PARBOABOA, Jakarta – Konflik bersenjata, baik antar negara maupun internal, masih terus melanda sebagian besar dunia hingga saat ini.
Hal tersebut telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan, terutama bagi warga sipil yang telah kehilangan nyawa, keluarga, hingga harta benda.
Tidak hanya itu, perang juga berdampak buruk pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat, meningkatkan risiko malnutrisi pada anak-anak, menciptakan trauma yang berkepanjangan, menyebabkan kecacatan, serta meningkatkan risiko penyebaran berbagai penyakit.
Namun, ancaman dampak perang tersebut tampaknya belum mampu menyadarkan negara yang terlibat konflik untuk menghentikan perang seperti yang sedang berlangsung saat ini, antara lain:
Palestina-Israel
Seperti yang diketahui, konflik bersenjata antara dua negara di Timur Tengah ini tengah memanas.
Dilatarbelakangi oleh Israel yang sedari lama ingin merebut tanah Palestina, perang ini dimulai pada tahun 2008 lalu, di Jalur Gaza.
Saat itu, perang Israel dan Palestina melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.
Lalu, pada tahun 2014, Israel dan Palestina kembali terlibat baku serang selama 50 hari. Peperangan ini pun mengakibatkan tewasnya 1.426 warga sipil dan 500 anak-anak.
Setelah itu, konflik bersenjata antara Palestina dan Israel mereda. Namun, pada Senin (10/5/2021), perang kembali memanas.
Kali ini, perang antara Israel dan Palestina dipicu oleh perebutan wilayah Yerusalem Timur.
Kemudian, setelah 11 hari berbunyi, Israel dan Palestina setuju untuk melakukan gencatan senjata pada Jumat, (21/5/2021).
Akan tetapi, Hamas yang berada di kubu Palestina mengakhiri kesepakatan tersebut dengan menembakkan ribuan roket ke arah Israel pada Sabtu (7/10/2023) lalu.
Akibatnya, sekitar 1.400 warga sipil Israel pun dinyatakan tewas dan 4.562 lainnya mengalami luka-luka.
Serangan Hamas inilah yang memicu Israel untuk melancarkan kembali serangan ke wilayah Palestina di Jalur Gaza.
Dalam kemarahannya, Israel juga memutus aliran listrik, bahan bakar, pasokan makanan, dan air bersih ke Jalur Gaza.
Israel bahkan meluncurkan serangan udara ke Rumah Sakit (RS) Al-Ahli al-Arabi, Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, dan Masjid Al Ansar.
Hingga Rabu (25/10/2023), dilaporkan sebanyak 33 masjid, 3 gereja, dan 3 rumah sakit hancur dalam serangan udara yang dilakukan Israel.
Tak sampai di situ saja, Israel ikut menyatakan akan terus melakukan serangan dan memblokade jalur masuk bantuan kemanusian ke Gaza sampai 200 tawanan dibebaskan oleh Hamas.
Namun, pada Minggu, (22/10/2023), sikap Israel memaksa dan mengizinkan sejumlah bantuan kemanusiaan memasuki Jalur Gaza.
Perizinan ini tentu bukan tanpa syarat. Israel meminta bantuan kemanusiaan tersebut tidak diberikan kepada Hamas.
Kini, peperangan antara keduanya pun telah memasuki hari ke-19. Menurut laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Palestina, ada sebanyak 6.546, termasuk 2.704 anak-anak tewas di Jalur Gaza.
Sedangkan di sisi Israel disebutkan sebanyak 1.405, termasuk 308 anggota militer dan 58 anggota kepolisian menjadi korban jiwa.
Selain itu, sebanyak 25 jurnalis juga dinyatakan tewas saat meliput perang antara Hamas-Israel.
Sedangkan untuk korban luka di pihak Gaza ada 16.297 orang, dan di kubu Israel sebanyak 5.431 orang.
Di sisi lain, menurut informasi terbaru, dikatakan jika Amerika Serikat yang mendukung Israel menolak usulan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan gencatan senjata.
Rusia-Ukraina
Di sisi lain, perang antara dua negara juga turut berkecamuk di belahan dunia bagian Eropa. Di mana, konflik tersebut melibatkan Rusia dan Ukraina.
Perang ini dimulai ketika Rusia pada Selasa (24/2/2022) lalu, melakukan invasi besar-besaran terhadap Ukraina melalui perbatasan di timur, Belarus di utara, dan Krimea yang terletak di selatan.
Rusia kala itu menyerang Negara Zionis dengan menggunakan senjata dan senjata ringan hingga berat.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, pun mendapat kecaman dari berbagai pihak karena serangan itu menjatuhkan lebih dari 9.000 warga sipil, termasuk 500 anak-anak.
Tak tinggal diam, Ukraina kemudian melancarkan serangan balasan terhadap pasukan Rusia di sejumlah wilayah kunci yang menjadi perebutan keduanya, yakni Bakhmut, Donetsk dan Zaporizhzhia.
Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina pun terus berlangsung hingga tahun 2023, dan per Sabtu (19/8/2023), dikabarkan hampir 500.000 tentara Rusia dan Ukraina tewas atau terluka.
Rinciannya, di kubu Rusia, sekitar 120.000 orang tewas dan 170.000-180.000 lainnya mengalami luka atau cedera.
Sementara di pihak Ukraina, disebutkan sebanyak 70.000 orang tewas, dan 100.000-120.000 luka-luka.
Di samping itu, kabar terbaru melaporkan jika pada Selasa (24/10/2023) malam, 16 orang warga Ukraina terluka dalam serangan pesawat tak berawak milik Rusia di barat Khmelnytskyi.
Tak hanya pesawat tak berawak, Rusia juga melancarkan serangan menggunakan bom pada Rabu (25/10/2023) pagi, di wilayah tenggara Kherson, hingga mengakibatkan 1 orang tewas.
Adapun menurut kabar yang beredar, perang tersebut dipicu oleh kedekatan Ukraina dengan Blok Barat, perbedaan Rusia-Ukraina dalam interpretasi soal perjanjian Minsk, dan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO.
Namun, berdasarkan pidato Vladimir Putin, disebutkan jika alasan konflik tersebut adalah Rusia berkeinginan agar Ukraina dipimpin oleh seseorang yang pro terhadap negaranya.
Sementara itu, dalam pidato Putin lainnya, dia berdalih jika serangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat komunitas Rusia di Ukraina dari kelompok ultranasionalis yang dibeking Kyiv.
Perang Saudara di Myanmar
Satu tahun sebelum perang Rusia-Ukraina, konflik bersenjata telah lebih dulu terjadi di negara bagian Asia Tenggara.
Saat itu, junta militer tidak puas dengan hasil pemilu dengan berani melakukan kudeta di Myanmar.
Tepat pada Senin (1/2/2021) lalu, Aung San Suu Kyi, sebagai pemimpin terpilih dijadikan sebagai tahanan karena junta militer curiga jika pihak partai Suu Kyi melakukan kejadian.
Setelah penangkapan, junta militer lalu mengumumkan Panglima Angkatan Bersenjata, Min Aung Hlaing, sebagai presiden yang baru.
Sontak kudeta dan penangkapan Aung San Suu Kyi pun mendapat protes massal dari masyarakat Myanmar.
Puluhan ribu massa aksi yang mayoritas anak muda melakukan empat unjuk rasa secara terpisah untuk melawan kudeta militer tersebut.
Namun, aksi protes nasional justru direspon dengan menggunakan tembakan dari kendaraan lapis baja oleh junta militer.
Hingga Senin, (12/6/2023), menurut laporan Peace Research Institute Oslo, setidaknya ada 6.000 warga sipil terbunuh selama 20 bulan kudeta junta militer berlangsung.
Dalam laporan itu juga disebutkan jika militer, polisi, dan milisi yang berafiliasi dengan Myanmar bertanggung jawab atas membunuh lebih dari 3.000 warga sipil.
Selain mereka, kelompok perlawanan anti-kudeta junta militer juga menyebabkan terbunuhnya lebih dari 2.000 warga sipil, dan pelaku yang tidak disebutkan namanya membunuh setidaknya 1.000 orang.
Perang saudara antara junta militer dan kubu anti-kudeta terus berkecamuk hingga saat ini. Berbagai penyerangan pun tak berkesudahan.
Di sisi lain, menurut kabar terbaru, junta militer melakukan penyerangan di kamp pengungsian internal dekat kota Laiza di negara bagian Kachin, Myanmar pada Senin (23/10/2023) malam.
Serangan tersebut mengakibat sebanyak 29 orang, termasuk anak-anak tewas di lokasi.
Editor: Maesa