PARBOABOA - Kerasnya kota kadangkala memaksa warganya tanpa kecuali anak-anak untuk mengemis maupun meminta-minta dengan cara apa pun, menjadi badut keliling salah satunya. Realitas sosial ini juga sepertinya sudah jamak ditemui di Pematang Siantar, kota terbesar kedua di Sumatra Utara.
Parboaboa menemui dua di antaranya, H, 10, dan R, 12. Dua badut bocah (anak di bawah umur), abang beradik, yang terpaksa menjadi badut untuk membantu keluarganya, bukan karena suruhan siapa pun, melainkan inisiatif sendiri.
“Kami memang mau sendiri, biar bantu nenek dirumah,” ucap R, anak tertua di keluarganya.
Kedua anak tersebut tinggal bersama neneknya di Kelurahan Bah Sorma Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar. Sehari-hari mereka menjalankan aktivitas sebagai badut keliling sejak satu tahun terakhir.
Keduanya mengaku sejak kecil hidup tanpa kasih sayang orang tua mereka. Masa pandemi COVID-19 lalu membuat hidup mereka semakin susah. Dari penuturan mereka, ayahnya pergi ke Aceh, sedangkan ibunya di Malaysia.
“Ayah di Aceh, katanya main badut juga kaya kami. Kalau ibu di Malaysia tidak tahu kerja apa,” ucap Rehan.
Setiap hari, setelah pulang sekolah keduanya mengais rezeki di persimpangan jalan di bawah lampu penanda lalu lintas. Dari siang hingga malam keduanya bisa mendapatkan uang Rp50 ribu.
“Paling banyak pernah sampai Rp100 ribu, kalau lagi hari libur. Uangnya sebagian kami tabung, sebagian kami berikan sama nenek,” ucap R.
H dan R dulunya meminjam kostum badut untuk mengemis kepada seorang kenalan mereka yang tinggal di Jl. Ade Irma Pematang Siantar. Seseorang yang enggan mereka sebut namanya itu, meminta biaya Rp50 ribu per harinya.
Tak sampai setahun, mereka membeli kostum dan tidak lagi menyewa. “Jadi kami dapat bersih paling Rp10-20 ribu ketika nyewa. Setelah nabung terkumpul uang, kami beli dari Shoope ikut ongkirnya Rp600 ribu,” jelas R.
Bahkan, saat ini mereka berencana untuk membeli kostum mereka yang baru karena kondisi kostum mereka sudah kusam dan kotor. “Ini kami mau beli kostum baru om, udah ngumpulin uang. Yang lama sudah kotor dan jorok om,” jelasnya.
Kerasnya kota telah memotivasi keduanya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. “Saya mau jadi pengusaha om, pengusaha kan banyak duitnya. Biar kami gak perlu kaya gini lagi, biar nanti keluarga kami tidak usah jadi badut lagi om,” ucap R.
Pro Kontra
Di Kota Pematang Siantar, badut bocah mudah ditemui di beberapa titik perempatan lampu merah, seperti di Jalan Sudirman dan Kartini dan beberapa kafe dan restoran di pusat kota, juga di SPBU.
Pro kontra muncul atas keberadaan mereka. Ada yang merasa kasihan, dan ada yang merasa terganggu. Sari, salah seorang warga Kecamatan Siantar Barat, menyebutkan bahwa kehadiran anak-anak ini kadang membuat dirinya merasa kasihan.
“Saya di usia mereka tidak pernah memikirkan cari uang sendiri, setiap butuh uang saya langsung minta uang sama orangtua,” ucap mahasiswi yang sering melihat mereka ketika pergi kuliah. “Setiap saya pergi dan pulang kuliah kira-kira pukul 21.00 WIB, mereka juga masih ada disana,” ucapnya.
Dia membayangkan dirinya pada usia anak-anak tersebut, yang tidak pernah memikirkan cara menghasilkan uang sendiri.
Andre, warga lainnya, mengaku tidak terganggu dengan keberadaan mereka. “Namun mereka bisa membahayakan juga. Apabila lampu sudah hijau, pastinya semua kendaraan akan melaju dan bisa membuat mereka tertabrak. Belum lagi pengendara yang melaju kencang, bisa tertabrak juga,” ujarnya.
Ada juga yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Putra, salah satu pengunjung di Dear Kopi Jalan Sudirman Pematang Siantar, mengatakan kehadiran para bocah badut tersebut kerap mengganggu ketenangan dirinya saat sedang menikmati pesanannnya.
“Banyak orang yang datang kemari kadang karena sudah lelah dengan pekerjaannya, sehingga sebelum ke rumah, singgah sebentar menikmati kopi. Tapi terkadang anak-anak yang datang ini memberikan kesan buruk, jika tidak diberikan uang maka tidak akan pergi,” ucap Putra.
Seolah memaksa, anak-anak tersebut tidak ingin pergi jika tidak diberikan uang. Ditambah dengan suara musik mereka yang tidak kondusif.
“Kadang sudah saya lambaikan tangan menandakan tidak memberi, tapi tidak mau juga pergi. Suara musik dari speaker mereka juga yang kesannya mengganggu jadi mau tidak mau saya kasih saja duit agar mereka lekas pergi,” ucapnya.
Koordinator Tenaga Kesehatan Sosial Kecamatan (TKSK) Dinas Sosial Pematang Siantar, Armansyah Nasution, mengatakan Dinas Sosial (Dinsos) mencatat ada sebanyak 28 gelandangan dan pengemis (gepeng) di Pematang Siantar.
Sepanjang 2023 dinas tersebut telah melakukan penangkapan dan pembinaan terhadap 19 gelandangan dan pengamen (gepeng) di kota itu, juga badut anak-anak, manusia silver dan pengemis disabilitas.
“Awal Januari 2023 sampai sekarang kita sudah melakukan penangkapan para gepeng, dan juga sudah lakukan pembinaan kepada mereka. Namun para gepeng masih saja balik melakukan kegiatan yang sudah dilarang,” kata Armansyah kepada Parboaboa, Rabu pekan lalu.
Setiap melakukan penindakan, katanya, pihaknya memberikan pembinaan, makanan, lalu membuat surat pernyataan dengan keluarga agar tidak melakukan kegiatan itu lagi. “Tapi lagi-lagi mereka tetap kembali melakukan hal itu,” ucapnya.
Armansyah menjelaskan, Dinsos Pematang Siantar mengalokasikan dana Rp200 juta dari APBD untuk penanganan gepeng, penyandang disabilitas, lansia terlantar, dan anak terlantar. Tetapi, berbeda dengan gepeng, kepada penyandang disabilitas, lansia terlantar, dan anak terlantar, Dinsos memberikan bantuan bahan pangan. Ada 50 disabilitas, 30 lansia terlantar, 50 anak terlantar yang akan menerima bantuan bahan pangan seperti beras, telur, gula, selimut, dan pakaian sepanjang 2023.
Tak Cukup Hanya Razia
H dan R hanyalah dua contoh anak di bawah umur yang melakukannya karena desakan ekonomi. Dinas Sosial Pematang Siantar mencatat dari 19 gepeng yang berkeliaran di kota itu, sebagian di antaranya anak-anak yang terpaksa melakukannya karena desakan ekonomi.
“Seperti di simpang empat lampu merah di Jalan Sudirman terdapat dua anak yang melakukan pekerjaan jadi badut, itu dia tetap bekerja karena tuntuan kehidupan orang tuanya, yang memaksa mereka melakukan pekerjaan sebagai pengamen badut,” jelas Armansyah.
Pengamat sosial dari Univesitas Sumatra Utara, Suryadi berpendapat, penanganan dan pembinaan kesejahteraan sosial tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Penanganan mungkin bisa dengan cepat dilakukan dengan razia, namun katanya, proses penyadaran dan pembinaannya butuh waktu yang lama.
“Terutama pembinaan yang berkaitan dengan aspek mental spritual dan pembinaan keterampilan khusus, agar mereka punya keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk ke depannya,” jelasnya.
Armansyah tidak membantah bahwa upaya yang dilakukan Dinsos Pematang Siantar masih kurang efektif untuk memberikan efek jera. Pasalnya, dinas sosial tidak memiliki tempat rehabiltasi untuk para gepeng agar ditahan dan diberikan pembinaan selama 7 hari.
“Sampai saat ini, kita juga belum ada tempat untuk para gepeng biar dilakukan pembinaan dalam waktu yang lama. Kita sudah coba ajukan tempat rehabiltasi kepada pemerintah untuk para gepeng di Pematang Siantar, namun sampai saat ini masih juga belum diberikan,” ujarnya.
Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus ‘kerasnya kota’. Nama-nama anak dalam laporan ini sengaja tidak disebutkan untuk melindungi privasi anak di bawah umur.
Reporter: Patrick Damanik, Halima Tusaddiah
Editor: Tonggo Simangunsong