PARBOABOA, Jakarta – Meski tidak termasuk penyakit menular berbahaya, kasus cacar monyet atau monkeypox saat ini tengah mengintai warga Jakarta.
Hingga Jumat (20/10/2023), kasus akibat virus asal Afrika itu sebanyak 3 kasus dan 7 orang suspek.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, meski bukan kategori penyakit menular berbahaya namun cara penularan dan efek yang ditimbulkan bagi pasien cacar monyet perlu diwaspadai dan dilakukan perawatan intensif.
"Pasien terkonfirmasi cacar monyet harus menjalani isolasi diri sampai benar-benar sembuh. Sebab, pasien cacar monyet dapat menularkan kepada orang lain melalui kontak kulit, luka, cairan tubuh dan hubungan seksual," katanya kepada PARBOABOA.
Saat ini Dinkes DKI Jakarta tengah melakukan pencarian menelusuri kontak erat pasien yang terkonfirmasi cacar monyet.
"Kami menemukan pasien laki-laki dewasa mengidap gejala ringan dan kondisi masih stabil. Kami menduga, ada seseorang yang berhubungan seksual dengan penderita dalam tiga pekan terakhir, mereka juga mengalami gejala yang sama," kata Ani.
Ada beberapa gejala yang muncul pada suspek dan dicurigai tertular dari pasien monkeypox. Seperti gejala demam, lenting, luka pada kulit, mulut dan kelamin, benjolan atau pembesaran kelenjar getah bening di ketiak, leher, selangkangan dan lipatan paha.
Dengan gejala seperti itu, Ani mengimbau masyarakat tidak terlalu panik dan tetap menghindari kontak fisik dengan orang dengan gejala itu.
"Pahami lebih jelas mengenai penyakit ini, cari informasi yang valid dan sumber yang bisa dipercaya," imbuh dia.
Diketahui, Kementerian Kesehatan juga telah membuat Surat Edaran (SE) sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan bagi pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, laboratorium kesehatan masyarakat, kantor kesehatan pelabuhan dan pemangku kepentingan terkait peningkatan kewaspadaan cacar monyet di Indonesia.
Surat edaran dengan nomor: HK.02.02/C/4408/2023 itu dikeluarkan sejak 18 Oktober 2023.
7 Suspek Diperiksa
Kepala seksi (Kasi) Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama mengatakan, dua suspek yang telah diperiksa tiga hari lalu sudah negatif. Dinkes Jakarta juga masih menunggu hasil dari 7 kasus suspek yang diperiksa.
Suspek itu, lanjut Ngabila, bukan merupakan kontak erat dari kasus positif cacar monyet.
"Karena semua kontak erat dari kasus positif tidak bergejala dan tidak diperiksa di laboratorium. Hanya dipantau tiap hari. Jika bergejala baru diperiksa,” ungkapnya kepada PARBOABOA.
Ngabila juga mengakui sudah terjadi transmisi lokal di Jakarta. Oleh karenanya ia mengimbau warga Jakarta menjaga kesehatan dan segera berobat jika mengetahui atau mengalami gejala cacar monyet.
“Masyarakat diimbau waspada, cegah sakit dan deteksi dini untuk mencegah kematian,” imbaunya.
Sedangkan terhadap sejumlah pasien suspek cacar monyet, Ngabila mengaku masih dalam proses investigasi Dinkes DKI Jakarta.
Beberapa di antaranya melakukan isolasi, baik di rumah sakit maupun isolasi mandiri di rumah. Isolasi dilakukan untuk memutus rantai penularan virus cacar monyet.
Dinkes DKI Jakarta, lanjut Ngabila, terus mengencangkan penemuan kasus, baik di poli umum, anak, poli HIV dan poli infeksi menular seksual.
"Kami juga akan memantau pasien yang diisolasi di rumah sakit sampai sembuh. Definisi sembuh jika semua luka sudah kering sempurna dan muncul kulit baru. Pasien juga mendapat terapi terbaik dari konsultan ahli monkeypox dari spesialis penyakit dalam dan spesialis kulit kelamin FKUI-RSCM,” jelas dia.
Waspadai Komplikasi Cacar
Sementara itu, Ketua Unit kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Anggraini Alam mengingatkan virus cacar monyet juga bisa menyebabkan komplikasi Kardiovaskular seperti pericarditis, myocarditis dan vasculitis.
Menurutnya, komplikasi yang paling umum adalah infeksi bakteri sekunder pada anak dan pneumonia pada dewasa.
Tidak hanya itu, Anggraini mengatakan, cacar monyet memiliki jendela kesempatan yang terbatas untuk mempengaruhi hasil dari infeksi VZV. Inang yang tidak memiliki kekebalan, replikasi virus berhenti pada 72 jam setelah, timbulnya ruam. Namun, pencegahan menggunakan Asiklovir dan valasiklovir oral tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.
"Terapi antivirus harus dipertimbangkan risiko sedang hingga berat. Orang yang tidak divaksinasi yang berusia lebih dari 12 tahun, gangguan kulit atau paru kronis, harus mendapat terapi salisilat jangka panjang, kortikosteroid jangka pendek atau intermiten," katanya kepada PARBOABOA, Jumat (21/10/2023).
Terkait potensi penularan, kata Anggraini, 87 persen di antara saudara kandung dan 70 persen di antara pasien di bangsal rumah sakit. Penularan dari 24 hingga 48 jam sebelum munculnya lesi kulit sampai lesi tersebut mengering semua.
Untuk perawatan orang yang terpapar, lanjut Anggraini bisa menggunakan vaksin cacar yang idealnya diberikan dalam kurun waktu 3 hari.
"Tetapi hingga 5 hari setelah terpapar dilanjutkan dengan dosis kedua. Semua pasien yang terpapar tanpa bukti kekebalan yang tidak dapat dipulangkan harus ditempatkan di isolasi dari hari ke 8 hingga 21 setelah terpapar dengan pasien indeks,” ungkap dia.
Anggraini juga menyayangkan penyakit cacar tidak mendapat perhatian signifikan dari global atau regional, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Bahkan cacar sering dianggap sebagai penyakit ringan pada masa kanak-kanak, bahkan mengarah pada sikap negatif terhadap vaksinasi universal.
"Vaksin cacar adalah vaksin yang paling sering ditolak oleh sebagian besar orang tua saat ini karena dianggap bukan penyakit yang serius,” pungkasnya.
Editor: Kurniati