PARBOABOA, Jakarta - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia dilaporkan mengalami defisit sebesar Rp700 miliar.
Hal ini menandakan bahwa penerimaan negara tidak mampu menutupi total belanja yang dikeluarkan dalam periode tersebut.
Selain itu, defisit tersebut dapat berdampak pada stabilitas ekonomi dan keuangan negara, memicu pertanyaan tentang kebijakan fiskal dan pengelolaan anggaran.
Pada Oktober 2023, APBN mulai menunjukkan defisit setelah mencatat surplus selama 9 bulan berturut-turut.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa defisit APBN hingga akhir Oktober 2023 mencapai 0,003 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski demikian, dari segi keseimbangan primer, tercatat surplus Rp365,4 triliun.
Keseimbangan primer ialah hasil total pendapatan negara dikurangi anggaran belanja negara, di luar pembayaran bunga utang.
Ani, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa defisit APBN per Oktober 2023 disebabkan oleh pendapatan negara yang mencapai Rp2.240,1 triliun, dengan pertumbuhan 2,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), yang telah mencapai 90,9 persen dari target APBN 2023.
Adapun perincian pendapatan negara hingga Oktober 2023 menunjukkan akumulasi sebesar Rp2.240,1 triliun atau 90,9 persen dari target APBN tahun anggaran 2023.
Realisasi pendapatan negara ini meningkat 2,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai Rp2.240,8 triliun atau 73,2 persen dari pagu 2023, mengalami penurunan 4,7 persen dari periode yang sama pada 2022.
Menurut Sri Mulyani, anggaran negara akan terus difokuskan untuk memperkuat produktivitas dan berfungsi sebagai penyangga dalam menghadapi ketidakpastian.
Selain itu, upaya akan terus dilakukan untuk mengoptimalkan belanja negara guna melindungi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, pemerintah memperkirakan, defisit APBN Tahun Anggaran 2023 bisa ditekan hingga mencapai Rp 486,4 triliun atau 2,28 persen dari PDB.
Proyeksi pemerintah untuk defisit APBN 2023 yang sebesar Rp 486,4 triliun atau 2,28 persen dari PDB tersebut lebih rendah dari target yang ditetapkan, yakni sebesar Rp 598,2 triliun atau 2,84 persen dari PDB.
Selanjutnya, proyeksi akhir APBN 2023 diperkirakan, defisit dapat ditekan menjadi Rp 486,4 triliun atau 2,28 persen dari PDB.
Sementara itu, menurut Ekonom Senior DBS Bank, Radhika Rao, perkiraan defisit APBN tetap terjaga, dengan penurunan dibandingkan tahun lalu yang mencapai defisit Rp169,5 triliun secara bulanan (month-to-month/mtm).
"Kami memproyeksikan bahwa defisit fiskal akan lebih kecil dari tahun sebelumnya, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan peminjaman tambahan, termasuk dari sumber internasional," kata Radhika saat dikonfirmasi pada Sabtu (25/11/2023).
Sebelumnya, defisit APBN tercatat sebesar 2,38 persen dari PDB pada tahun 2022, lebih rendah dari target sekitar 4,5 persen.
Menurutnya, kinerja APBN yang solid ini diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2023.
Radhika berpendapat bahwa surplus neraca transaksi berjalan diprediksi masih akan terjadi, meskipun dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan tahun 2022.
Di sisi lain, Radhika memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah akan tetap stabil pada akhir tahun ini, berkisar antara Rp15.300 hingga Rp15.600 per dolar AS, yang didukung oleh intervensi kebijakan dari pemerintah dan Bank Indonesia.
"Proyeksi ini juga akan bergantung pada pergerakan rupiah, dan kami mengharapkan agar dolar tetap sedikit melemah ketika The Fed mencapai puncak suku bunga acuannya," ujarnya.
Ia memperkirakan bahwa bank sentral AS, The Fed, hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada bulan Mei 2023 lalu.
Kenaikan tersebut akan membawa suku bunga acuan Fed Fund Rate ke level 5,25 persen.
Penurunan agresivitas The Fed, menurutnya dipicu oleh penurunan tingkat inflasi di AS dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meskipun tingkat inflasi masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan periode 2018-2019, karena tingkat penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah yang tetap tinggi.
Editor: Wenti Ayu