PARBOABOA, Medan – Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menjadi isu yang viral di media sosial.
Hampir sebagian besar netizen menolak kebijakan Tapera yang sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, Tapera dinilai sebagai pemotongan yang tidak berdasar bagi masyarakat. Apalagi semua pekerja diwajibkan menjadi pesertanya.
Seperti akun Instagram @Masjiyo yang mengatakan, “tanggal tua begini bahas potongan-potongan bawaannya jadi sensi”.
Sementara akun Instagram @Ristyaar menuliskan,”terserah bapak deh, negeri ini kan punya bapak dan keluarga”.
Akun Instagram @Shintazawawii memaparkan, “Potongan pajak, BPJS Kesehatan, BPJS TK, Asuransi wajib DR PT, cicilan, kontrakan, ditambah Tapera. Gaji suami sisa rohnya doang pak”.
Akun Instagram @Aminpranata26 menjabarkan bagaimana kebijakan Tapera tidak berpihak pada masyarakat. Bahkan, menurutnya daripada gaji dipotong untuk Tapera akan lebih baik bila karyawan berinvestasi di logam mulia.
“Pencairan dana Tapera hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan perumahan atau ketika masa kepesertaan berakhir dengan kondisi peserta telah pensiun (bagi pekerja), peserta mencapai usia 58 tahun (bagi pekerja mandiri), peserta meninggal dunia dan peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut,” tulisnya.
Aminpranata26 melanjutkan, untuk mencairkan dana Tapera, peserta atau wakilnya harus membawa sejumlah dokumen ke kantor cabang atau kantor cabang pembantu BRI terdekat.
Jika dihitung UMR Jakarta 2024 sebesar Rp5.067.381. Peserta Tapera dipotong 2,5% dari UMR yaitu sekitar Rp126.684,5. Ditambah perusahaan dibebankan 0,5% dari UMR karyawan yaitu Rp25.336,9. Maka total tabungan Tapera karyawan adalah Rp152.021,43 per bulannya.
Bila peserta Tapera dimulai dari umur 28 tahun, berarti menabung selama 30 tahun atau 360 bulan dikalikan dengan Rp152.021,43 maka hasilnya adalah Rp54.727.714,8.
Aminpranata26 mempertanyakan nilai rupiah setelah 30 tahun. Apabila uang senilai Rp54.727.714,8 dibelikan logam mulia hari ini seharga Rp1.333.000 per gram berarti setara dengan 41 gram.
“Pertanyaannya, setelah 30 tahun berapa harga logam mulia per gram?” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Sosial Universitas Negeri Medan, Bakhrul Khair Amal mempertanyakan untuk siapa kebijakan Tapera ini dijalankan.
Menurut Bakhrul Khair Amal, sesuai UUD 1945 pada Pasal 33, semua kebijakan seharusnya demi kepentingan rakyat.
Namun dengan adanya penolakan yang besar dari masyarakat menandakan bahwa kebijakan Tapera tidak baik untuk masyarakat, khususnya kalangan pekerja.
Saat ini kondisi masyarakat sedang prihatin dengan daya beli dan pendapatan yang rendah. Sedangkan pengeluaran semakin tinggi.
“Seharusnya negara hadir untuk kepentingan masyarakat, bukan mengeksploitasi,” tegasnya kepada PARBOABOA, Rabu (29/05/2024).
Bakhrul menuturkan, perumahan adalah kebutuhan sekunder atau bahkan tersier alias bukan prioritas. Sedangkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari adalah yang paling utama.
Persoalan harga sembako yang semakin naik saja belum bisa diatasi oleh pemerintah. Ditambah lagi dengan Tapera yang jelas-jelas mendapat penolakan.
Dengan diterapkannya Tapera, maka sudah pasti angka kemiskinan akan meningkat. Begitu juga dengan pengangguran dan kriminalitas yang akan semakin tinggi.
“Kemiskinan, pengangguran dan tingkat kriminalitas ini saling berhubungan. Tapera yang dipaksakan akan mengakibatkan itu semua meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah sendiri mengeluarkan kebijakan Tapera yang sebelumnya sudah ada namun ditambahkan dengan karyawan swasta sampai freelancer sebagai pesertanya dinilai tidak berdasar.
Pasalnya, peraturan mengenai perumahan rakyat sebelum Tapera juga belum ada pertanggungjawaban dari pemerintah. Justru malah mengeluarkan aturan baru yang semakin tidak jelas dan meresahkan.
Angka 3 persen yang harus dipotong dari gaji juga dianggap tidak jelas darimana datangnya. Sampai saat ini tidak ada hitungan jelas kenapa angka 3 persen itu dikeluarkan.
Hal inilah yang membuat Bakhrul Khair Amal merasa pemerintah tidak maksimal menghitung bagaimana pendapatan dengan pengeluaran masyarakat yang akhirnya akan semakin memperlebar ketimpangan.
Bakhrul Khair Amal meminta pemerintah menunda kebijakan Tapera. Seharusnya dilakukan dulu sosialisasi yang lebih baik serta hitungan yang lebih cermat.
“Negara harus berempati terhadap masyarakatnya. Jangan hanya pas Pilkada atau Pilpres saja. Empati harus muncul ketika mereka melibatkan masyarakat dan mengerti keinginan masyarakat,” tandas Bakhrul.
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin mengatakan bahwa kebijakan Tapera khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah cukup baik untuk menyediakan perumahan bagi pekerja.
Akan tetapi, kebijakan ini justru dikeluarkan ketika daya beli masyarakat terbebani oleh inflasi pangan. Karenanya, wajar saja ada resistensi yang timbul dari masyarakat khususnya kalangan pekerja.
“Saya mengharapkan pemerintah mempertimbangkan matang-matang untuk mengeksekusi kebijakan Tapera dalam waktu dekat,” katanya.
Kewajiban iuran Tapera melalui potongan gaji akan mengurangi disposal income masyarakat. Khususnya kelas ekonomi masyarakat menengah.
Disposal income yang turun akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat. Potongan gaji dari Tapera ini akan menambah potongan lainnya setelah Pph, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Iuran Tapera 3 persen di mana 2.5 persen dari pekerja dan 0.5 persennya dari perusahaan memiliki dampak yang besar. Terlebih jika membandingkannya dengan kenaikan upah minimum di sejumlah wilayah di tanah air.
Terlebih lagi untuk wilayah yang upah minimumnya naik tapi kurang dari 3 persen di tahun 2024. Sehingga iuran Tapera ini akan menggerus kenaikan upah yang seharusnya dinikmati oleh pekerja.
Situasi akan semakin berat manakala inflasi volatile food justru bertahan tinggi. Realisasi inflasi ini sendiri berbeda di setiap wilayah. Namun, inflasi volatile food yang terealisasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi umum secara nasional.
“Bayangkan saja inflasi volatile food saat ini berada di level 9.63 persen pada bulan April 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara inflasi secara keseluruhan secara year on year sebesar 3 persen di Indonesia,” tandas Gunawan Benjamin.
Editor: Fika