PARBOABOA, Jakarta – Financial Technology (Fintech) memainkan peran strategis dalam meningkatkan inklusi keuangan, terutama saat perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Keberadaan fintech tidak hanya membantu masyarakat yang sulit mengakses layanan keuangan formal, tetapi juga mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional.
Di Indonesia, perkembangan fintech tak bisa dipisahkan dari perubahan gaya hidup masyarakat yang bergantung pada teknologi dalam berbagai aspek kehidupan.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa pada periode 2022-2023, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 215,63 juta orang.
Sementara berdasarkan data Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), meskipun fintech baru hadir di Indonesia pada 2015, terdapat sekitar 20 jenis layanan keuangan digital hingga 2022.
Wakil Ketua Umum II AFTECH, Aldi Haryopratomo dalam acara The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2024 pada 12-13 November mengafirmasi pesatnya pertumbuhan fintech di Indonesia.
"Negara-negara seperti Jepang, yang dulunya dianggap sebagai pionir dalam teknologi, kini mulai menaruh perhatian besar pada Indonesia," terang Aldi dalam rilis yang diterima PARBOABOA, Rabu (13/11/2024).
Dengan kondisi demikian, lanjutnya, Indonesia mencatatkan dirinya bukan hanya sekadar pengguna teknologi, tetapi juga pelopor dalam inovasi global.
"Di masa depan, perusahaan yang ekspansinya menjangkau pasar internasional tidak hanya akan datang dari Amerika, tetapi juga dari Indonesia," ujarnya.
Layanan fintech meliputi sistem pembayaran digital, pinjaman antar pihak (peer-to-peer lending/P2P lending), penilaian kredit (credit scoring), perencanaan keuangan digital, dan pembiayaan melalui urun dana di pasar modal (securities crowdfunding/SCF).
Hingga kini, lebih dari 350 anggota fintech telah beroperasi dan mencakup berbagai layanan. Pertumbuhan pengguna fintech yang pesat diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2028.
Riset Ratnawaty Marginingsih (2021) menyebut bahwa fintech telah menjadi solusi dalam mendekatkan layanan keuangan ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Keberadaan fintech semakin penting sebagai alat menjangkau pasar keuangan di Indonesia, terutama bagi kelompok masyarakat belum mendapatkan layanan dari lembaga keuangan formal," tulis Ratnawati.
Serupa, laporan INDEF (2019) menyebut, peran fintech terlihat jelas melalui peningkatan distribusi pinjaman ke wilayah di luar Jawa yang mengalami kenaikan sebesar 107% (year-on-year).
Hal ini disebabkan karena keunggulan fintech yang menyediakan efisiensi biaya lebih rendah dibandingkan dengan layanan keuangan konvensional.
"Dengan smartphone, masyarakat dapat dengan mudah mengakses layanan finansial untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau menjaga kelangsungan bisnis mereka," lanjut Ratnawati.
Kemajuan teknologi yang dimanfaatkan fintech memungkinkan masyarakat dan UMKM yang sebelumnya tidak terlayani dapat memperoleh layanan keuangan yang transparan dan terjangkau.
Kelompok tenaga kerja tata usaha, penjualan, dan jasa, baik di desa maupun kota, diketahui mencatat kenaikan pendapatan lebih dari 2%.
Selain itu, laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut sektor pertanian di desa yang seringkali sulit dijangkau perbankan juga mendapat manfaat besar dari keberadaan fintech.
Di lingkungan perkotaan, terutama pelaku usaha golongan atas, tercatat pertumbuhan tertinggi dengan peningkatan 1,77%.
Secara umum, dampak fintech terhadap institusi ekonomi, seperti rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah, menunjukkan kenaikan pendapatan sebesar 1,45%.
Regulasi dan Literasi Keuangan
Bank Indonesia mendefinisikan fintech sebagai penerapan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan inovasi produk, layanan, teknologi, serta model bisnis yang baru.
Hingga 12 Juli 2024, terdapat 98 perusahaan penyelenggara fintech peer-to-peer lending yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski memberi dampak pada stabilitas moneter, kestabilan sistem keuangan, dan kehandalan sistem pembayaran, fintech memerlukan dukungan regulasi yang kuat dan inklusif.
Undang-Undang P2SK yang disahkan pada 2023 lalu, misalnya bertujuan memperkuat sektor keuangan sekaligus mengakomodasi perkembangan fintech dengan pengaturan yang lebih komprehensif, termasuk platform dan layanan fintech.
Di pihak lain, pelatihan literasi keuangan juga menjadi prioritas agar masyarakat semakin paham tentang layanan yang ditawarkan fintech, sehingga dapat menggunakannya secara bijak.
Literasi keuangan mencakup pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap serta perilaku individu dalam mengelola keuangan dan pengambilan keputusan untuk mencapai kesejahteraan keuangan.
"Tingkat literasi keuangan yang tinggi mendorong lebih banyak masyarakat menggunakan produk dan layanan keuangan," tulis OJK di laman resmi mereka.
Literasi keuangan turut membantu masyarakat dalam menentukan produk dan layanan jasa keuangan yang paling sesuai dengan kebutuhan. Mereka juga akan memiliki kemampuan perencanaan keuangan yang lebih baik.
Selain itu, literasi keuangan "bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan keuangan, sehingga menghindari masyarakat dari investasi bodong dan instrumen keuangan yang merugikan."
Tak berhenti di situ, regulator seperti OJK memainkan peran penting dalam memastikan pertumbuhan fintech yang berkelanjutan.
"Kolaborasi lintas sektor, baik pemerintah maupun swasta, diperlukan untuk mendukung fintech menjadi katalis inklusi keuangan nasional," tulis Ratnawati dalam risetnya.
Ke depan, keberadaan fintech diharapkan menjadi motor penggerak dalam membangun ekonomi digital yang inklusif, mempersempit kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan inovasi yang terus berkembang, "fintech berpotensi memberikan lompatan besar bagi industri keuangan di Indonesia," pungkas Ratnawati.
Editor: Defri Ngo