Membaca Implikasi Pemutihan Utang UMKM, Petani dan Nelayan

Presiden RI Prabowo Subianto. (Foto: Instagram/@prabowo)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah pelemahan ekonomi nasional, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan kebijakan yang populis.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024, Ketua Umum Partai Gerindra itu menghapus atau melakukan pemutihan utang untuk UMKM, petani dan Nelayan.

"Hari ini (Selasa, 5/11/2024) saya akan tanda tangani PP Nomor 47 2024," kata Prabowo di Kompleks Istana Merdeka, Jakarta Pusat.

PP tersebut, lanjutnya, berisi, "tentang Penghapusan Kredit Piutang Macet kepada UMKM di Bidang Pertanian Perkebunan Peternakan dan Kelautan dan UMKM lainnya."

Prabowo berharap kebijakan ini akan membuka jalan bagi pelaku UMKM di sektor pertanian, perikanan, dan pangan untuk semakin maju.

Juga agar profesi-profesi tersebut di atas mendapatkan ruang yang lebih besar untuk mengembangkan usaha mereka, sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional.

Menurut Prabowo, kelompok produsen pangan seperti petani, nelayan, dan pelaku UMKM memiliki peran penting dalam memastikan pasokan pangan yang stabil bagi masyarakat. 

Oleh karena itu, pemerintah, kata dia, ingin memberikan dukungan yang nyata sehingga "mereka dapat menjalankan usaha dengan lancar, memberikan manfaat yang lebih besar, dan merasa diperhatikan oleh negara."

Ia menambahkan, aturan teknis pelaksanaan kebijakan ini akan segera dirampungkan oleh kementerian dan lembaga (K/L) terkait.

Dengan dukungan ini, lagi-lagi ia mengharapkan seluruh pelaku usaha di sektor pangan dapat bekerja dengan tenang.

"Kita berdoa supaya seluruh nelayan petani UMKM di Indonesia bekerja dalam ketenangan dan keyakinan bahwa rakyat Indonesia dapat menghargai para produsen pangan yang penting bagi negara," tutupnya.

Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Maman Abdurrahman membenarkan adanya kebijakan penghapusan kredit UMKM oleh pemerintah.

Kebijakan tersebut, kata dia, merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap UMKM di bidang pertanian dan perikanan yang jumlahnya kurang lebih 1 jutaan orang.

"Bentuk simbolisasi keberpihakan pemerintah kepada mereka-mereka para pelaku UMKM yang bergerak di bidang pertanian perikanan," kata Maman.

Kendati demikian, Maman menegaskan penghapusan utang ini ditujukan hanya bagi UMKM yang memiliki tunggakan di bank-bank milik negara (Himbara) dan memenuhi kriteria tertentu. 

Adapun batas kredit yang dapat dihapuskan diatur maksimal Rp 500 juta untuk badan usaha, dan Rp 300 juta untuk individu. Hal ini bertujuan agar program ini tetap terfokus dan menyasar UMKM yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Bagi pelaku UMKM yang masih memiliki kemampuan finansial dan menunjukkan kemampuan pembayaran yang baik, proses pelunasan kredit tetap dilakukan seperti biasa sesuai prosedur yang berlaku. 

Pemerintah, kata Maman ingin memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar selektif, hanya memberikan kelonggaran bagi mereka yang paling terdampak dan tidak dapat bangkit kembali, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan bank.

Risiko Ekonomi yang Harus Disikapi

Kebijakan Prabowo menghapus utang UMKM, petani dan nelayan tentu saja mendapat apresiasi banyak pihak karena menargetkan sektor akar rumput.

Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Arin Setyowati mengatakan, dari sisi ekonomi, kebijakan ini berpotensi mendorong pemulihan ekonomi di tingkat akar rumput.

Dengan mengurangi beban cicilan, kata dia, para pelaku usaha dapat lebih fokus pada produktivitas.

Apalagi berdasarkan data BPJS 2023, jumlah rumah tangga petani di Indonesia mencapai lebih dari 27 juta, nelayan sekitar 2,7 juta orang, dan UMKM mencapai sekitar 66 juta orang.

“Dengan terbebasnya mereka dari kewajiban membayar cicilan, mereka bisa meningkatkan produktivitas akibat lemahnya kondisi ekonomi," pungkasnya.

Penghapusan kredit ini juga diharapkan mendorong konsumsi domestik, yang pada gilirannya memperkuat Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan berkontribusi pada peningkatan lapangan kerja. 

Tak hanya itu, beban utang yang berkurang bisa memberi ruang bagi peningkatan daya beli dan aktivitas ekonomi lokal, yang akhirnya menggerakkan ekonomi secara lebih luas.

Namun begitu, Arin mengingatkan adanya tantangan serius yang perlu diperhitungkan untuk menjaga stabilitas ekonomi. 

Penghapusan kredit, kata dia, jika tidak dikelola dengan baik, berisiko menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah, tekanan pada sektor perbankan, hingga meningkatkan risiko kredit macet. 

Risiko seperti ini dapat berdampak pada stabilitas fiskal dan keuangan jangka panjang, termasuk potensi kenaikan suku bunga kredit sebagai kompensasi risiko yang diambil oleh perbankan. 

Menurutnya, agar kebijakan ini tetap efektif dan berkelanjutan, pemerintah perlu mencari keseimbangan antara dukungan langsung pada sektor-sektor ini dan menjaga stabilitas keuangan jangka panjang.

Arin menawarkan beberapa alternatif yang lebih terstruktur. 

Pertama, melalui restrukturisasi utang, bank dapat memberikan kelonggaran pada nasabah dengan risiko gagal bayar tanpa menghapuskan utang secara total, misalnya dengan memperpanjang tenor atau menurunkan bunga. 

Kedua, pemberian subsidi dan asuransi kredit dapat menjadi opsi lain untuk mengurangi risiko tanpa membebani perbankan, khususnya bagi sektor pertanian, perikanan, dan UMKM.

Selain itu, dukungan pembiayaan alternatif melalui fintech dan lembaga non-bank dapat membuka akses modal bagi pelaku usaha tanpa tergantung sepenuhnya pada kredit bank. 

Terakhir, pemerintah dapat memperkuat ekosistem UMKM melalui pelatihan, pendampingan, dan akses pasar yang lebih luas agar produktivitas sektor ini meningkat secara mandiri, tanpa harus bergantung pada kebijakan penghapusan utang.

Dengan langkah-langkah ini, Arin berharap dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian, perikanan, dan UMKM dapat berkelanjutan dan tetap memperhatikan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS