PARBOABOA - Sorbatua Siallagan hendak menyalakan mobil pikap L300-nya, ketika pintu di samping kabin kemudi dibuka paksa. Lima orang tiba-tiba merangsek, menarik pria 65 tahun itu keluar.
Berliana Manik, Istri Sorbatua, menyaksikan peristiwa itu tepat dari kursi sebelahnya. "Eh, kenapa.. kenapa ini? mau ngapain?!" teriaknya histeris sembari turun dari mobil.
Tiga orang lain sontak menahan langkahnya. Mereka membawa Berliana ke pinggir jalan. Sementara Sorbatua didorong masuk ke dalam Fortuner hitam.
Mobil itu langsung tancap gas meninggalkan lokasi. Berliana memperkirakan peristiwa di Simpang Simarjarunjung, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, itu terjadi sekitar pukul 10.00 WIB.
Siang itu, Jumat (22/3/2024), suaminya baru saja membeli pupuk. Ia ingat persis, ada sepuluh orang yang menyergap Sorbatua. Berjam-jam kemudian keberadaannya menjadi misteri. Titik terang baru diperoleh pada sore hari.
Seseorang dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) menghubungi keluarga melalui sambungan telepon. Ia mengabarkan bahwa Sorbatua berada di Polda Sumatra Utara.
Polisi menangkapnya atas laporan PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL) nomor (LP)/B/717/VI/2023/SPKT/Polda Sumatera Utara tertanggal 16 Juni 2023. Dalam laporan tersebut, Sorbatua diduga melakukan perusakan dan penebangan pohon eukaliptus serta membakar lahan yang ditanami PT TPL.
Polisi menganggap Sorbatua mangkir dalam dua kali panggilan pemeriksaan sebelumnya. Itu sebabnya, ia dijemput paksa.
Sorbatua merupakan Ketua Lembaga Ompu Umbak Siallagan di Desa Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Kelompok adat yang merupakan Keturunan Ompu Ombak Siallagan itu terlibat konflik lahan dengan TPL.
Berdasarkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lembaga nonpemerintah yang menginventarisasi tanah adat, masyarakat keturunan Ompu Umbak Siallagan itu punya hak atas 851,42 hektare lahan di Dolok Parmonangan. Tanah tersebut telah diverifikasi dan disertifikasi BRWA.
Nah, 235,71 hektare di antaranya beririsan dengan lahan konsesi milik TPL. Bidang tersebut yang menjadi pangkal konflik masyarakat adat dengan TPL.
Selama ini, anggota kelompok adat Siallagan terus beraktivitas di areal yang tumpang tindih klaim tersebut. Menurut Berliana, di atas lahan itu juga ada permukiman yang dihuni sekitar 10 orang.
Di sana berdiri pula sebuah gereja, di antara hutan eukaliptus milik PT TPL. Ikatan masyarakat Siallagan dengan tanah tersebut juga terpaut pada bangunan makam leluhur mereka.
"Tugu Opung kami itu pun di situ," kata Berliana.
Berliana dan masyarakat adat di Dolok Parmonangan merupakan keturunan ke tujuh yang menempati kawasan tersebut. Aktivitas mereka di lokasi itu diduga bersinggungan dengan aset tanaman industri milik PT TPL.
Namun, dari kacamata komunitas adat, daerah tersebut merupakan bagian dari hak mereka. "(Kementerian) Kehutanan yang menjarah tanah Opung kami, baru dikasih Kehutanan ke TPL," kata Berliana bersungut-sungut.
Di Kabupaten Simalungun, konflik TPL dengan masyarakat adat tidak hanya terjadi di Dolok Parmonangan. Hal serupa juga terjadi di lahan yang diklaim milik Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas.
Sengketa lahan ini sudah berumur panjang. Persoalan bermula ketika TPL mendapat konsesi melalui KEPMENHUT No. SK.493/Kpts-II/1992. Izin tersebut memberi hak pengusahaan hutan tanaman industri seluas 269.060 hektar kepada TPL.
Saat izin konsesi itu keluar PT TPL masih bernama PT Inti Indorayon Utama. Hingga saat ini, pemerintah telah delapan kali melakukan pembaruan konsesi. Izin teranyar dikeluarkan pada 2020 dengan nomor KEPMENLHK No.SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020.
Persoalannya, 1.500 hektare lahan konsesi TPL masuk dalam kawasan tanah adat Sihaporas. Masyarakat Sihaporas sendiri, menurut data BRWA, punya total tanah ulayat seluas 2.053 hektare.
Eskalasi ketegangan di lahan yang dipersengketakan ini mulai tampak sejak 2019. Thomson Ambarita, anggota masyarakat adat Sihaporas, menjadi saksi sekaligus orang yang terlibat bentrokan saat itu.
Ia menceritakan detik insiden empat tahun silam. Masyarakat adat sedang menanam jagung dilahan yang dianggap milik komunitas adatnya.
Mereka kemudian mendapat adangan dari pihak perusahaan. Bentrokan tak terhindarkan. Thomson dan seorang lagi anggota masyarakat adat sempat dibui karena kasus tersebut.
Pada 2022, terjadi lagi ketegangan. Masyarakat adat sampai membuat portal di pintu masuk areal lahan yang mereka sebut sebagai tanah ulayatnya.
Masyarakat adat di Simalungun sebenarnya sudah berupaya untuk menempuh jalur formal untuk mengeklaim tanah adatnya. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, juga pernah berkomitmen menyelesaikan konflik di sana.
Janji itu disampaikan Siti Nurbaya saat pertemuan dengan masyarakat adat di Medan, 23 April 2018. "Beliau berjanji menyelesaikan konflik, asal masyarakat adat teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)," kata Roganda Simanjuntak, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) PW Tano Batak.
Masyarakat adat Desa Sihaporas lantas mendaftarkan lahan adatnya pada 5 September 2018 ke BRWA. Sementara masyarakat Parmonangan mendaftar sebulan kemudian pada 23 Oktober 2018.
Setelah melewati proses verifikasi, BRWA menerbitkan sertifikasi wilayah adat untuk kedua tanah ulayat tersebut pada 2019. AMAN dan masyarakat adat di dua desa bertemu lagi dengan Siti Nurbaya untuk menanyakan langkah-langkah revisi konsesi TPL.
Pada 2020, Siti Nurbaya mengirimkan surat kepada Bupati Simalungun. Isinya, meminta Bupati segera mengeluarkan produk hukum dengan mengidentifikasi masyarakat adat yang ada di sana.
"Surat menteri tidak ditindaklanjuti sampai sekarang," jelas Roganda.
Tak hanya itu, pada 2021 Menteri LHK kembali menerbitkan surat terkait prioritas penyelesaian konflik lahan adat di kawan kawasan Danau Toba. Ada 23 lokasi lahan adat untuk diselesaikan konfliknya, termasuk lahan adat di Kabupaten Simalungun.
Akan tetapi, Kementerian LHK kemudian hanya menyelesaikan konflik lahan adat di Kabupaten Toba dan Tapanuli Utara. Belum adanya produk hukum terkait hak adat di Simalungun menjadi alasan Kementerian belum bisa menindaklanjuti penyelesaian konflik di sana.
Bupati Simalungun, Radiapoh Sinaga, sempat berjanji segera menyelesaikan konflik masyarakat adat yang ada di daerahnya pada 2020. Janji itu dilontarkan saat kunjungan Kantor Staf Presiden (KSP) ke Desa Sihaporas.
"Namun sampai sekarang tak ada realisasi," jelas Roganda.
Ketua Pengurus Harian AMAN Tano Batak, Jhontoni Tarihoran, menyatakan akan terus mendorong pemerintah daerah mengeluarkan peraturan untuk melindungi hak masyarakat adat. Perda itu nantinya bisa menjadi dasar Bupati untuk mengeluarkan surat keputusan pengakuan hak-hak masyarakat adat seperti di Dolok Parmonangan dan Sihaporas.
AMAN akan mendorong pengesahan peraturan secara berjenjang baik di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Selama ini, ketiadaan regulasilah yang menyebabkan konflik pengusaha dan masyarakat adat berlarut-larut.
Alhasil, kata Jhontoni, masyarakat adat tidak punya legalitas dari negara. Padahal mereka sudah tinggal cukup lama tinggal disana.
Menurutnya, sudah menjadi tugas negara untuk mengadministrasikan hak adat. Tujuannya, lanjut dia, supaya tidak terjadi konflik berkepanjangan.
Kondisi saat ini menyebabkan komunitas adat tidak bisa hidup berdampingan dengan perusahaan. Di lapangan terjadilah gesekan antara investor dan masyarakat.
Masalah yang berlarut akhirnya juga berdampak pada iklim investasi. "Jika ini terus dibiarkan, investasi tidak nyaman, hak hak masyarakat adat terus dilanggar, dan akan berhadapan dengan aparat," kata Jhontoni.
Kepala Bagian Hukum di Pemerintah Kabupaten Simalungun, Franky Fernandus Purba mengatakan bahwa surat dari pemerintah pusat tidak bisa serta merta ditindaklanjuti. Hal itu disebabkan adanya perbedaan kearifan lokal.
Belum lagi, kata dia, dulunya kawasan Simalungun adalah wilayah kerajaan-kerajaan. Banyak klaim sepihak dari masyarakat terhadap lahan.
Pemkab Simalungun telah dua kali memfasilitasi focus group discussion (FGD) dengan masyarakat di desa yang disebut berkonflik dengan PT TPL. Langkah tersebut dilakukan sebagai salah satu syarat pembentukan peraturan daerah (perda).
“Justru masyarakat mengatakan tidak ada tanah adat di Simalungun. Yang ada tanah Kerajaan yang sudah diberikan kepada negara,” katanya ketika diwawancara Parboaboa, Senin (1/4/2024).
Disinggung soal pelepasan konsesi PT TPL, Franky mengaku hal itu harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
“Ini akan jadi masalah, daerah-daerah lain akan ikut mengeklaim wilayah adat. Ini akan jadi konflik,” imbuh dia.
Parboaboa telah melayangkan permintaan wawancara ke PT TPL. Namun, PT TPL menyatakan belum bisa memberikan kesempatan wawancara.
Sebagai gantinya, perusahaan memberikan keterangan tertulis. Dalam pernyataan tersebut, PT TPL menegaskan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat di seluruh area operasional mereka.
"PT TPL juga berkomitmen mengedepankan dialog terbuka untuk solusi damai dengan masyarakat dalam menghadapi setiap tantangan isu sosial tanpa aksi yang dapat merugikan para pihak," kata Salomo Sitohang, Corporate Communication Head PT TPL.
PT TPL mengaku selama ini hanya menerima 10 klaim tanah adat. Semuanya, masih bunyi pernyataan tersebut, sudah diselesaikan dengan Kemitraan Kehutanan Pola Perhutanan Sosial.
Dari daftar 10 klaim tanah adat itu, Menurut PT TPL, tidak ada nama Komunitas Ompu Umbak Siallagan. Salomo meminta klaim masyarakat diajukan sesuai prosedur yang berlaku.
"TPL sangat menghormati prosedur dan ketentuan yang berlaku terkait masyarakat adat," katanya Salomo.
Terkait dugaan pidana yang tengah berproses di Polda Sumatra Utara, PT TPL menyebutnya sebagai tindakan kriminal murni. Perusahaan akan menghormati proses hukum serta peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Reporter: Calvin Siboro
Editor: Kurniati