PARBOABOA, Jakarta - Salah satu indikator keberhasilan pemilihan umum (pemilu) 2024 nanti, ditentukan oleh keterlibatan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.
Dalam rangka itu, setiap elemen bangsa mesti berkontribusi menahan laju gelombang golongan putih (Golput), terutama yang menyasar pemilih muda, yaitu generasi milenial dan Z.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, media online PARBOABOA menyadari peran strategis ini dengan menggelar diskusi publik bertajuk, Menakar Strategi Komunikasi Politik yang Ideal Mengurangi Golput Pemilih Muda.
Diskusi ini digelar di Kekini Coworking Space, Cikini, Menteng, Jakarta pusat, Sabtu (18/11/2023), dihadiri oleh mahasiswa dari beberapa Kampus di Jakarta, para jurnalis dan masyarakat umum.
Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 4 jam, Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, mengangkat isu menarik mengenai kontribusi partai politik terhadap tren golput di tengah-tengah masyarakat.
Emrus mengungkapkan, partai politik saat ini terjebak dalam politik kekuasaan, yang menyebabkan hilangannya esensi untuk memperkuat demokratisasi.
Dia menyoroti fenomena di mana beberapa partai politik kehilangan arah ideologinya di Indonesia.
Partai-partai tersebut cenderung ‘bergerombolan’ untuk memasuki pemerintahan, walaupun mereka awalnya sebagai lawan politik selama kompetisi pemilu.
Emrus berkata, dalam teori ilmu politik, manuver semacam itu dapat melemahkan peran oposisi sebagai penyeimbang terhadap pemerintah yang berkuasa.
"Jadi harus punya garis ideologi. Jangan nanti udah menang bergabung demi argumentasi yang bisa dibangun, demi persatuan, tidak. Menurut saya, partai yang nanti kalah masuk di oposisi karena sama mulianya," kata Emrus.
Menurutnya, perilaku ini menjadi salah satu faktor utama yang merusak persepsi masyarakat terhadap politik, sehingga menciptakan sikap antipati yang pada akhirnya mendorong golput.
"Itulah yang membuat dari pada rakyat Indonesia mendorong untuk golput. Toh sama aja nanti kalau udah menang, jadi golput dia," tegas Emrus.
Karena itu, Emrus menyarankan agar setiap partai politik harus punya imunitas mempertahankan ideologi partainya, sehingga tidak mudah terjerumus dalam permainan politik kekuasaan yang kadang pragmatis dan transaksional.
Sementara itu, terkait golput yang dilekatkan dengan generasi milenial dan Z, Emrus menekankan, pentingnya partai politik menawarkan program dan gagasan yang relevan dengan kebutuhan mereka.
"Penelitian mendalam tentang kebutuhan dan harapan generasi muda perlu dilakukan untuk merancang platform yang menarik bagi mereka," tegasnya.
Selain itu, Emrus memberikan peringatan terhadap potensi golput, yang menurutnya dapat terjadi jika partai politik tidak maksimal dalam merangkul seluruh rakyat Indonesia.
Ia mencatat, potensi ini biasanya terjadi karena masing-masing elite partai politik mempertontonkan fanatisme semu terhadap calon yang dia usung.
Fanatisme ini dapat sesekali menimbulkan debat kusir bahkan perang terbuka di media sosial, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan pemilih muda.
"Saya berpendapat bahwa supaya generasi muda ini, generasi milenial dan gen z tidak golput, tolonglah para kandidat dan tim sukses partai untuk tidak berbalas pantun yang tidak produktif di ruang publik," tegas Emrus.
Emrus juga mengajak para politisi untuk menghindari adu laporan yang tidak produktif di media sosial, dengan menekankan pentingnya budaya musyawarah dan mediasi.
"Dalam situasi tertentu, mediasi lebih baik daripada melaporkan secara langsung," katanya.
Namun demikian, ia mengingatkan kampanye politik harus tetap mematuhi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta menghindari perbandingan atau penyamarataan yang merendahkan martabat manusia.
Disparitas Generasi Muda di Kota dan Desa
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kampanye Digital Bappilu Partai Nasdem, Arfi Bambani Armi, mengatakan, upaya meningkatkan partisipasi pemilih muda di pilpres harus didahului dengan memahami karakter pemilih di kota dan desa.
Menurutnya, kesenjangan ekonomi menjadi salah satu pembeda antara kedua kelompok ini. Arif menyebutnya dengan istilah ‘dua dunia.’
Terlihat dari tingginya angka putus sekolah di pedesaan dalam lima tahun terakhir yang menyebabkan mereka lebih memilih mati-matian mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dibanding berpartisipasi dalam pesta politik.
“Gen milenial dan Z di desa nyari duit 500 ribu per bulan aja kesulitan. Mereka bisa kerja di pabrik aja udah sebuah kebanggaan,” tuturnya.
Sementara di perkotaan, menurut Arfi, banyak orang yang sudah berpenghasilan cukup, ditambah dengan dukungan finansial orang tua, sehingga mereka memiliki lebih banyak waktu luang untuk menyuarakan aspirasi politik mereka.
“Mungkin bapak ibunya sudah punya duit, jadi mereka tidak perlu meng-cover pengeluaran bapak ibunya (sandwich generation). Dan mereka cukup memikirkan diri sendiri,” ucapnya.
Karena perbedaan kondisi tersebut, maka preferensi politik di antara mereka pun berbeda.
"Dalam upaya mengatasi perbedaan preferensi ini, kita perlu menyusun strategi komunikasi politik yang dapat disesuaikan dengan realitas dan kebutuhan setiap segmen pemilih," ungkap Arfi.
Ia menyoroti pentingnya merangkul pemilih muda dari kedua lingkungan, baik desa maupun kota, dengan kebijakan politik yang akomodatif dan tidak tebang pilih.
Arfi menekankan, isu-isu seperti kebebasan berbicara, pendidikan, lapangan kerja, dan kesehatan diakui sebagai hal krusial yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam mendekati generasi milenial dan Gen Z.
"Kita harus memahami dinamika sosial dan kebutuhan unik dari setiap segmen pemilih agar tidak ada generasi apolitis. Dengan merangkul preferensi mereka, kita dapat membangun strategi yang lebih efektif dan relevan," tegas Arfi.
Koordinator Isu Politik dan Demokrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia (BEM SI), Hanif Alfattah, mengonfirmasi tantangan edukasi politik yang dihadapi pemilih muda di desa dan perkotaan, khususnya terkait Pilpres.
Hanif menjelaskan, mereka yang tinggal di desa seringkali tidak memiliki referensi dan akses yang memadai untuk mendapatkan informasi aktual seputar Pilpres.
Tidak hanya terbatas pada warga desa, gejala serupa juga mulai menyebar ke institusi pendidikan, termasuk di Kampusnya, di Universitas Diponegoro (Undip).
"Ketika saya kembali ke desa, teman-teman saya tidak tahu siapa calon wakil presiden-nya. Ini terjadi di desa, bahkan teman-teman saya di Undip menyadari hal yang sama," ujar Hanif.
Di sisi lain, masyarakat perkotaan, menurut Hanif, cenderung memiliki akses informasi yang lebih luas terhadap isu politik yang sedang berkembang.
Hanif menyampaikan, tanpa adanya inisiatif untuk memberikan edukasi dan akses yang merata, upaya untuk melibatkan pemilih muda dalam Pilpres sulit terwujud.
Pendapat ini pun langsung mendapat persetujuan dari pihak yang sedang dibahas, generasi Z kota. Menurut Angga, koordinator media BMSI, mereka merupakan kaum elite kalau soal informasi.
“Bagi kami yang di perkotaan, ini kami sudah cukup menerima banyak informasi terkait proses pencalonan Capres dan Cawapres. Dari awal kami mengikuti, bahkan dari 2019, aksi mahasiswa yang besar itu, kami mengikuti segala prosesnya,” ungkap Angga.
Contohnya saja kasus terbaru soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan seseorang maju sebagai cawapres meski belum berusia 40 tahun namun sudah berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota.
“Tapi kita enggak naif soal ini, bahwa ini untuk meloloskan Gibran. Itu aja gitu. Pada poinnya itu, untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres presiden,” tuturnya.
Pendidikan dan Kesehatan
Jubir Muda Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Yogen Sogen, menyoroti dua aspek penting untuk meningkatkan partisipasi pemilih muda, yaitu pendidikan dan kesehatan.
Menyoal pendidikan, Yogen mengatakan bahwa upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, terutama melalui isu satu keluarga satu sarjana.
Dia mencontohkan, inisiatif ini sudah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Flores Timur, di mana menjadi sarjana dianggap sebagai prestasi luar biasa.
"Ketika satu keluarga dapat melahirkan satu sarjana, dampaknya sangat luar biasa. Saya berharap ke depannya, ini bukan lagi sebuah ilusi, melainkan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat," kata Yogen.
Terkait isu kesehatan, ia menekankan konsep 'satu Desa satu puskesmas' untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata, terutama di daerah terpencil.
"Dua-duanya berkaitan satu dengan yang lain, karena kesehatan yang baik menjadi pondasi utama dalam membentuk SDM yang berkualitas," katanya.
Menurutnya, ini lebih penting ketimbang mempersoalkan partisipasi pemilih muda yang lebih banyak dipengaruhi oleh data survei.
"Kerja politiknya harus melampaui data survei. Harus ada aktor politik yang melakukan kerja-kerja konkrit sehingga dapat merangkul partisipasi aktif pemilih muda," pungkasnya.
Editor: Yohana