PARBOABOA, Jakarta – Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menimbulkan ketegangan internasional dengan mengklaim wilayah Essequibo, yang selama ini diduduki oleh Guyana dan masih berstatus sengketa.
Tindakan kontroversial ini disertai dengan peluncuran peta baru Venezuela yang mencakup wilayah tersebut, yang kini diberi nama 'Guyana Essequiba.'
Keputusan tersebut muncul setelah lebih dari 10,4 juta pemilih Venezuela menyetujui langkah tersebut dalam sebuah referendum pada Minggu (3/12/2023) yang lalu.
Maduro kemudian menunjuk Mayor Jenderal Alexis Rodriguez Cabello sebagai gubernur baru di wilayah tersebut, dengan pusat pemerintahannya berlokasi di Tumeremo, sebuah kota pertambangan di negara bagian Bolivar.
Tak hanya itu, menurut laporan dari harian Spanyol El Pais, Maduro bahkan telah mengirim pasukan ke perbatasan dengan Guyana sebagai persiapan untuk menguasai wilayah seluas 160.000 kilometer persegi ini.
Perusahaan-perusahaan yang saat ini beroperasi di bawah konsensi dari Guyana pun diminta untuk hengkang dari Esequibo dalam waktu tiga bulan.
Presiden Guyana, Irfaan Ali, menanggapi tindakan Maduro dengan mengumumkan niatnya untuk mendekati Dewan Keamanan PBB terkait sengketa ini.
Selain itu, Guyana juga mengajukan permohonan ke International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, Belanda, meskipun Venezuela tidak mengakui yurisdiksi ICJ.
Jaksa Agung Guyana, Anil Nandlall, menyatakan bahwa negaranya berencana untuk menggunakan Pasal 41 dan 42 dalam Piagam PBB yang memberikan wewenang mengesahkan sanksi atau tindakan militer guna mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional.
Nandlall menekankan bahwa dalam konteks militer, Dewan Keamanan PBB dapat memberikan persetujuan untuk penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara anggota demi mendukung penegakan keputusan ICJ.
Awal Mula Konflik Guyana vs Venezuela
Konflik antara Guyana dan Venezuela terkait wilayah Essequibo dimulai pada 1814 ketika Inggris mengambil alih Guyana dari Belanda.
Pada 1835, Inggris kemudian menetapkan batas dengan Garis Schomburgk, yang memicu klaim wilayah sebelah timur Sungai Essequibo oleh Venezuela.
Perselisihan ini semakin memanas setelah ExxonMobil menemukan cadangan minyak dan gas di lepas pantai pada tahun 2015, membuka potensi Guyana menjadi salah satu negara terkaya di kawasan tersebut.
Dalam menghadapi perkembangan ini, Venezuela semakin tegas dalam menuntut wilayah tersebut.
Presiden Maduro pun mengeluarkan dekrit (Keputusan Presiden 1.787) yang menetapkan wilayah maritim yang mencakup Essequibo dan ZEE Guyana.
Langkah ini diambil karena proyeksi menunjukkan bahwa produksi minyak di wilayah tersebut diperkirakan mencapai 700.000 hingga 1.000.000 barel pada pertengahan dekade ini.
Venezuela, sebagai negara dengan cadangan minyak terbanyak di dunia, mungkin melihat Guyana dengan rasa iri, terutama dalam konteks krisis harga minyak yang dipicu oleh pandemi COVID-19, yang telah merugikan ekonomi Venezuela.
Negara ini mengalami kekacauan ekonomi dan politik di bawah pemerintahan Presiden Maduro, dengan penurunan drastis dalam produksi minyak dan dampak buruk pandemi yang memperburuk situasi.
Venezuela menghadapi tantangan besar dengan penurunan pasokan, strategi yang tidak efektif di sektor minyak, dan sanksi internasional.
Situasi semakin memburuk dengan penyebaran COVID-19, yang berdampak negatif pada pengelolaan fasilitas operasional yang sudah buruk.
Dalam konteks ini, pemulihan ekonomi Venezuela diproyeksikan bergantung pada sektor minyak dan gas, dengan harapan bahwa cadangan yang ditemukan di wilayah Essequibo dapat memberikan manfaat signifikan bagi negara tersebut.
Editor: Rian