PARBOABOA - Sahat Rajagukguk, 55, sehari-hari mengumpulkan sampah makanan yang telah diangkut truk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pematang Siantar ke pembuangan akhir (TPA) Tanjung Pinggir.
Dalam sehari warga Kecamatan Siantar Martoba itu dapat mengumpulkan sekitar 30 kilogram hingga 40 kilogram sampah makanan yang kemudian dia bawa untuk diolah di Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan) Skala Kota DLH Pematang Siantar.
“Untuk saat ini saya tidak pernah mengalami sakit, soalnya sudah terbiasa, saya ngerjain pekerjaan ini sudah 10 tahun,” ucap Sahat kepada Parboaboa, Sabtu pekan lalu.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pematang Siantar memberinya upah kisaran Rp65 ribu hingga Rp70 ribu per hari setelah selesai mengangkut sampah.
“Sebenarnya dari lihat pandangan orang banyak pekerjaan ini menjijikkan. Tapi, dengan bekerja sebagai pengumpul sampah makanan ini saya bisa memberi makan keluarga saya,” tuturnya.
Dia juga menganggap pekerjaannya mulia dan sangat penting untuk solusi pencemaran lingkugan, walau kadang dianggap rendah. Setidaknya pekerjaannya itu dapat mengurangi jumlah sampah yang membusuk dan kerap mengotori udara sekitar, hingga kawasan pemukiman warga.
“Namanya sampah, pasti bau dan jorok, tapi jika kita pintar mengolahnya jadinya kan sebagai produk yang bernilai,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Pematang Siantar, Dedi Tunasto Setiawan, mengatakan warga Kota Pematang Siantar sedikitnya menghasilkan 2 hingga 3 ton sampah setiap hari. Sebanyak 1,8 ton di antaranya merupakan sampah makanan, yang sebanyak 1,2 ton merupakan sampah makanan dari rumah tangga, dan 600 kilogram sisanya sampah organik.
“60 persen [dari total sampah] merupakan sisa makanan yang terbuang, yang merupakan sampah organik, dan itu diberikan ke program budidaya maggot," ucapnya.
Apa yang dikerjakan Sahat Rajagukguk hanyalah salah satu upaya penanganan sampah di Kota Pematang Siantar dengan melibatkan masyarakat.
Tidak Dibuang, Diberikan ke Ayam
Marsiah, 60, warga Kelurahan Bantan, Kecamatan Siantar Barat, Pematang Siantar mengatakan dalam sehari sedikitnya menghasilkan dua piring sampah makanan dari lima orang di dalam keluarganya.
Tetapi, sampah itu tidak dia buang begitu saja, tapi memberinya ke ayam ternak. “Jadi tidak ada yang terbuang,” ujarnya kepada Parboaboa, Senin (29/5/2023). Kebanyakan makanan terbuang karena basi. Tapi tidak berakhir sia-sia.
Rumah tangga merupakan penghasil sampah makanan terbesar, menurut riset Yayasan Gita Pertiwi di Kota Solo dan Surakarta pada 2018. Setiap keluarga menghasilkan sampah pangan sebesar 0,49 kilogram per keluarga per hari, atau kira-kira hampir 33 persen dari total sampah yang dihasilkan dari sampah pangan itu.
Data United Nation Environment Programme (UNEP) Food Waste Index Report 2021, hingga 2019 penduduk Bumi menghasilkan sedikitnya 931 juta ton sampah makanan setiap tahun, yang berpotensi menjadi pemicu polusi udara dari gas metana dari sampah itu.
Selain rumah tangga, usaha seperti hotel, kafe dan restoran juga merupakan penghasil terbesar sampah makanan.
Salah satu hotel di Pematang Siantar, Batavia Hotel, menghasilkan sedikitnya 75 kg sampah per hari, dan 25 kilogram di antaranya merupakan sampah makanan.
Sejak awal 2023, hotel ini mulai melakukan pengurangan volume sampah makanan dengan cara memisahkan sampah kering dan basah.
“Untuk perbandingan pengelolaan sampah di hari normal perbandingannya 3:1, kita pisahkan 3 kantong sampah kering dan 1 kantong sampah basah, dan sampah basah untuk saat ini hanya sampah makanan saja,” ujar Pengawas Lapangan dan Pengelolaan Sampah Batavia Hotel, David Loren kepada Parboaboa, Kamis pekan lalu.
Untuk mengurangi makanan menjadi sampah, hotel ini juga hanya menyediakan makanan beku siap saji untuk menu makan siang dan makan malam. “Kita stok untuk penyewa hotel hingga jam 11 malam untuk close order, di atas jam tersebut, kalau pun lebih di berikan ke karyawan,” kata David.
Selain itu, hotel juga melakukan penyimpanan makanan di lemari es berdasarkan jenisnya. “Kita stok 1-2 hari untuk menjaga kesegaran makanannya,” tambahnya.
Tidak Selamanya TPA Bisa Menampung
Pemerintah Kota Pematang Siantar mengalokasikan anggaran Rp352.715.000—bersumber dari APBD—pada tahun 2023 untuk penanganan sampah.
Selain untuk pemilahan sampah makanan, pengangkutan sampah dari pemukiman ke TPA dan budidaya maggot—sebagai salah satu solusi untuk mengurangi jumlah sampah makanan—anggaran itu juga dipakai untuk sosialisasi dan edukasi terkait pengelolaan sampah kepada masyarakat.
Dedi Tunasto Setiawan mengatakan, dengan anggaran itu DLH Pematang Siantar telah melakukan berbagai upaya penanganan sampah, seperti pelatihan dan pengelohan kompos di Pusdiklat sampah, budidaya maggot, pembuatan briket arang, serta pemanfaatan eco-enzyme, yaitu pengolahan limbah organik menjadi pupuk.
“Kita juga berusaha agar dapat memanfaatkan sampah ini sehingga bernilai ekonomis dan menambah PAD," jelas Kadis DLH, yang sebelumnya menjabat Plt Kadis PUPR Pematang Siantar itu.
Kata Dedi, DLH Pematang Siantar tengah mengupayakan pendidikan lingkungan hidup melalui program Kader Lingkungan tahun ini dengan menyasar jenjang sekolah dasar serta menengah atas dan universitas.
“Dengan manargetkan 10 orang setiap kelurahan, sebagai mitra kami di lapangan memberikan edukasinya di setiap kecamatan," ucapnya.
Ia menuturkan program yang dilakukan sejauh ini mengikuti regulasi terkait penanganan sampah yang berlaku, seperti UU Nomor 18 tahun 2008, PP Nomor 81 tahun 2012, Perpres Nomor 97 tahun 2017.
Dia mengharapkan upaya yang telah dilakukan dapat menyadarkan masyarakat dalam cara pemilahan dan pengolahan sampah.
"Sepanjang sampah dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir), sampai kapan pun tidak bisa menampung itu karena masalah kesediaan lahan," katanya berharap agar sampah di Pematang Siantar tidak semuanya berakhir di TPA Tanjung Pinggir.
*Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus edisi ‘sampah makanan’.
Reporter: Putra P Purba, Mhd Anshori