak hanya itu, Kota Metropolitan juga akan didesain fungsinya sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional, dan global.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menegaskan saat ini Jakarta sebenarnya tengah kehilangan status sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).
Hal ini berlaku sejak 5 Februari 2024 lalu sebagai imbas dari pengesahan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
"Kan itu implikasi dari Undang-Undang IKN. Nah, itu kan berakhir 15 Februari," kata Supratman kepada wartawan, Rabu (6/3/2024).
Walau demikian, Supratman mengatakan, Jakarta saat ini belum memiliki status resmi.
Inilah alasan yang mendorong Baleg DPR akan mempercepat pembahasan RUU DKJ untuk memperjelas status Jakarta.
Di tengah ketidakpastian jadwal Baleg DPR ini, RUU DKJ menjadi pusat perhatian masyarakat.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah terkait penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta langsung oleh Presiden.
Hal ini dinilai tidak sehat bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Adapun draf ini diatur dalam Pasal 10 Ayat 2 draf RUU DKJ yang menjelaskan gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
Partisipasi Masyarakat
Menyikapi wacana tersebut, Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menko Polhukam RI), Prof. Mahfud MD, menegaskan bahwa penunjukan langsung Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden adalah sebuah kemunduran proses berdemokrasi.
Mahfud mengatakan, kesepakatan sementara itu nanti gubernur DKI akan dipilih dua nama oleh DPR.
"Lalu diserahkan kepada presiden, presiden menentukan satu," tambah Mahfud MD, dikutip Parboaboa dari Instagram @mohmahfudmd, Jumat, 8 Maret 2024.
Mahfud pun mendorong partai-partai besar yang ada di DPR untuk menolak wacana tersebut demi menjaga jalannya demokrasi dengan baik.
"Pemilihan langsung seperti yang biasa harus kita kawal bersama untuk demokrasi dan keadilan kita," tandasnya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menegaskan bahwa pihaknya sejak awal menolak rencana penunjukan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta oleh presiden.
Menurutnya, ada tiga aspek penting yang dilanggar jika rencana ini disahkan.
Pertama, aspek normatif. Aturan penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden bertentangan dengan konstitusi.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis.
"Merujuk pasal tersebut, tentu saja soal penunjukan ini berlawanan dengan perintah konstitusi," jelas Suparma kepada Parboaboa, Jumat, 8 Maret 2024.
Lebih lanjut, ia mengatakan, aspek kedua adalah konseptual dan historis. Pemilihan kepala daerah langsung ini merupakan rekomendasi reformasi yang mendorong adanya otonomi daerah.
Adapun tujuannya, kata Suparma, sebagai penguatan demokrasi lokal dan penguatan pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel.
"Penunjukan langsung sudah membatasi hak dan akses warga Jakarta memilih secara langsung kepala daerahnya," ujarnya.
Suparman menegaskan, praktik penunjukan kepala daerah ini sudah terjadi dalam dua tahun terakhir, yakni dengan adanya penjabat (Pj) gubernur, wali kota, atau bupati yang dipilih pemerintah pusat.
Pengalaman ini harusnya menjadi evaluasi dan contoh bahwa ada fenomena resistensi publik terhadap kepala daerah yang ditunjuk langsung.
Selanjutnya, kata Suparma, aspek ketiga adalah aturan penunjukan oleh presiden tidak sesuai dengan naskah akademik.
Pada naskah akademik RUU DKJ, merekomendasikan tetap mempertahankan pemilihan oleh rakyat secara langsung.
"Ada inkonsistensi antara naskah akademik dengan apa yang diatur dalam draf RUU DKJ ini. Ini suatu praktik yang tidak layak untuk dicontoh," tegas Suparman.
Karena itu, Suparman mendorong masyarakat agar RUU DKJ terus dikawal agar dalam proses pembahasan tidak ada penyisipan aturan soal adanya kewenangan presiden dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta.
"Baik dari pemilihan gubernurnya hingga tata kelola pemerintahannya, harus kita kawal," kata Suparman.
Ia berharap partisipasi masyarakat ini untuk menghindari terjadinya pembahasan UU secara diam-diam seperti banyak terjadi pada proses legislasi yang terjadi belakangan ini.
Suara Pemerintah
Sementara itu, sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengatakan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) harus dipilih oleh rakyat.
"RUU itu inisiatif DPR. Biarkan itu berproses di DPR, toh belum juga ada di meja saya," kata Jokowi di Kali Sentiong, Jakarta Utara, Senin (10/12/2023).
Selain Jokowi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mengatakan pemerintah ingin Gubernur DKJ dipilih lewat Pilkada.
Pemerintah, katanya, tak setuju dengan RUU DKJ yang mewacanakan Gubernur dan Wagub ditunjuk Presiden.
"Kita juga memiliki konsep tentang DKJ. Soal gubernur bukan penunjukan, tapi tetap melalui mekanisme pilkada," ucapnya.
Proses ini, katanya, sudah berlangsung lama. Prinsip-prinsip demokrasi harus dijaga dan dihormati.
"Posisi pemerintah jelas, gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui pilkada."
Editor: Norben Syukur