PARBOABOA, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, angkat suara soal ungkapan Joko Widodo (Jokowi) bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye di pemilu.
Menurut Hasto pada Kamis (25/1/2024), pernyataan orang nomor 1 di Indonesia itu membuktikan bahwa pasangan Prabowo-Gibran adalah representasi dari keinginan Jokowi untuk tiga periode kepresidenan.
Padahal, ia mengungkap upaya tiga periode Jokowi telah ditolak oleh PDI Perjuangan dan berbagai kelompok pro demokrasi, budayawan, cendekiawan, serta berbagai pihak untuk menjaga konstitusi.
Hasto menyebut, tindakan Jokowi tersebut melanggar etika politik dan pranata kehidupan bernegara yang baik.
Ia menambahkan, sikap Jokowi itu menunjukkan adanya ambisinya mempertahankan kekuasaan dalam Pilpres 2024.
Padahal menurut Hasto, Jokowi sudah menjabat sebagai presiden selama dua periode dan konstitusi melarang perpanjangan jabatan.
Karena itu, dirinya berpendapat bahwa keikutsertaan Jokowi dalam kampanye merupakan manifestasi tidak langsung dari ambisi kekuasaan untuk periode ketiga.
Sementara itu, menurut Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, menyebut pasangan Prabowo-Gibran identik dengan kepemimpinan Jokowi.
“Tidak mengherankan kalau posisi Paslon nomor urut 2 merupakan personifikasi Jokowi,” jelas Atang kepada PARBOABOA, Jumat (26/1/2024).
Hal itu dikarenakan visi-misi Jokowi diteruskan oleh pasangan Prabowo-Gibran.
“Secara fisik Jokowi tidak berkuasa lagi namun visi dan misi Jokowi tetap langgeng jika pilpres ini dimenangkan oleh Paslon Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Sebelumnya pada Rabu (24/1/2024), publik dihebohkan dengan pernyataan Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum (Pemilu).
Jokowi menyatakan bahwa hak demokrasi dan hak politik merupakan hak setiap orang, termasuk para menteri.
Menurutnya, presiden juga memiliki hak untuk berkampanye dan memihak asal tidak menggunakan fasilitas negara.
Pernyataan Jokowi Picu Polarisasi
Ahmad Atang menyebut, keterlibatan presiden dalam kampanye dan dukungan terhadap salah satu pasangan calon tidak hanya melanggar netralitas, tapi juga menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.
“Presiden mestinya bersikap adil terhadap semua kekuatan politik, agar tidak berpotensi menciptakan keberpihakan, karena hal ini akan sangat berbahaya terhadap polarisasi politik di masyarakat,” jelasnya.
Pasalnya, sikap politik Jokowi yang terlalu terbuka dapat berdampak pada perilaku bawahannya, mengingat presiden juga memiliki pengaruh dalam birokrasi.
“Pilihan politik Jokowi tidak harus dipertontonkan secara vulgar, karena sikap itu akan diikuti oleh bawahannya karena presiden saja tidak netral apalagi bawahannya,” tegas Atang.
Hal ini lantaran dapat menimbulkan kegaduhan dalam pemerintahan.
“Di satu sisi para menteri menekankan netralitas akan tetapi pada saat yang sama asas ini dilanggar oleh pembuat kebijakan,” ujarnya.
Atang menegaskan bahwa Jokowi sebaiknya mengurungkan niatnya untuk berkampanye mendukung salah satu pasangan calon, guna menghindari resistensi dari publik.
Ia juga menekankan Jokowi seharusnya bisa mewariskan model politik yang baik untuk generasi berikutnya.
“Jokowi mau mengakhiri jabatan, sebaiknya mewariskan model politik yang baik bagi generasi mendatang,” pungkasnya.