PARBOABOA, Jakarta - Kasus yang diduga mabuk kecubung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, baru-baru ini berhasil menarik perhatian masyarakat.
Kehebohan bermula dari sebuah video yang menunjukkan seorang remaja berpakaian hitam yang tampak meracau di atas sepeda motor, sehingga memerlukan penenangan dari beberapa orang di sekitarnya.
Tak hanya itu, sejak 5 Juli 2024, ada 56 warga Kalsel harus dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum, karena diduga mengkonsumsi buah kecubung, dengan 2 diantaranya meninggal dunia.
Namun, penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa buah kecubung bukanlah penyebab sebenarnya.
Menurut Firdaus Yamani, Psikiater Konsultan Adiksi di RSJ Sambang Lihum, insiden tersebut ternyata dipicu oleh pil putih tanpa merek.
Dari keterangan pasien yang telah sadar, mereka mengaku biasa mengonsumsi pil carnophen atau zenith, yang mengandung kombinasi paracetamol, carisoprodol, dan kafein.
Pil ini sejatinya digunakan untuk mengatasi nyeri tulang, namun kerap disalahgunakan sebagai stimulan atau obat penenang.
Dan baru-baru ini, para pasien diperkenalkan pada sebuah pil baru oleh pengedar yang sama yang menawarkan pil zenith.
Namun, pil yang dijuluki sebagai zenith varian baru atau pil koplo ini, ternyata memiliki efek yang sangat berbeda dari yang diharapkan.
Meskipun dikonsumsi dalam dosis serupa—dari dua hingga lima pil—efeknya mirip dengan efek buah kecubung, yang menyebabkan masyarakat mengira bahwa mereka mabuk kecubung.
Saat ini, pil tersebut sedang dalam proses investigasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian untuk memastikan komposisinya.
Firdaus menduga, terdapat kemungkinan bahwa pil tersebut mengandung ekstrak yang mirip dengan efek kecubung, namun ia masih menunggu verifikasi lebih lanjut dari BNN dan kepolisian.
Terkait kondisi pasien, Firdaus menegaskan, hampir semuanya membaik. Tinggal satu-dua pasien saja yang dirawat.
Meskipun demikian, ia tetap mengingatkan masyarakat untuk menghindari konsumsi buah kecubung karena efeknya yang bisa sangat berbahaya.
Menurutnya, meskipun buah kecubung belum dimasukkan oleh pemerintah sebagai narkotika, efeknya yang bisa menyebabkan kematian membuatnya harus dijauhi.
"Buah kecubung harus tetap dijauhi," tegasnya.
Tanaman Kecubung
Tanaman kecubung, yang masuk dalam klasifikasi beracun oleh Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), dikenal juga dengan nama latin Datura metel dan merupakan anggota dari famili Solanaceae.
Meskipun tergolong beracun, kecubung memiliki sejumlah manfaat medis yang signifikan.
Inggrid Tania, Ketua Umum PDPOTJI, menyoroti bahwa kecubung efektif sebagai antijamur, antibakteri, antikanker, antiinflamasi, antireumatik, dan juga sebagai obat bius.
Tidak hanya itu, kecubung juga berfungsi sebagai antitusif, bronkodilator, halusinogen, dan pestisida alami.
Kandungan utama dalam kecubung meliputi flavonoid, fenol, tanin, saponin, serta steroid atau terpenoid.
Inggrid menekankan bahwa zat atropin dan skopolamin dalam kecubung adalah penyebab sifat racunnya.
Oleh karena itu, sangat berbahaya untuk memanfaatkan atau mengonsumsi bagian manapun dari tanaman ini secara langsung, mengingat sifat-sifatnya yang halusinogen, narkotik, dan psikoaktif.
Bahkan, sekedar meremas daun kecubung dan menempelkannya pada dahi bisa memicu efek yang tidak diinginkan.
Kecubung dapat menyebabkan berbagai gejala keracunan, termasuk mulut kering, sembelit, sensitivitas mata terhadap cahaya, dan nyeri mata.
Lebih lanjut, Inggrid memperingatkan bahwa paparan kecubung dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada kesehatan mental dan perilaku, bahkan hingga berpotensi fatal.
Prof. Zullies Ikawati dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan lebih dalam mengenai kandungan alkaloid beracun seperti skopolamin, hyosciamin, dan atropine dalam kecubung, yang dapat menimbulkan delirium, sedasi, halusinasi yang vivid, serta disforia dan ketidaknyamanan fisik.
Penggunaan kecubung yang berlebihan dapat sangat berbahaya karena efek psikoaktif yang kuat pada sistem saraf pusat.
Jika seseorang tidak sengaja mengkonsumsi kecubung, sangat krusial untuk segera membawanya ke fasilitas medis.
Zullies menyarankan penggunaan obat penawar seperti fisostigmin, yang diberikan melalui injeksi intravena.
Obat ini bekerja dengan menghambat degradasi asetilkolin, yang bisa membalikkan efek toksisitas antikolinergik.
Dosis fisostigmin harus diberikan dengan hati-hati, mengingat kekuatan dan efek sampingnya yang potensial.
Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), menggolongkan kecubung sebagai tanaman yang beracun.
Tanaman ini memiliki nama latin Datura metel dan berasal dari famili Solanaceae.
Ketua Umum PDPOTJI dr Inggrid Tania menjelaskan, meskipun beracun, kecubung sering dimanfaatkan sebagai antijamur, antibakteri, antikanker, antiinflamasi, antirheumatoid, dan obat bius.
Selain itu, tanaman ini juga memiliki manfaat sebagai antitusif, bronkodilator, halusinogen, dan pestisida alami.
Kecubung mengandung berbagai fitokonstituen utama, termasuk flavonoid, fenol, tanin, saponin, serta steroid atau terpenoid.
Menurut dr. Inggrid, racun dari kecubung berasal dari zat atropin dan skopolamin.
Ia menegaskan bahwa semua bagian tanaman kecubung tidak boleh dimanfaatkan atau dimakan langsung karena bersifat halusinogen, narkotik, dan psikoaktif.
Bahkan, tanaman ini jika diremas dan ditempelkan di dahi saja bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Gejala keracunan kecubung meliputi mulut kering, sembelit, mata yang sensitif terhadap cahaya, dan sakit mata.
Inggrid menambahkan bahwa kecubung juga dapat menyebabkan masalah mental dan perilaku permanen, bahkan hingga kematian.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati menjelaskan bahwa kecubung mengandung senyawa alkaloid beracun seperti skopolamin, hyosciamin, dan atropine.
Ia juga menambahkan bahwa alkaloid dalam kecubung dapat menyebabkan efek delirium (ketidaksadaran), sedasi (penenangan), dan halusinasi yang sangat nyata, serta efek samping fisik yang tidak nyaman dan disforia.
Penggunaan kecubung secara berlebihan, lanjutnya, dapat berbahaya karena efek psikoaktifnya pada sistem saraf pusat.
Orang yang mengkonsumsi kecubung dapat mengalami gejala psikotik yang parah, bahkan bisa berujung pada kematian.
Zullies menyarankan agar seseorang yang telah mengkonsumsi kecubung segera dibawa ke rumah sakit dan diberikan obat penawar yang memiliki efek berlawanan.
Obat seperti fisostigmin, bekerja dengan menghambat penguraian asetilkolin, sehingga dapat membalikkan toksisitas antikolinergik.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Fisostigmin harus diberikan secara injeksi intravena kepada orang dewasa dengan dosis 0,5-2,0 miligram dan kecepatan tidak lebih dari 1 miligram/menit.
Dosis kedua jelasnya, hanya boleh diberikan jika diperlukan.
Editor: Norben Syukur