PARBOABOA, Jakarta - Tak hanya Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini juga tengah menjadi sorotan pasca putusan praperadilan eks Wamenkumham, Eddy Hiariej.
Dua institusi penegak hukum ini diduga punya andil dalam meloloskan praperadilan Eddy Hiariej sehingga dikritik oleh sejumlah pihak.
Salah satu kritikan itu datang dari Indonesia Coruption Watch (ICW). ICW mengendus, putusan a quo terasa janggal karena dilandasi oleh argumentasi hukum yang keliru.
Menurut peneliti ICW, Diky Anandya, KPK sudah tepat menerapkan aturan hukum yang sahih saat menetapkan Eddy sebagai tersangka.
Sebaliknya kata Diky, justru argumentasi hukum hakim tunggal Estiono yang dangkal karena hanya mengacu pada sedikit alat bukti. Padahal, bukti yang diajukan lembaga anti rasuah terdiri dari 80 dokumen dan 16 keterangan saksi.
Namun, hakim Estiono menurut ICW hanya mempertimbangkan beberapa alat bukti, itupun cenderung hanya mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan Eddy Hiariej.
Tak hanya itu, ICW juga mempersoalkan dalil hakim Estiono yang mempersoalkan singkatnya waktu pengumpulan alat bukti kasus dugaan gratifikasi Eddy dalam pertimbangan hukumnya.
Diky mengatakan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 maupun Pasal 44 Ayat (2) Undang-Undang (UU) KPK terkait pembuktian, hanya mengatur soal jumlah dan jenis bukti permulaan.
Dengan demkian, tidak ada alasan bagi hakim untuk mempersoalkan tenggat waktu pengumpulan alat bukti, selain fokus pada terpenuhi atau tidaknya dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka.
Dalam penetapan tersangka Eddy, Diky mengatakan KPK telah mengantongi 2 alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lantas, Diky mengharapakan, meski saat ini putusan praperadilan Eddy tak bisa lagi diajukan upaya hukum, namun KPK diminta untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang kasus tersebut.
Sementara itu, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto mengklaim, menangnya gugatan praperadilan Eddy Hiariej tidak terlepas dari manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasto mengatakan, ada lobi-lobi hukum di MK untuk menyelamatkan kasus-kasus hukum pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan. Tak merinci kasus apa yang dimaksud, Hasto hanya mengatakan, fenomena itu salah satunya mewarnai praperadilan Eddy Hiariej.
"Menangnya praperadilan dari Wamen yang mantan Wamenkumham itu disinyalir itu terkait dengan lobi-lobi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi, untuk memanipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi," kata Hasto di kantor DPP PDIP, Kamis (1/2/2024).
Bahkan, Hasto mengaitkan mundurnya Mahfud MD dari Menkopolhukam karena kuatnya tekanan untuk mengakali proses penegakan hukum, terutama kasus-kasus korupsi.
Ia berharap, di waktu 13 hari tersisa menuju Pilpres, permainan hukum tersebut bisa diminimalisir dan dihentikan.
Sebelumnya, Selasa (30/1/2024), PN Jaksel memutus menerima praperadilan eks Wamenkumham, Eddy Hiariej. Hakim menilai, penetapan tersangka Eddy oleh KPK tidak didukung oleh alat bukti yang kuat.
Selain itu, pengumpulan alat bukti dinilai dilakukan tergesa-gesa sehingga tidak bisa dijadikan bukti untuk menetapkan tersangka terhadap Eddy Hiariej.
Para tersangka korupsi yang menang praperadilan
Dalam catatan PARBOABOA, menangnya praperadilan Eddy Hiariej menambah daftar panjang pejabat negara yang status tersangkanya batal atau tidak sah.
PARBOABOA mencatat empat orang diantaranya. Pertama, praperadilan pernah dimenangkan oleh Hadi Purnomo, Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hadi menang dalam praperadilan kasus gratifikasi penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia (BCA) Tbk tahun 1999. Saat itu, Hadi menjabat sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan.
Kedua, praperadilan pernah dimenangkan oleh Kepala BIN saat ini, Budi Gunawan. Budi menang dalam praperadilan di tahun 2014 dalam kasus dugaan transaksi mencurigakan melalui rekening pribadinya.
Selain itu, praperadilan juga pernah dimenangkan oleh mantan Wali Kota Makasar, Arief Sirajuddin.
Arief mulanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar tahun 2006-2012.
Namun, pada tahun 2015, Arief mengajukan praperadilan di PN jakarta Selatan. Hasilnya, penetapan tersangka terhadap dirinya dinilai tidak sah karena dinilai melanggar ketentuan Undang-Undang.
Dua nama lain adalah, mantan bupati Nganjuk, Taufiqurrahman dan Mantan Bupati Sabu Raijua NTT, Marthen Dira Tome.
Taufiqurrahman menang dalam praperadilan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan tahun 2016 di daerah itu dan Marthen Dira Tome menang praperadilan dugaan korupsi pendidikan luar sekolah (PLS) senilai Rp 77 miliar pada tahun 2007.