PARBOBOA, Jakarta - Industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu sektor terbesar yang menyumbang penerimaan negara melalui cukai dan berbagai pajak lain.
Sektor ini juga memiliki kontribusi besar dalam menciptakan lapangan pekerjaan, dengan penyerapan tenaga kerja yang diperkirakan mencapai 6 juta orang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi, menyatakan bahwa dengan sumbangsih besar tersebut, tembakau seharusnya ditetapkan sebagai salah satu komoditas strategis nasional.
Alasannya, papar Kusnasi, dari aspek ekonomi, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 223 triliun atau setara sekitar 10-12% dari total APBN tahun 2024.
“Dari segi ekonomi, kita semua paham bahwa sektor industri hasil tembakau, mulai dari hulu hingga hilir, memberikan sumbangan signifikan melalui cukai dan pajak,” kata Kusnasi, Selasa (05/11/2024).
Ia menambahkan bahwa tahun ini, target penerimaan cukai rokok mencapai 223 triliun rupiah atau hampir setara dengan 10-12% dari APBN Indonesia.
Lebih lanjut, Kusnasi menjelaskan, industri tembakau juga memiliki dampak sosial yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja, mulai dari petani di sektor hulu, pekerja pelinting di pabrik, hingga para pedagang di sektor hilir.
“Selain dampak ekonomi, sektor tembakau juga memberikan dampak sosial yang besar bagi tenaga kerja dan buruh, termasuk para petani tembakau,” jelas Kusnasi.
Oleh karena itu, ia mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan regulasi yang tidak terlalu memberatkan industri hasil tembakau, termasuk dalam RUU Komoditas Strategis.
IHT sesungguhnya merupakan sektor padat karya yang terkena banyak regulasi, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang masih dibahas.
Dengan kata lain, diperlukan regulasi yang memberikan dukungan, terutama bagi petani dan industri hasil tembakau, yang tidak hanya mengatur tetapi juga memberikan ruang untuk bernafas.
“Saya yakin bahwa tembakau tidak hanya pantas, tetapi harus dimasukkan sebagai komoditas strategis nasional,” tegasnya.
Serupa, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur (Jatim), Adik Dwi Putranto, memaparkan peran strategis industri tembakau dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurut Adik, sektor ini memainkan peran penting dalam mendukung target Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
Sebagai contoh, Adik menjelaskan bahwa wilayah Jawa Timur memiliki sekitar 200 ribu hektare lahan tembakau, yang luasnya perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
“Kalau bisa ditingkatkan, itu lebih baik, karena dengan lahan yang lebih luas berarti ada peluang bagi petani baru dan tenaga kerja baru di sektor pertanian, buruh tani, dan lainnya,” ujarnya.
Adik juga menambahkan bahwa lahan seluas 200 ribu hektare tersebut mampu menyerap ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja. Hal ini sangat penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
“Di sinilah perputaran ekonomi yang menguatkan sektor pertanian, terutama di industri tembakau,” tandas Adik.
Persoalan Baru
Di tengah optimisme untuk menjadikan tembakau sebagai Komoditas Strategis, muncul persoalan baru di mana terdapat banyak kemasan rokok tanpa merek yang beredar di pasar.
Pemerintah sendiri berencana menerapkan kebijakan seragam kemasan rokok tanpa merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024.
Head of Center of Industry, Trade and Investment dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, menjelaskan bahwa aturan ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia, termasuk penerimaan negara.
Ia menyebut bahwa jika rancangan Permenkes ini dijalankan, "dampaknya bisa mencapai Rp 308 triliun dari sisi ekonomi.” Dengan kata lain, negara mengalami kerugian akibat skema tersebut.
Dari sisi penerimaan negara, Andry menambahkan bahwa ada potensi negara kehilangan sekitar Rp 160,6 triliun, atau setara dengan 7% dari penerimaan perpajakan.
Ia juga menyebut penerimaan dari industri tembakau terus menurun setiap tahun. Sebagai misal, penerimaan cukai tahun 2023 sebesar Rp 213 triliun dari target sebesar Rp 218,7 triliun yang belum tercapai.
“Ada kekurangan Rp 5 triliun dalam penerimaan cukai tahun 2023. Bayangkan, jika aturan ini langsung diterapkan, Rp 160,6 triliun akan hilang begitu saja, yang mana jumlah ini setara 7% dari penerimaan perpajakan negara,” tambahnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, aturan ini akan berdampak pada 2,29 juta tenaga kerja, atau sekitar 32% dari total tenaga kerja di industri tembakau.
"Berdasarkan data tenaga kerja IHT tahun 2019 dari Kemenperin, diperkirakan sekitar 32% tenaga kerja di sektor ini berpotensi terdampak. Jadi, dampaknya cukup besar,” jelas Andry.