PARBOABOA, Jakarta - Beberapa insiden intervensi TNI terhadap Polri telah terjadi di Indonesia, menciptakan keraguan akan independensi sistem peradilan. Tindakan semacam ini dapat digolongkan sebagai Obstruction of Justice, yakni tindakan yang menghalangi jalannya proses peradilan.
Pada awal Agustus 2023, muncul kasus terbaru di mana Mayor Dedi Hasibuan, seorang anggota TNI, bersama puluhan tentara dari Kodam I Bukit Barisan (Kodam I/BB), menggeruduk Polrestabes Medan.
Kunjungan ini bertujuan meminta penangguhan penahanan untuk tersangka sipil berinisial ARH, yang dituduh terlibat dalam kasus pemalsuan tanda tangan jual beli tanah PTPN di Percut Seituan. Mayor Dedi, saudara ARH, datang sebagai penasihat hukum tersangka.
Kedatangan tentara ini diterima oleh Kompol Teuku Fathir Mustafa, Kasat Reskrim Polrestabes Medan. Sempat terjadi perdebatan sengit, namun polisi akhirnya membebaskan ARH pada malam itu.
Aksi Mayor Dedi mendapat kecaman luas sebagai intervensi dalam proses peradilan yang semestinya menjadi wewenang Polri. Ketua Indonesian Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengecam tindakan ini sebagai intervensi TNI dalam proses penyidikan, yang juga melanggar disiplin militer.
Sugeng meminta Panglima Kodam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Mochammad Hasan, untuk memberikan sanksi pada Mayor Dedi dan tentara yang terlibat.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra berpendapat, kunjungan Mayor Dedi bukanlah upaya koordinasi, melainkan intimidasi yang mengganggu penegakan hukum. Tindakan semacam ini jelas dapat dianggap sebagai bagian dari Obstruction of Justice.
Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, mengecam langkah Mayor Dedi dan menyebutnya sebagai pelanggaran. Dia meminta Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI untuk menindaklanjuti insiden ini.
Direktur Imparsial, Gufron Marbruri dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan, Irvan Saputra juga menuntut tindakan dari Puspom TNI. Keduanya menyatakan tindakan Mayor Dedi melanggar kewenangan TNI.
Solusi Hilangkan Intervensi TNI terhadap Proses Peradilan Polri
Berdasarkan salah satu analisis dalam publikasi The Indonesian Institute, Update Indonesia, Juli 2023, yang ditulis oleh peneliti bidang hukum, Christina Clarissa Intania, Mayor Dedi telah melakukan intimidasi dan melanggar KUHP. Dia juga telah menyalahgunakan wewenangnya yang bertentangan dengan UU TNI mengenai tugas tentara, dan juga UU Advokat.
UU TNI menetapkan, tugas tentara tidak termasuk menjadi penasihat hukum. UU Advokat juga menyatakan bahwa penasihat hukum tidak boleh berstatus pegawai negeri atau pejabat negara, termasuk PNS, anggota TNI, dan Polri.
Meskipun demikian, sanksi dan tindak lanjut atas pelanggaran intervensi dan penyalahgunaan wewenang oleh TNI, yang diatur dalam UU Peradilan Militer, belum diperbaharui sesuai dengan UU TNI yang berlaku saat ini.
Menurutnya, perlu penyelarasan dengan UU TNI dan perubahan UU Peradilan Militer agar TNI juga tunduk pada peradilan umum. Selain itu, sanksi dalam UU Peradilan Militer cenderung lebih longgar untuk anggota TNI.
Dia berharap dengan perubahan UU Peradilan Militer, akuntabilitas TNI bisa terwujud. Ini akan mengarah pada negara yang berdasarkan rule of law, di mana hukum dan penegakannya berlaku untuk semua, tak peduli status di masyarakat.
Melalui dasar hukum yang jelas, Cristina berharap hubungan yang harmonis antara masyarakat sipil dan militer dapat terwujud.
Editor: Umaya khusniah