PARBOABOA, Jakarta - Setelah berlaku lebih dari 20 tahun, muncul rencana Pemerintah bersama DPR untuk merevisi UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Kepolisian.
Berdasarkan draf yang beredar, revisi akan menambah beberapa kewenangan polisi, yaitu kewenangan pembinaan dan pengawasan ruang siber sekaligus perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan dan penggalangan intelijen.
Tak hanya itu, revisi juga akan menambah pasal baru terkait usia pensiun anggota polri. Usia pensiun yang sebelumnya 58 tahun menjadi 60-62 tahun bagi anggota biasa dan 65 tahun bagi pejabat fungsional polri.
Abdul Hakim, anggota baleg DPR RI menegaskan, revisi semata-mata dilakukan untuk memperkuat polri dari sisi kelembagaan maupun fungsinya.
Dengan penambahan sejumlah kewenangan tersebut, ia berharap kinerja polisi akan lebih bagus, profesional, akuntabel serta mampu melayani masyarakat secara konsisten.
Abdul menampik sejumlah isu yang beredar bahwa revisi untuk menjadikan kepolisian menjadi Lembaga super power sebagaimana fungsi ABRI di zaman orde baru.
Ia meyakinkan semua pihak, rencana revisi UU Kepolisian tidak untuk membangkitkan luka lama tetapi untuk mengurai persoalan kebangsaan dari aspek kenegaraan, penegakan hukum dan keamanan.
Mantan anggota Komisi Kepolisian Indonesia (Kompolnas), Edi Hasibuan juga menyambut baik revisi UU Kepolisian.
Kata dia, revisi mesti dilakukan demi kebaikan institusi. Ia bahkan mendukung penuh usulan perpanjangan usia pensiun anggota polisi.
Menurut Edi, wacana usia pensiun 60 tahun bagi polisi dan lebih dari itu untuk mereka yang punya keahlian khusus merupakan usulan yang bagus.
Ia mengaku keberatan jika usia pensiun polisi mengikuti ketentuan UU sekarang, yaitu 58 tahun. Padahal tegasnya, di usia 58 tahun itu, "banyak polisi masih giat-giatnya kerja."
Terpisah, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan, belum ada kegentingan memaksa untuk merevisi UU Kepolisian.
Toh, kalau pun dipaksakan, revisi tersebut dari sisi substansi nantinya tidak akan menyelesaikan masalah institusional Kepolisian.
Lantas, KontraS memberikan sejumlah catatan ketidakberesan poin-poin revisi UU a qou.
Pertama, terkait pengawasan ruang siber melalui penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan upaya perlambatan akses rentan disalahgunakan.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyatakan hal ini sangat mungkin terjadi mengingat penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi dan intersepsi digital pengaturannya masih sangat lemah sehingga rentan terjadi kesewenang-wenangan dalam implementasinya.
Contoh kasus tegas dia pernah terjadi di Papua pada tahun 2021, yaitu adanya pembatasan atas akses internet secara massif.
"Menunjukkan bahwa pemblokiran, pemutusan dan perlambatan akses ruang siber dapat dengan mudah dilakukan secara sewenang-wenang dan merugikan masyarakat," kata Dimas dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Rabu (22/5/2024).
Selain itu, rencana 'pembinaan' dan 'pengawasan' terhadap Ruang Siber dikhawatirkan dapat dijadikan justifikasi untuk menyerang masyarakat yang bersuara kritis melalui media sosial dan melakukan serangan digital terhadap aktivis, jurnalis, pembela HAM dan pembela Lingkungan Hidup.
"Seperti yang pernah dialami oleh Jurnalis Narasi beberapa waktu yang lalu," tegasnya.
Kedua, sama seperti pengamanan ruang siber, penyadapan dan penggalangan inteligen juga sangat bermasalah. Dimas mengatakan, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.
Padahal, demikian ia menegaskan, kewenangan polri melakukan penyadapan harus berdasarkan pada UU terkait penyadapan.
Sementara itu, kewenangan dalam hal penggalangan intelijen berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan serupa yang dimiliki Badan Intelijen Negara (BIN).
Pada dasarnya, kata Dimas diberikannya kewenangan kepada Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, nampak mengambil porsi kewenangan lembaga khusus intelijen seperti BIN.
"Pada sisi lain penambahan kewenangan itu juga dapat menimbulkan kekaburan (obscuur) karena memberikan kewenangan yang serupa kepada dua lembaga berbeda."
Ketiga, dinaikkannya batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri juga belum memiliki urgensi yang jelas.
Hal ini dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian namun tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.
Untuk mengatasi masalah tersebut tegas Dimas, yang perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian.
Tidak memperkuat Kompolnas
RUU Kepolisian juga dinilai tidak memperkuat kewenangan lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Selama ini Lembaga tersebut tidak terlalu menunjukkan performa yang baik sebagai lembaga pengawas, bahkan cenderung menunjukkan disfungsi dalam melakukan kerja-kerjanya.
RUU Kepolisian yang baru, menurut KontraS seharusnya turut memperkuat fungsi lembaga pengawasan untuk menjamin terciptanya institusi Kepolisian yang kompeten dan profesional.
Tak hanya itu keinginan untuk memperluas kewenangan tersebut perlu diiringi dengan pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi angka penyelewengan.
Data KontraS menunjukkan, sepanjang Januari-April 2024 telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Kepolisian.
Angka yang tinggi ini menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM rentan terjadi, dan oleh karena itu mekanisme pengawasan seharusnya diperkuat.
Mekanisme pengawasan serta sanksi kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran selama ini, menurut KontraS tidak dijalankan dengan ketat.
Indikasinya banyak anggota yang melakukan pelanggaran hanya dikenai sanksi etik, bahkan dalam beberapa kasus tidak dihukum sama sekali.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penguatan terhadap oversight mechanism oleh lembaga seperti Kompolnas seharusnya diperketat, sehingga setiap anggota bisa menjalankan tugas secara efektif.
Bahkan, kalau perlu Kompolnas diberikan kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran yang oleh anggota Polri.
Berdasarkan sejumlah masalah tersebut di atas, Kontras kata Dimas meminta DPR RI bersama Pemerintah untuk menghentikan sementara proses pembahasan RUU Kepolisian.
Kata dia, DPR dan Pemerintah harus melakukan evaluasi serta meninjau ulang beberapa perubahan RUU Kepolisian khususnya pasal-pasal yang memperluas kewenangan polisi.
Selain itu, penyusunan RUU Kepolisian secara partisipatif mesti melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi dan unsur masyarakat lainnya.
Editor: Gregorius Agung