PARBOABOA, Jakarta - Empat (4) hari pasca pemungutan suara pemilu 2024, iklim politik tanah air digegerkan dengan pertemuan Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh di Istana Negara, Minggu (18/2/2024).
Pertemuan ini sedikit agak mengejutkan karena dilakukan di tengah kompetisi pemilu, terutama Pilpres yang walaupun menurut hasil hitung cepat diunggulkan oleh Prabowo-Gibran, tetapi tetap diragukan oleh kompetitornya dengan sejumlah dugaan kecurangan.
Sebagaimana diketahui, Surya Paloh adalah salah satu inisiator koalisi perubahan yang mengusung Anies-Muhaimin (Amin) di Pilpres, sementara Presiden Jokowi diduga punya afiliasi yang kuat dengan paslon 02.
Perbedaan dukungan dan pereferensi politik inilah yang mengawali kecurigaan adanya lobi-lobi politik di balik pertemuan kedua tokoh.
.
Namun begitu, Presiden Jokowi sendiri sebenarnya telah memberikan penjelasan. Ia mengatakan, perjumpaanya dengan Surya Paloh merupakan hal yang lazim.
Jokowi mengklaim, benar bahwa keduanya berbicara mengenai politik, tetapi terbatas pada politik kebangsaan, yaitu isu-isu politik yang bermanfaat bagi kepentingan negara ke depan.
Nasdem juga memberikan pengakuan yang sama. Ketua DPP NasDem, Willy Aditya mengatakan, meski di Pilpres Presiden Jokowi agak bersebarangan dengan Nasdem, tetapi partainya tetap terikat sebagai koalisi yang mendukung pemerintahan Jokowi hingga Oktober nanti.
Dalam konteks itulah ia memandang pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh sebagai hal yang biasa. Apalagi, keduanya juga memiliki hubungan yang cair dan diklaim tidak mudah baper meski berbeda pilihan.
Terkait kemungkinan koalisi, Willy mengatakan terlalu dini jika ada pihak yang menarik kesimpulan ke arah sana, mengingat tahapan Pilpres belum selesai.
Deal-deal Politik
Di tengah beragam spekulasi yang beredar, Analis Politik, Prof. Massa Djafar menilai, bertemunya Jokowi dan Surya Paloh bisa dibaca dari dua kemungkinan.
Pertama, pertemuan itu memberikan semacam isyarat apakah ada deal-deal politik untuk berkoalisi. Menurutnya, hal itu pernah terjadi di Pilpres 2019 lewat penggabuangan koalisi Prabowo dengan koalisi Jokowi yang terpilih sebagai presiden.
Kala itu, meski penggabungan mengatasnamakan kepentingan dan persatuan nasional, tetapi unsur pragmatisnya sulit dihindari. Menurut Dajafar, upaya semacam itu sedang diupayakan lagi lewat pertemuan Jokowi-Surya Paloh.
"Dimana pendukung 01 bergabung dengan O2, dengan imbalan posisi dan bagi-bagi proyek dan sumber ekonomi," kata Dajafar dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA, Senin (19/2/2024).
Kedua, Jokowi bertemu dengan Surya Paloh bisa saja untuk menekan eskalasi kemarahan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan civitas akademi dari sejumlah kampus di Indonesia, yang selama ini memberikan kritikan tajam terhadap praktek demokrasi pemilu.
Dia menjelaskan, kekuatan dan suara kritis sejumlah kelompok ini cukup menganggu kenyamanan Jokowi, termasuk bisa saja menggugurkan keabsahan pemilu 2024.
Jokowi terang Djafar, pernah berikhtiar bertemu Megawati Soekarnoputri sebagai sosok yang dianggap bisa meredam situasi ini tetapi mendapat penolakan dari mantan presiden ke 5 RI itu.
Apakah undangan kepada Surya Paloh, "juga punya kesamaan, sebagai upaya Jokowi untuk mengamankan diri dan keluarganya jika kelak 02 kalah," tegasnya.
Namun demikian, Djafar cukup yakin Surya Paloh tidak mudah menerima sejumlah tawaran itu, mengingat ia merupakan salah satu tokoh kunci dalam Pilpres yang oleh beberapa pihak, ia diharapkan tetap memegang tongkat perubahan/restorasi.
Toh, kalau Surya Paloh ingin bergabung dengan koalisis Jokowi, ia tak perlu bersusah payah mencalonkan Anies-Muhaimin dengan segala konsekuensinya.
Karena itu, menurut Djafar Surya Paloh cukup sulit diminta menghentikan gerakan-gerakan perubahan yang semakin meluas hari-hari ini, termasuk menghentikan suara-suara yang menggugat hasil pemilu.
"Kemungkinanya sangat tipis, kalau Surya Paloh mau menghentikan gerakan perubahan dan kemudian bergabung dengan 02."
"Jika Surya Paloh mau, mungkin sejak awal ia tak akan mengambil jalan bersebrangan," tutupnya.
Editor: Gregorius Agung