parboaboa

Menikah di Usia Anak Berisiko bagi Kesehatan Mental

Anna | Kesehatan | 27-05-2024

Kegiatan Deklarasi Setop Pernikahan Dini oleh ribuan pelajar di Kota Bandung, 22 November 2023. (Foto: Humas Kota Bandung)

PARBOABOA - Perkawinan anak di Indonesia menjadi sorotan, bahkan hingga di kancah dunia.

Negara yang berjuluk Negeri Seribu Candi ini menduduki peringkat empat dalam perkawinan anak secara global.

Hal tersebut diungkap berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada 2023 yang menyebut bahwa jumlah perkawinan anak di Indonesia, yaitu sebanyak 25,53 juta kasus.

Fenomena tingginya angka perkawinan anak yang terjadi di Indonesia, menurut Gisella Tani Pratiwi, Psikolog Klinis, sangat memprihatinkan dari segi kesehatan mental.

“Karena memang membawa risiko yang sangat tinggi, dan mengganggu perkembangan kesehatan mental seorang remaja,” ujar Gisella, perempuan yang sudah berpraktik sejak 2010 dalam hal menangani kasus-kasus pemulihan trauma, pengelolaan stres, gangguan depresi atau emosi lainnya, kepada PARBOABOA, Sabtu (25/5/2024).

Perkawinan anak adalah perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua pihak masih berusia di bawah 18 tahun.

Di Indonesia terdapat regulasi yang mengatur batas-batas usia seorang boleh melangsungkan pernikahan atau tidak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Regulasi tersebut mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki dan perempuan sudah mencapai usia 19 tahun.

Kendati perkawinan usia anak tidak diperbolehkan dan dilarang oleh undang-undang, tapi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019, dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut.

Salah satunya adalah dengan cara pengajuan dispensasi oleh orangtua dari pihak laki-laki dan/atau perempuan. Dispensasi tersebut diajukan kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak, disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Adanya celah dalam peraturan perundang-undangan tersebut akhirnya memungkinkan pernikahan di bawah umur tetap dapat dilangsungkan.

Gisella mengatakan bahwa terdapat riset-riset yang menerangkan terkait dampak pernikahan usia anak terhadap psikologi individu tersebut.

“Banyak penelitian yang menyatakan bahwa menikahkan individu di usia anak, yaitu di bawah 18 tahun akan membawa risiko secara psikologis maupun biologis,” jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Gisella, kondisi norma sosial yang sedang berlangsung saat ini di masyarakat sangat memungkinkan terjadinya perluasan skala dampak yang bakal dirasakan oleh individu yang menikah di bawah umur.

“Secara psikologis, mungkin dia harus mengelola ekspektasi lingkungannya di mana masih dilematis antara anak remaja yang dituntut untuk menyelesaikan sekolah dan berprestasi, tapi juga harus mengelola kondisi di mana mesti beradaptasi dengan relasi pernikahan,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Gisella juga menjelaskan dari berbagai sisi. Pertama, secara emosional. Anak di bawah umur 18 tahun bisa dikatakan pemikirannya masih belum terlalu matang karena sedang dalam masa perkembangan.

“Mungkin juga masih labil, belum punya skill memadai untuk mengelola dirinya sendiri, apalagi menerima atau menjalani komitmen dengan pasangannya,” ujar Gisella.

Dia mencontohkan, penerimaan dalam relasi termasuk pernikahan, salah satunya adalah hadirnya rasa toleransi kepada perilaku atau sikap-sikap dari pasangan yang mungkin berbeda atau mungkin menimbulkan konflik.

Kedua, secara kognitif. Walaupun kemampuan kognitif pada usia remaja sudah berkembang, tapi sebenarnya masih belum sepenuh individu dewasa secara pemikiran.

“Dalam artian, masih perlu proses atau dampingan untuk memenuhi fungsi, misalnya problem solving, analisis masalah, pemecahan masalah,” sambungnya.

Sementara, kata Gisella, dalam relasi pernikahan, dari hari ke hari itu sangat memerlukan skill yang matang untuk membuat keputusan atau menganalisis masalah-masalah yang hadir.

Dampak dari kematangan yang masih belum utuh ini, menurutnya, mungkin akan membuat konflik atau pertengkaran akan semakin sering sehingga tentu saja rentan di antaranya mengalami kekerasan.

“Apalagi kalau usia pasangan juga tidak jauh beda, ya. Remaja juga. Jadi, makin escalated (meningkat), ya, kemungkinan mereka punya konflik,” paparnya.

Lalu, yang ketiga, secara sosial. Gisella menilai bahwa ada kemungkinan pasangan yang menikah usia anak memiliki perasaan terbatas untuk bersosialisasi.

“Padahal pada masa remaja, kan, salah satu yang dikembangkan adalah menjalin networking atau jejaring secara sosial maupun untuk perkembangan potensi dirinya. Nah, itu mungkin terbatas,” sebutnya.

Dia menyampaikan bahwa paparan tersebut belum seberapa karena masih ada sisi yang perlu dilihat lebih jauh, seperti potensi secara akademik maupun non-akademik.

“Remaja yang sudah menikah, tentu punya fokus lain yang tidak kalah kompleks,” tuturnya.

Pada remaja yang belum menikah saja sudah cukup kompleks karena harus mengelola berbagai macam tantangan, seperti mengenali potensi diri, ingin bergerak di bidang apa, dan seterusnya. 

Apabila ditambah dengan segala kompleksitas pernikahan, kata perempuan yang sehari-harinya juga sebagai Praktisi Brainspotting therapy dengan pendekatan Art Therapy, CBT dan Mindfulness tersebut, risiko tinggi lainnya adalah mengalami masalah pada kesehatan mental.

“Sintom (tanda atau gejala) depresi, penyesalan, kesedihan yang berlarut, merasa tidak berharga, mempertanyakan apa makna hidupnya, memandang negatif terhadap diri, merasa tidak mampu, dan seterusnya,” jabarnya.

Gisella menyebut, akan banyak hal-hal domino effect yang kemudian menyebabkan si remaja ini merasa tidak berdaya, terpukul dan bingung bagaimana mengelolanya. 

“Jadi, (pernikahan usia anak itu) berisiko sekali, ya,” tegas Gisella saat diwawancara PARBOABOA.

Gisella Tani Pratiwi, Psikolog Klinis. (Foto: Dok. Gisella Tani Pratiwi)

Sebuah penelitian dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, serta Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia.

Hasil riset berjudul “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” pada 2020 tersebut memaparkan, angka perkawinan anak menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Menurut data dalam riset tersebut, 1 dari 9 anak di Indonesia menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mereka adalah para perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah di bawah umur.

“Dari situ diperkirakan pernikahan anak di Indonesia mencapai 1.220.900 kasus. Angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia,” tulis Rindang Farihah, 14 November 2023 pada laman pusdeka.unu-jogja.ac.id.

Perkawinan Anak Meningkat saat Pandemi

Gisella lantas mengingat peristiwa atau peningkatan kasus perkawinan anak yang terjadi pada masa-masa pandemi yang titik awalnya adalah 2019 di Indonesia.

“Kalau jumlah kasusnya kan memang meningkat, ya. Tetapi, kalau saya tidak salah ingat, peningkatan itu juga terjadi pada waktu pandemi,” terangnya.

Alumni S1 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta dan S2 Magister Profesi Klinis Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut menilai, kenaikan angka kasus perkawinan anak, salah satunya terdapat faktor orangtua yang belum memiliki kapasitas membantu anak-anak mereka beradaptasi dengan kondisi pandemi.

“Jadi, ada faktor di mana orangtua tidak terbekali atau memiliki skill untuk membantu anak-anak mereka adaptif dan resilience, berdaya juang untuk memproses kondisi yang sulit,” ungkapnya.

Ingat saja bahwa ketika masa pandemi semuanya berubah. Kegiatan-kegiatan yang awalnya dilakukan secara luring menjadi daring. Orang-orang yang mulanya beraktivitas di luar ruangan menjadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

“(Dengan kondisi seperti itu), ternyata mereka kesulitan untuk mengelola diri ketika ada di rumah,” ucapnya.

Sehingga, lanjut Gisella, kayaknya orangtua maupun anak itu sendiri jadinya mentok pada ide bahwa, “sudah remaja, sudah punya fungsi reproduksi, ya, pilihan yang make sense adalah menikah”.

Pertama, kurang adanya skill untuk mengelola kesulitan atau tantangan kehidupan sehingga menikah menjadi solusi yang dianggap praktis.

Kedua, katanya, tentu saja kekurangan pemahaman mengenai apa saja kegiatan-kegiatan yang sehat secara psikologis sebagai alternatif untuk para remaja guna pengembangan diri yang memang dibutuhkan.

“Jadi, itu sangat-sangat minim pengetahuannya, juga fasilitasnya. Fasilitasi untuk akses dan pengembangan diri anak itu kan sebenarnya minim, ya. Mungkin, orangtua jadi terbatas untuk mengakses atau bahkan tidak punya informasi,” sambungnya.

Ketiga, mungkin ada salah kaprah atas nilai-nilai yang berkaitan dengan tumbuh kembang manusia sehingga hanya terbatas pada kepercayaan-kepercayaan tradisional ataupun norma-norma sosial yang sudah sejak lama dipercaya.

“Misalnya, kalau sudah usia reproduksinya matang, ya, artinya yang harus ‘dikejar’ adalah menikah, berpasangan. Padahal potensi remaja itu tidak terbatas pada fungsi reproduksi,” tegasnya.

Pemahaman-pemahaman seperti itu, menurutnya, tidak komprehensif mengenai perkembangan remaja. Karena, pada masa remaja seharusnya diberikan simulasi-simulasi yang lebih edukatif, mengembangkan terkait konsep diri, self image atau potensi diri.

Hal-Hal yang Mesti Diperhatikan sebelum Menikah

Pernikahan bagi Gisella bukan hanya sesuatu yang berhubungan dengan fungsi untuk reproduksi atau memiliki keturunan saja.

Namun, mesti ada pertimbangan kesiapan mental atau soft skill lain, ujarnya, seperti secara individu apakah mereka sudah memiliki pemahaman yang tepat akan dirinya, apakah dia sudah memiliki kemampuan untuk mengembangan dirinya atau mengaktualisasi diri.

Kemudian, bagaimana dia menyelesaikan konflik dalam relasi, bagaimana pemahamannya tentang seksualitas yang sehat, apa yang dibutuhkan untuk memutuskan mempunyai anak atau menjadi orangtua.

“Jadi, banyak sekali sebetulnya hal-hal yang harus dipersiapkan,” kata perempuan yang juga akrab dipanggil Ella.

Usia dalam angka, misal 18 tahun bahkan lebih sekali pun tidak bisa menjadi patokan satu-satunya. 

“Kemudian, ketika sudah 21 tahun sudah mulai memikirkan bagaimana menikah, itu sangat natural dan bisa dipahami, mungkin sudah saatnya,” kata Ella.

Akan tetapi, tetap ada hal-hal yang mesti diperhatikan dan dicek kembali.

  1. Sejauh apa dia mengenal dirinya, aktualisasi diri, juga tentang bagaimana dia meregulasi (merawat dirinya, mengenal emosinya, mengelola masalah dalam dirinya.
  2. Berhubungan dengan relasi, seperti skill menjalin relasi, mengelola emosi dan masalah.
  3. Skill sebagai orangtua, termasuk dalam hal pengasuhan.

Saat ini, yang dikhawatirkan dari perkawinan anak secara psikologis, kata Ella, adalah trauma bagi si anak remaja yang dinikahkan dan itu dampaknya bisa berkepanjangan.

“Dampak berkepanjangan lainnya, yaitu antargenerasi. Ketika melahirkan anak yang juga berisiko mengalami gangguan kesehatan mental dan juga kesehatan fisik. Jadi. double-double impact-nya,” katanya.

Mengingat di Indonesia perkawinan anak masih cukup tinggi, menurut Ella, pendidikan yang penting diberikan kepada orangtua agar tidak menikahkan individu pada usia anak adalah dengan memberikan informasi tentang risiko-risiko yang kemungkinan dialami.

“Kita bisa tampilkan data untuk memperkuat penyampaian tersebut. Selain itu, kita juga bisa mengedukasi mengenai hal-hal baik apa saja yang bisa diraih oleh anak remaja jika tidak menikah dan potensi dirinya dikembangkan,” tutur Ella.

Ia berharap, masyarakat dapat menemukan cara-cara yang all out the box. Tidak hanya mengikuti cara-cara yang sudah ada terkait praktik dasar dalam menentukan pilihan hidup.

“Tentu saja kita bisa mempelajari lesson learn-nya apa, basic practice-nya apa, tapi kemudian tidak mengulang kesalahan yang terbukti tidak bekerja,” ujarnya.

Ella merasa bahwa terdapat hal-hal yang kurang diintervensi atau digalakkan di Indonesia, seperti memperluas atau mengembangkan kesempatan-kesempatan baik untuk anak-anak remaja agar memiliki sarana-sarana, akses-akses untuk mengembangkan dirinya.

Editor : Anna

Tag : #Kesehatan Mental    #Pernikahan Dini    #Kesehatan    #Perkawinan Anak    #UNICEF   

BACA JUGA

BERITA TERBARU