PARBOABOA, Medan - Sudah tiga minggu sejak Sam Attar kembali ke rumahnya di Chicago. Namun, bagi dirinya, perpisahan dari Gaza hanya terasa seperti kemarin.
Sebagai salah satu dari sekian banyak dokter yang memberikan bantuan kesehatan di wilayah konflik tersebut, Attar menyaksikan derita yang tidak dapat dihapuskan begitu saja dari ingatannya.
Dalam suasana kamar yang tenang, jauh dari gema ledakan dan jeritan kesakitan, ia masih terjaga oleh bayangan wajah-wajah yang ditinggalkannya di Gaza.
“Waktu terus berputar, tapi wajah-wajah dari Gaza terus membayangi,” katanya, dikutip dari BBC News, Kamis (09/05/2024).
Sam Attar menceritakan, salah satu wajah yang sulit dilupakannya adalah seorang gadis kecil yang terbaring lemah bernama Jenna.
Saat pertama kali bertemu, Jena menunjukkan wajah yang pucat pasi di ranjang rumah sakit. Ibu Jenna menunjukkan kepada Sam Attar sebuah video yang merekam ulang tahun terakhir putrinya itu.
Sam Attar juga mengenang secara jelas bagaimana seorang ibu lainnya yang kehilangan putranya yang masih berusia 10 tahun.
Staf medis mencoba menutupi tubuh putranya itu dengan selimut. Namun sang ibu menolaknya dengan alasan masih ingin menghabiskan waktu bersama anaknya lebih banyak.
“Ibu itu memberitahu saya dengan tatapan kosong di wajahnya. Anaknya baru meninggal lima menit lalu. Dia berduka, menangis sekitar 20 menit. Dia tidak ingin meninggalkan anaknya,” jelas Sam Attar.
Sam mengatakan, ada juga seorang pria berusia sekitar 50 tahun. Kedua kakinya diamputasi. Ia berada di sebuah sudut ruangan. Pria itu kehilangan anak-anaknya, cucu-cucunya dan rumahnya.
“Pria itu sendirian di sudut rumah sakit yang gelap. Belatung keluar dari luka-lukanya. Ia berteriak ‘cacing-cacing itu memakanku hidup-hidup, tolong bantu aku’. Itu hanya satu dari sekian banyak korban,” ungkapnya.
Para warga Palestina yang terluka itulah yang masih ada dalam pikiran Sam Attar meskipun fisiknya sudah tak lagi berada di Jalur Gaza.
Sam Attar lahir dan besar di Chicago. Ia bekerja sebagai ahli bedah di rumah sakit Northwestern. Selama berada di Gaza, ia merekam berbagai pengalamannya melalui video setiap harinya.
Sam Attar selama dua minggu berada di Jalur Gaza, tepatnya pada bulan Maret sampai April. Ia berada di sana atas nama Palestinian American Bridge.
Selama di Gaza, ia bekerja di rumah sakit yang sangat kekurangan segalanya kecuali pasien yang terluka parah.
Tak hanya itu, korban bukan hanya terluka karena serangan Israel melainkan juga krisis kelaparan.
“Kami hanya dikerumuni orang yang menggedor-gedor mobil, ada yang mencoba melompat ke atas mobil,” katanya. Mobil tidak bisa berhenti karena orang-orang akan melompat ke dalam mobil untuk meminta makanan.
Setiap harinya, ada saja tekanan untuk melakukan triase yaitu memutuskan siapa yang bisa diselamatkan dan siapa yang tidak.
Misalnya, saat seorang pasien terbaring di lantai rumah sakit yang dikelilingi oleh darah dan perban yang terlepas. Suara tangisan kesakitan serta kerabat yang berduka memenuhi udara.
Bahkan seorang dokter yang sangat terlatih pun tidak akan mampu menghapus betapa mengerikannya situasi di sana. “Saya masih membayangkan semua korban yang saya rawat,” ucap Sam Attar.
Perjalanan terakhirnya di Gaza membawanya bergabung dengan tim medis internasional yang ditempatkan di rumah sakit di Gaza Utara.
Di sana bukan hanya korban ledakan, melainkan malnutrisi pada tingkat yang paling kronis. World Health Organization (WHO/ Organisasi Kesehatan Dunia) telah memperingatkan hal ini.
Banyak anak-anak berusia di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi akut. Selain itu penduduk Gaza Utara juga menghadapi bencana kelaparan.
Seorang perempuan berusia 32 tahun menderita gizi buruk. Bukan hanya perempuan itu, melainkan anak dan kedua orang tuanya juga mengalami hal yang sama.
Ibu muda itu menjalani upaya untuk memacu jantungnya yang sempat terhenti. Namun, tetap tidak dapat diselamatkan.
“Perempuan itu terbaring di bangku, lengan kirinya menjuntai ke bawah. Matanya menatap ke atas saat kematiannya,” papar Sam Attar.
Kemudian ada seorang anak perempuan kecil bernama Jenna Ayyad. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu hanya tinggal kerangka dan tulang.
Jenna mengalami trauma perang dan kekurangan gizi akut. “Dia menderita fibrosis kistik. Hal itu membuat pencernaannya lebih sulit,” katanya.
Saat Sam Attar bersiap kembali ke Gaza Selatan, ibu Jenna Ayyad mendekatinya dan berkata “Saya pikir kami akan ikut bersamamu. Apa yang terjadi? Mengapa kamu pergi dan kami tetap di sini?”
Walaupun sudah dijelaskan bahwa kepergian para tim medis bukan untuk membawa pasien. Namun Sam dan rekan medis lainnya mengisi berkas yang diperlukan untuk memindahkan Jenna Ayyad. Kini, Jenna dipindahkan dan dirawat di rumah sakit Korps Medis Internasional dekat Rafah.
Sam Attar berharap ia akan segera kembali ke Gaza. Ada sebuah ikatan persahabatan yang memanggilnya untuk kembali.
Misalnya seorang paramedis bernama Nabil yang dilihat Sam setiap harinya. Selalu membawa korban luka untuk diobati. Sampai akhirnya Nabil sendiri menjadi korban dan harus ditarik dari reruntuhan oleh sesama tim medis. Nabil masih hidup, namun tidak akan bisa pergi dari Gaza.
Kemudian ada lagi seorang dokter yang putrinya terbunuh. Namun, dia tetap menghibur seorang ibu lainnya yang putranya masih balita dan menderita cedera otak karena pecahan bom.
Lalu ada pasien dan keluarga mereka yang melihat tim medis sebagai contoh kesopanan manusia di tempat yang penuh teror dan mengerikan.
Bagi seorang Sam Attar, orang-orang inilah yang selalu ada di dalam benaknya. Mereka semua adalah orang-orang yang sulit untuk dilupakan.
Editor: Fika