BRIN: Pembakaran Bahan Bakar Fosil Jadi Penyebab Utama Polusi Udara

Pembakaran bahan bakar fosil di kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab tingginya polusi udara. (Foto: Inmagine)

PARBOABOA, Medan – Pakar Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin mengatakan, pembakaran bahan bakar fosil di kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab tingginya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di udara. Kondisi tersebut juga bisa menyebabkan polusi udara meningkat.

Selain itu, aktivitas mesin uap yang bekerja secara masif turut menyumbang tingginya konsentrasi CO2 di udara.

"CO2 yang dilepaskan secara masif tentu tidak mungkin dari satu individu yang bernafas. Ada dua aktivitas utama yang menyebabkan tingginya konsentrasi CO2 yakni kendaraan bermotor dan aktifitas mesin uap yang kerja secara masif. Ini sudah menjadi pengetahuan umum di dunia sehingga saya rasa tidak perlu ada data lagi yang menunjukkan mereka yang menyumbang CO2 paling masif," ungkapnya, Jumat (25/8/2023).

Erma juga tidak menampik polusi udara di suatu wilayah perkotaan turut mempengaruhi wilayah pegunungan yang minim polusi.

"CO2 di atmosfer larut menjadi aerosol dan bisa terjadi transfer atau tertransportasi ke wilayah lain melalui angin. Nah, ini perlu diteliti lagi karena kita harus belajar mengenai arah anginnya," katanya.

Terkait mitigasi, Erma menjelaskan satu-satunya cara yaitu meredam kedua aktivitas tersebut.

"Intinya kebijakan harus mendukung untuk meredam kedua kegiatan ini," tegas dia.

Erma mengungkapkan, polusi juga dapat memperparah perubahan iklim.

Selain itu, peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer turut mempengaruhi perubahan iklim dan peningkatan temperatur yang masif.

"Konsentrasi gas Co2 itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan ini sudah dideteksi sejak 1980 dimana terjadi peningkatan temperatur udara pada permukaan atmosfer," jelasnya.

Riset terakhir, suhu permukaan atmosfer meningkat dan mencapai 1,35 derajat celcius pada Juli 2023. Padahal standar suhu di atmosfer seharusnya kurang dari 0,5 derajat.

"Bahkan tercatat mencapai 1,5 derajat pada Juni dan membuat PBB menyebutnya sebagai bulan terpanas," ungkap Erma.

Dampak yang terjadi, tambah Erma, meningkatnya suhu maksimum dan menurunnya suhu minimum.

"Jadi siang makin panas, malam atau subuh semakin dingin," tambahnya.

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan menyebutkan suhu udara di Sumatra Utara dan sekitarnya ada di kisaran 16 hingga 32 derajat Celcius.

Sementara kelembaban udara, berada di antara 60 hingga 98 persen dan angin berhembus dari Tenggara-Barat Daya dengan kecepatan 10 hingga 30 kilometer per jam.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS