PARBOABOA - Pukul 21.00 WIB di Desa Simangulampe, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatra Utara. Malam itu, Jumat (1/12/2023), 30-an orang khusuk beribadah di kediaman Sihombing yang terletak di Jalan Muara.
Stefanie Silaban tengah merapal doa bersama para jemaat lain ketika suasana mendadak kacau. Gemuruh keras terdengar di tengah hujan deras yang mengguyur Simangulampe.
Stefanie menggambarkannya seperti suara mesin ribuan ekskavator yang melintas. Lalu sayup-sayup terdengar teriakan orang dari rumah yang letaknya lebih tinggi dari tempat ibadah dilakukan.
"Longsor!..longsor!..longsor!"
Berada di punggungan bukit, kediaman Sihombing merupakan rumah kedua yang letaknya paling tinggi di Simangulampe. Seketika lumpur mulai memasuki rumah tempat ibadah.
Para jemaat berlarian keluar. Sebagian tunggang-langgang tak tentu arah. Beberapa dari mereka yang tinggal di ujung desa berlari ke Hotel Senior Bakkara.
Banjir lumpur membawa material batu-batu seukuran mobil. Stefanie menyaksikan sebuah batu menghantam satu tiang listrik.
Seketika semua lampu padam. Jalanan gelap gulita. "Semuanya panik menyelamatkan dirinya sendiri," ucap Stefanie mengenang malam nahas itu.
Orang-orang yang menyelamatkan diri di Hotel Senior Bakkara naik hingga ke loteng. Stefanie salah satunya.
Seingatnya, saat itu ada sekitar 10 orang warga di sana, ditambah satu orang tamu dan karyawan hotel.
Di luar, warga yang rumahnya berada di tepi jalan berlari ke sisi kiri dan kanan, mencari tempat aman yang tidak menjadi jalur lumpur.
Di tempat lain yang posisinya jauh lebih di bawah, Marbun tengah berada di warungnya ketika bencana itu datang. Dia keluar warung begitu suara gemuruh terdengar.
Tampak air bah yang membawa bebatuan menerjang dengan cepat dari atas. "Lokasi kejadian kurang lebih 100 meter. Masih terdengar sejelas itu," kenangnya.
Ia langsung berlari ke arah rumahnya yang terletak di pinggir jalur bah. Beberapa orang tetangga mengikuti dari belakang.
Merasa lokasi tersebut belum aman, Marbun lanjut berlari menuju objek wisata Aek Sipangolu. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari titik awal.
Ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Warungnya ditinggal begitu saja.
"Kami semua bingung, karena tidak tahu mau ke mana lagi, karena semuanya kami berada di tepi gunung. Semuanya berisiko banjir dan longsor," Marbun berujar.
Suara gemuruh lumpur dan bebatuan yang meluncur dari atas berhenti sekitar 10 menit kemudian. Sisa malam dilalui warga Simangulampe dengan kecemasan yang tak menentu.
Keesokan paginya, ketika hari sudah mulai terang, sisa-sisa malapetaka malam sebelumnya mulai terlihat.
Batu-batu berukuran besar terdampar di sana sini. Ketinggian tumpukan batu mencapai 3 meter menutup aliran sungai kecil yang membelah Simangulampe. Rumah-rumah dan infrastruktur fisik tumbang dihajar material dari hulu.
Ahli Madya Divisi Operasional Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas), Hari Adi, menyebut 200 orang mengungsi akibat banjir bandang. Terdapat 32 rumah warga yang rusak berat. Begitu pula dengan satu tempat ibadah, satu sekolah, dan satu puskesmas pembantu.
Hingga tahapan evakuasi selesai, dua orang ditemukan tewas, sementara 10 lainnya dinyatakan hilang.
Tapi horor belum berakhir bagi warga Simangulampe yang selamat. Di hari-hari setelah kejadian banjir bandang, hujan deras terus mengguyur tiap malam.
Kekhawatiran terjadi banjir bandang lagi menghantui benak warga Simangulampe. Marbun bercerita, penduduk yang tinggal di belakang bukit akan berkumpul bila malam tiba.
"Biasanya ramai di rumah saya ini, bisa 10 sampai 20 orang," kata dia.
Beberapa yang masih trauma mencari tempat aman di restoran terapung di tepi Danau Toba. Mereka, kata Marbun, menganggap mengungsi ke sana lebih aman.
Bencana seperti 2 Desember itu belum pernah terjadi sebelumnya di Simangulampe. Peristiwa itu tidak hanya menyisakan korban dan kerugian materil tapi juga sejumlah pertanyaan.
Beberapa hari awal pascabencana, sejumlah relawan dari Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mulai bergerak untuk mengungkap penyebab di balik bandang Humbahas.
KSPPM adalah lembaga swadaya yang menaruh perhatian terhadap isu lingkungan di kawasan sekitar Danau Toba.
Mereka mewawancarai warga setempat dan mengobservasi lokasi bencana. Dengan bantuan pesawat nirawak, KSPPM menelusuri jalur bandang dari hilir ke hulu.
"Medan ke atas sulit untuk ditempuh langsung, makanya kami melakukan pemetaan menggunakan drone," kata Rocky Pasaribu, Koordinator Studi Advokasi KSPPM.
Hasil temuan itu memberikan sedikit penjelasan kenapa bandang bisa terjadi. Dokumentasi foto dan video KSPPM, yang dilihat oleh Parboaboa, menunjukkan terdapat lahan botak pada puncak bukit di atas Desa Simangulampe.
Dari pencitraan drone, tampak sisa-sisa kayu jenis eukaliptus dan pinus yang ditebang. Selain itu, kata Rocky, terdapat bekas jejak alat berat berupa ekskavator dan truk pengangkut kayu di kawasan yang gundul.
Kuat dugaan terdapat aktivitas penebangan ilegal di atas bukit. Rocky menaksir lahan yang dibabat mencapai 4 hektare.
Menurutnya, wilayah tersebut sebenarnya masuk kawasan hutan negara berstatus hutan lindung. Itu sebabnya, ia heran dengan keberadaan pohon eukaliptus di sana.
"Pohon jenis eukaliptus, bukan merupakan jenis pohon alami yang tumbuh di Sumatra Utara terkhusus daerah Danau Toba," ungkap Rocky.
Ada indikasi kayu-kayu tersebut digunakan industri kertas. Sebab, lanjut Rocky, eukaliptus hanya bisa diolah menjadi pulp atau bubur kertas.
Jika digunakan untuk bahan bangunan, kualitas kayu pohon ini sangat rendah, untuk pembakaran juga tidak maksimal.
Warga Simangulampe yang Parboaboa temui mengaku tidak pernah melihat truk pengangkut kayu lalu-lalang di wilayah mereka. Dugaannya, truk-truk membawa kayu hasil penebangan melewati Desa Habeahan, Kecamatan Lintong Nihuta.
Desa tersebut berada di sisi lain bukit yang menghadap Desa Simangulampe. Adapun puncak bukit masuk wilayah Desa Sitolubahal.
Rocky menduga kuat penebangan dilakukan warga desa di sana.
"Tapi kami belum bisa memastikan siapa yang terlibat dalam melakukan penebangan liar tersebut," kata Rocky.
Bupati Humbahas, Dosmar Banjarnahor, pernah menyatakan dugaan ada beking di balik perambahan ilegal di Humbahas. Namun, hingga pekan lalu, polisi belum juga menemukan titik terang siapa yang bertanggung jawab terhadap pembalakan hutan di atas Desa Simangulampe.
Kasus tersebut masih dalam penyelidikan polisi. Parboaboa telah berusaha menghubungi Kombes Hadi Wahyudi, Kabid Humas Polda Sumatra Utara, dan AKBP Hary Ardiyanto, Kapolres Humbahas. Namun hingga tenggat tulisan ini, keduanya belum memberikan respons.
Reporter: Patrick Damanik