PARBOABOA, Jakarta - Agenda reforma agraria yang digagas mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun terakhir belum menunjukkan tanda- tanda kemajuan.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, pemerintahan Jokowi belum berhasil merealisasikan janji politik untuk melaksanakan reforma agraria seluas 9 juta hektar.
Dari 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan luas total 1,6 juta hektar, hanya 2,46 persen yang berhasil direalisasikan dan didistribusikan kepada petani.
Hal ini utamanya terjadi "di wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi area sengketa agraria eks-HGU swasta," terang Sekretaris Jendral KPA Dewi Sartika dalam sebuah laporan, Jumat (24/10/2024).
Meskipun demikian, lanjut Dewi, LPRA di lahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), HTI, dan klaim kawasan hutan, tidak ada yang berhasil mencapai target.
Sementara, laporan dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa Presiden Jokowi hanya mampu menertibkan 77 ribu hektar dari total 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar.
Alih-alih melakukan evaluasi menyeluruh, pemerintahan sebelumnya justru dianggap memanipulasi capaian reforma agraria dengan data sertifikasi atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
"Padahal, proses sertifikasi merupakan tugas rutin Kementerian ATR/BPN dan tidak menyentuh masalah konflik agraria serta ketimpangan dalam penguasaan lahan," tegas Dewi.
Pemerintah sendiri telah mengakui adanya sekitar 7,24 juta hektar tanah (HGU dan HGB) yang terlantar.
KPA menerangkan, mandeknya penyelesaian konflik agraria terjadi bersamaan dengan meningkatnya insiden konflik akibat berbagai investasi dan pembangunan, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), Bank Tanah, dan Food Estate.
Data KPA dari 2015 hingga 2023 menunjukkan adanya 2.939 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 6,3 juta hektar dan mempengaruhi 1,75 juta rumah tangga petani.
Tindakan represif dalam menangani konflik tersebut juga menambah jumlah korban, dengan 2.442 orang dikriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 orang terluka akibat tembakan, dan 72 orang tewas di wilayah-wilayah konflik.
Bagi KPA, ketidakberhasilan pelaksanaan reforma agraria berdampak langsung pada semakin memperburuk ketimpangan penguasaan tanah.
Saat ini, lebih dari 25 juta hektar lahan dikuasai oleh pengusaha kelapa sawit, 10 juta hektar oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar lagi oleh korporasi kehutanan melalui skema HTI.
Sementara itu, penguasaan lahan oleh petani semakin menyusut, dengan rata-rata kepemilikan tanah hanya 0,1 hingga 0,3 hektar per keluarga.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah petani dengan kepemilikan tanah yang sangat kecil bertambah hingga 2,62 juta, menurut data BPS.
Salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan reforma agraria adalah kinerja buruk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Kementerian ATR/BPN pun sejauh ini terjebak pada konsep "clean dan clear", yang hanya fokus pada wilayah yang tidak memiliki konflik agraria aktif.
Di samping itu, sejumlah kebijakan dari Menteri ATR/BPN sebelumnya justru bertentangan dengan prinsip reforma agraria dan konstitusi, termasuk pembentukan Lembaga Bank Tanah, pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sebagai hak baru, serta perpanjangan HGU dan HGB hingga 190 dan 160 tahun di IKN.
Kebijakan tersebut dinilai memperbesar perampasan lahan untuk investasi dan memperburuk konflik agraria.
Rekomendasi KPA
Presiden Prabowo bersama Nusron Wahid sebagai Menteri ATR/BPN yang baru pada Senin (21/10/2024) langsung mengadakan Rapat Pimpinan (Rapim) I bersama seluruh jajaran di Kementerian tersebut.
Dalam rapat ini, Nusron menyampaikan arahan dari Presiden Prabowo kepada seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN terkait agenda reforma agraria.
Arahan tersebut meliputi beberapa poin penting, yakni penataan ulang penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih adil.
"Poin lain adalah optimalisasi pemanfaatan tanah negara yang terlantar dan penyelesaian berbagai sengketa tanah," ungkap Dewi.
Sebagai pemimpin baru, Nusron diharapkan tanggap terhadap berbagai permasalahan yang belum terselesaikan, khususnya terkait konflik agraria yang masih berlarut.
Program prioritas Presiden Prabowo seperti Bank Tanah dan Food Estate berpotensi menjadi tantangan besar bagi terobosan Nusron Wahid sebagai Menteri ATR/BPN.
Untuk menghindari pengulangan pendekatan pemerintahan sebelumnya, KPA menyarankan Menteri ATR/BPN yang baru untuk mengambil delapan langkah penting dalam menjalankan agenda reforma agraria:
Pertama, membangun sistem pendaftaran tanah secara nasional yang partisipatif, proaktif, transparan, dan akuntabel, serta meninggalkan pendekatan legalistik dan top-down dalam menjalankan reforma agraria.
Kedua, membangun keterbukaan informasi terkait hak atas tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak Milik, serta Hak Pengelolaan (HPL).
Ketiga, meninjau dan mencabut HGU, HGB, Hak Pakai, atau HPL yang terbukti menjadi sumber konflik agraria, ketimpangan, dan perampasan tanah masyarakat.
Keempat, menghentikan kebijakan pemberian tanah baru kepada perusahaan, termasuk program-program di Kementerian ATR/BPN yang tidak selaras dengan agenda reforma agraria.
Kelima, menindak praktik-praktik korupsi agraria dan mafia tanah yang masih ada di Kementerian ATR/BPN, serta memperbaiki tata kelola tanah.
Keenam, memfokuskan pelaksanaan reforma agraria di wilayah-wilayah dengan konflik dan ketimpangan agraria yang menjadi pusat kemiskinan.
Ketujuh, memprioritaskan redistribusi lahan kepada petani gurem, buruh tani, petani tanpa lahan, dan masyarakat desa yang bergantung pada sektor pertanian.
Kedelapan, nerkolaborasi dengan Gerakan Reforma Agraria untuk mendorong pengesahan RUU Reforma Agraria sebagai perwujudan dari UUPA 1960.
"Langkah-langkah ini hanya akan berhasil jika Menteri ATR/BPN memiliki komitmen politik dan keberanian untuk melakukan terobosan hukum," tutup Dewi.