parboaboa

Pengintaian Petinggi Kejagung Menjadi Sorotan, Apa Tugas Sebenarnya Densus 88 Polri?

Norben Syukur | Hukum | 25-05-2024

Anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Foto:Instagram @densus88)

PARBOABOA, Jakarta - Anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dikenal masyarakat sebagai pasukan khusus pemberantasan terorisme.

Namun, baru-baru ini, dua anggota Densus 88  ketahuan membuntuti Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Febrie Adriansyah.

Pembuntutan tersebut terjadi saat Febrie sedang makan malam di sebuah rumah makan di Cipete, Jakarta Selatan, pekan lalu.

Bahkan, satu dari dua anggota Densus 88 tersebut ditangkap oleh polisi militer yang merupakan pengawal Febrie.

Saat dikonfirmasi media pada Jumat (24/05/2024) terkait peristiwa tersebut, pihak Kejagung justru memilih irit bicara.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, menjelaskan pihaknya belum mengetahui informasi terkait hal tersebut.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo belum memberikan penjelasan apapun terkait kasus tersebut.

Ia menyatakan bahwa dirinya baru selesai melaksanakan pengamanan WWF di Bali, “dan masih ada pertemuan lanjutan dengan beberapa kementerian, jelasnya kepada Media, Kamis (23/05/2024)

Diketahui, Kejagung belakangan ini tengah mengungkap beberapa kasus besar yang menyita perhatian publik.

Salah satu kasus yang paling disoroti adalah dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022.

Dalam kasus ini, total sudah ada 21 orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Pembuntutan yang dilakukan oleh anggota Densus 88 ini memancing banyak pertanyaan dari masyarakat, termasuk mengenai tugas pokok pasukan khusus ini.

Tugas Densus 88

Densus 88, dibentuk pada tahun 2003. Pasukan merupakan unit utama dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia.

Karena alasan tersebut, anggota  Densus 88 Anti-Teror (AT) dilatih secara khusus dalam bidang penanganan berbagai ancaman terorisme. Seperti kelompok bersenjata dan ancaman bom.

Berdasarkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri, Densus 88 AT adalah unit pelaksana utama di bidang penanggulangan tindak pidana terorisme.

Semua hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 52 Tahun 2010 .

Densus 88 AT dipimpin oleh Kepala Densus (Kadensus) dan dibantu oleh Wakil Kadensus (Wakadensus) 88 AT .

Kadensus bertanggung jawab langsung dengan Kapolri, serta.

Unit ini memiliki tanggung jawab atas kegiatan intelijen, pencegahan, penindakan, penyidikan, identifikasi, dan sosialisasi dalam rangka penanggulangan aksi terorisme.

Saat ini, pimpinan densus 88 AT dipercayakan kepada Brigjen Sentot Prasetyo, yang menggantikan Irjen Marthinus Hukom.

Sejak 7 Desember 2023 lalu, Marthinus Hukom mendapat tugas baru sebagai  kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) .

Dalam menjalankan tugasnya, Sentot dibantu oleh Wakadensus 88 AT Brigjen I Made Astawa.

Unit khusus ini, yang juga dikenal sebagai Satuan Anti-Teror Burung Hantu, terdiri dari anggota polisi berpengalaman dalam strategi dan taktik terhadap tindak pidana terorisme.

Di seluruh provinsi di Indonesia, Densus 88 AT memiliki perwakilan yang dikenal sebagai Satgaswil Densus 88 AT melalui Kepolisian Daerah (Polda).

Menurut Jurnal Ilmiah Pustaka (2022), kewenangan Densus 88 AT Polri dalam menangani aksi terorisme didasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pembentukan Densus 88 AT Polri ini,  merupakan tanggapan terhadap meningkatnya ancaman teror dari organisasi Jama’ah Islamiyah (JI). Diketahui kelompok JI mash satu jaringan Al Qaeda.

Di pusat (Mabes Polri), jumlah personel Densus 88 AT diperkirakan mencapai 400 orang, yang terdiri dari ahli investigasi, ahli penjinak bom, unit pemukul, dan ahli penembak jitu.

Sementara itu, Densus 88 AT di daerah diperkirakan memiliki 45-75 anggota, namun dengan kemampuan dan fasilitas yang lebih terbatas.

Pasukan khusus antiteror di Polda menjalankan pemeriksaan laporan aktivitas terorisme di daerah.

Mereka juga dipercayakan untuk menangkap pihak-pihak yang dapat membahayakan keamanan negara dan terindikasi memiliki hubungan dengan kelompok teroris.

Daftar Operasi Antiteror di Indonesia

Sejak didirikan, Densus 88 AT telah menangkap sebanyak 840 teroris selama 13 tahun. Berdasarkan data, sekitar 245 orang telah dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan, sementara 126 orang lainnya masih ditahan.

Selain itu, Densus 88 telah menewaskan 54 tersangka terorisme, termasuk teroris terkenal seperti Dr. Azhari dan Noordin M. Top.

Berikut adalah beberapa operasi antiteror yang dilakukan oleh Densus 88:

Dr. Azhari

Pada 9 November 2005, Densus 88 Mabes Polri menyergap kediaman teroris Dr. Azhari di Kota Batu, Jawa Timur. Peristiwa tersebut mengakibatkan tewasnya Dr. Azhari, buronan nomor satu di Indonesia dan Malaysia.

Konflik Poso

Pada 2 Januari 2007, dalam operasi di Poso, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap 19 dari 29 warga yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Operasi ini juga menyebabkan tewasnya seorang polisi dan sembilan warga sipil.

Al Jamaah Al Islamiyah

Pada 9 Juni 2007, Densus 88 berhasil menangkap Yusron Mahmudi alias Abu Dujana, tersangka jaringan teroris Al Jamaah Al Islamiyah, di Desa Kebarongan, Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah.

Abu Dujana merupakan alumni perang Afghanistan dan pelatihan di Mindanao.

Noordin M. Top

Pada 17 September 2009, Densus 88 melakukan pengepungan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Jebres Solo.

Pengepungan tersebut, menewaskan lima teroris. Diantaranya, Noordin M. Top, Bagus Budi Pranowo atau Urwah, Aryo Sudarso alias Aji, serta Hadi Susilo dan istrinya, Munawaroh.

Kelompok Abu Roban

Pada 31 Desember 2013 hingga 1 Januari 2014, Tim Densus 88 dan Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah kontrakan di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang.

Saat penggerebekan  itu terjadi baku tembak. Akibat peristiwa itu, enam terduga teroris yang merupakan bagian dari kelompok Abu Roban, tewas.

Sejarah Berdirinya Densus 88

Pembentukan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dimulai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Kebijakan ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 dan 2 Tahun 2002 .

Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan saat itu membentuk Desk Koordinasi, yang terdiri dari Kesatuan Antiteror Polri yang dikenal sebagai Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri, serta tiga organisasi antiteror dari TNI dan intelijen.

Namun, dalam pelaksanaannya, masing-masing kesatuan lebih memilih untuk tetap berada di bawah organisasi asal mereka, yang menyebabkan Satgas Antiteror ini tidak berjalan efektif dan serangan teror di Indonesia tidak berkurang.

Sebagai respons, Polri kemudian membentuk Satgas Bom Polri, yang mendapatkan perhatian publik setelah menangani beberapa kasus besar seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia.

Angka 88 berasal dari singkatan A.T.A. atau Anti-Terrorism Act. Ketika dilafalkan dalam bahasa Inggris, singkatan ini berbunyi Ei Ti Ekt, yang terdengar seperti Eighty Eight.

Dengan demikian, angka 88 tidak seperti yang sering dipersepsikan.

Spekulasi yang beredar menghubungkan angka 88 dengan jumlah korban sejak insiden bom Bali. Sehingga angka 88 bukan representasi dari borgol.

Satuan ini juga mendapat bantuan dari pemerintah Amerika Serikat melalui Dinas Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan dilatih langsung oleh pasukan CIA, FBI, dan United States Secret Service.

Editor : Norben Syukur

Tag : #Densus 88    #Detasemen Khusus 88 Antiteror    #Hukum    #Polri    #Febrie Adriansyah   

BACA JUGA

BERITA TERBARU