PARBOABOA - Di tengah gelombang kekhawatiran global terhadap privasi data dan keamanan digital, langkah Amerika Serikat dalam membatasi penggunaan aplikasi populer TikTok mendapat sorotan luas.
Kontroversi ini berawal dari isu kebocoran data yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai cara pengelolaan dan perlindungan data pengguna oleh platform asal Tiongkok tersebut.
Berdasarkan laporan dari The New York Times, pembuat undang-undang dan regulator di berbagai negara Barat telah menyatakan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan ByteDance, perusahaan induk TikTok, membagikan data sensitif penggunanya, termasuk informasi lokasi, ke pemerintah Tiongkok.
Kekhawatiran lain muncul dari potensi Tiongkok yang memanfaatkan algoritma rekomendasi konten TikTok untuk menyebarkan informasi yang salah. Hal ini merupakan sebuah isu yang semakin diperhatikan di Amerika Serikat, khususnya selama konflik antara Israel dan Hamas.
Pada bulan Maret 2024, Komite Energi dan Perdagangan DPR AS mengajukan rancangan undang-undang yang mendesak TikTok untuk memisahkan diri dari perusahaan induknya dalam waktu enam bulan atau menghadapi larangan di Amerika Serikat.
Pemungutan suara penuh di DPR dijadwalkan pada pertengahan bulan tersebut, dan rancangan undang-undang ini telah mendapatkan persetujuan Presiden.
Alfons Tanujaya, seorang pemerhati teknologi, kontributor di lembaga pemerhati internet ID Institute, dan dosen paruh waktu di Universitas Prasetiya Mulya, memberikan pendapatnya mengenai kebijakan Amerika Serikat yang melarang akses ke platform TikTok.
Dia menekankan bahwa China juga memberlakukan pembatasan terhadap layanan populer asal Amerika Serikat, seperti Facebook, Google, Twitter, dan lainnya.
Namun, Alfons menilai bahwa bagi Amerika Serikat, melarang TikTok merupakan tantangan besar, mengingat TikTok telah menjadi pesaing utama di ranah platform digital, khususnya sebagai saingan berat dari Instagram.
"Di ranah digital, secara de facto, layanan media sosial dan digital asal Amerika menghadapi kesulitan yang signifikan akibat pelarangan TikTok, yang menunjukkan persaingan yang intens,” kata Alfons kepada Parboaboa pada Rabu (3/4/2024).
Alfons menjelaskan bahwa secara objektif, harus diakui bahwa negara-negara tidak berhak mengeluh ketika data pengguna layanan digital, yang dikumpulkan secara terpusat di Amerika, digunakan secara bebas.
Dalam konteks ini, TikTok, dianggap sebagai pesaing Instagram yang menunjukkan kompleksitas perdagangan dan politik serta melibatkan pembatasan dari Amerika.
Lebih lanjut, Alfons menduga bahwa kebijakan ini terkait erat dengan dinamika perdagangan dan politik antara kedua negara besar tersebut. Dia juga mengkritik strategi China yang dianggap ekstrem, seperti memaksa penjualan produk dengan harga di bawah modal untuk menarik iklan dan data pengguna.
Misalnya produk ponsel China dalam pasar industri. Dominasi ponsel China di pasar global merupakan hal yang mengejutkan karena ponsel-ponsel tersebut sering dijual dengan harga di bawah modal, menerapkan strategi bisnis yang tidak menguntungkan.
Fenomena ini terjadi karena China menerapkan penjualannya dalam jumlah besar, namun dengan harga merugi. Strategi ini diharapkan dapat memberikan keuntungan melalui ekosistem yang lebih luas, tetapi hal ini menyebabkan pelanggaran privasi pengguna dengan menampilkan iklan secara agresif.
“Saya perhatikan bahwa TikTok menggunakan taktik serupa untuk meningkatkan basis penggunanya, termasuk memberikan insentif finansial, suatu pendekatan yang saya nilai tidak sehat,” pungkasnya lagi.
Mengakui adanya potensi cyber crime, Alfons menyatakan ketidaktahuannya mengenai apakah pemerintah Indonesia akan mengambil langkah serupa dengan Amerika Serikat, terutama karena TikTok telah menjadi platform besar di Indonesia yang digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Apalagi, mengingat sebelumnya tentang larangan fitur TikTok Shop yang merugikan komoditas lokal akibat banjirnya produk impor dengan harga lebih rendah, yang membuat pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk membatasi fitur tersebut.
Namun, kebijakan ini tidak bertahan lama karena TikTok berhasil berkolaborasi dengan Tokopedia, salah satu platform e-commerce terbesar di Indonesia, memungkinkan masyarakat untuk tetap menggunakan fiturnya.
Seperti diketahui, awalnya TikTok tidak diizinkan menjadi platform e-commerce.
Namun, karena pembatasan tersebut, TikTok akhirnya membeli salah satu e-commerce di Indonesia. Menurut Alfons, hal ini secara tidak langsung mengelola big data belanja masyarakat.
“Jadi, dari hanya menjadi media penjualan, TikTok kini memiliki akses ke dua sumber big data." tegasnya.
Untuk mengantisipasi potensi kebocoran data seperti yang dikhawatirkan oleh Amerika Serikat, Alfons berpendapat pentingnya kesadaran untuk membatasi penggunaan platform atau AI yang berpotensi membocorkan data.
Meskipun ini bukan tugas yang mudah, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjadi pusat edukasi agar masyarakat tidak perlu khawatir tentang data mereka.
Ia menambahkan, kesadaran akan keamanan data sangat diperlukan. Pemerintah harus menyadari pentingnya mengimplementasikan regulasi yang efektif, meski pelaksanaannya tidak mudah.
“Pemerintah harus benar-benar memahami cara kerja AI dan pengolahan data. Saya berharap pemerintah dapat menyadari hal ini dan menyesuaikan diri dengan baik" tutupnya.
Editor: Ester