PARBOABOA, Jakarta – Raut lelah tak tampak dari wajah Dewi Sartika, warga RT 14/RW 07 Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur kala ia diminta menceritakan kembali pengalamannya menghadapi banjir, awal Desember kemarin.
“Banjir sudah dua kali. Pertama tinggi satu pintu, kedua tinggi setengah pintu,” katanya kepada Parboaboa.
Sebagai warga yang tinggal di tepian Sungai Ciliwung, Dewi dan warga lain sangat akrab dengan banjir, baik dari hujan lokal yang cukup deras, atau diperparah hujan di Bogor dan sekitarnya.
Bahkan, waktu banjir yang tak bisa ditebak membuatnya semakin terbiasa. Terakhir banjir terjadi pada pukul 3 dini hari dan baru surut pukul 7 pagi.
Perempuan 44 tahun ini juga telah menganggap banjir bagian dari kehidupan mereka. Saking terbiasanya, ia pun tak lagi khawatir jika air di kali mulai naik dan menggenangi rumah mereka.
“Prepare apa aja yang mau diangkat. Jadi udah biasa, udah enggak pakai kaget,” katanya.
Pada 2002 hingga 2007, Dewi bahkan bisa merasakan banjir hingga satu bulan. Di masa itu, banjir sangat parah melanda Jakarta.
Di beberapa lokasi termasuk kediaman Dewi, banjir bahkan menenggelamkan rumah.. Hanya atap saja yang tidak terendam air kala itu.
Dewi dan keluarga terpaksa menginap di kantor kelurahan hingga mengontrak rumah di lokasi yang lebih tinggi demi menghindari banjir.
“Saya enggak sanggup karena harus kerja dan anak saya harus sekolah. Jadi saya ngontrak,” ucapnya.
Hal yang tak kalah paling merepotkan pascabanjir melanda adalah sisa sampah yang terbawa air dan bau tak sedap.
Ia terpaksa membersihkan rumah hingga tiga kali. Tak jarang ia harus menggunakan cairan pembersih lantai untuk mengenyahkan bau sisa lumpur di kediamannya.
“Tiga kali bilas karbol,” ucap Dewi.
Ia merasa beruntung karena anak dan suaminya membantunya bersih-bersih sisa banjir sebelum mereka berangkat sekolah dan bekerja.
Sebagai orang yang terbiasa dengan banjir, Dewi merasa banjir kali ini lebih cepat surut. Ia pun menduga hal itu imbas dari sodetan Ciliwung yang beberapa bagiannya telah diselesaikan pemerintah.
Karena tidak terlalu tinggi, banjir yang terjadi awal bulan lalu hanya berdampak pada 173 kepala keluarga atau 414 warga. Sedangkan banjir-banjir sebelumnya menyebabkan ribuan warga terdampak.
Karena sering menjadi langganan banjir, Dewi dan mayoritas warga di sekitar kediamannya pun telah menambah ketinggian lantai rumah. Dengan begitu, ketika banjir datang, hanya bagian bawah rumah yang terendam, tak lagi keseluruhan seperti yang sudah-sudah.
Dewi sendiri menghabiskan Rp40 juta untuk membangun lantai dua di rumahnya. Ia terpaksa meminjam uang kepada temannya dan mencicilnya Rp3 juta per bulan agar rumahnya terbebas dari genangan air saat hujan deras.
“Saya merasa lebih tenang karena tidak perlu lagi mengungsi,” ungkap dia.
Setelah lantai dua rumahnya jadi, Dewi lantas menempatkan perabotan dan furnitur berbahan dasar plastik di lantai pertama. Sedangkan lemari, dokumen penting dan elektronik, ia letakkan di lantai II.
Dewi hanya berharap pemerintah segera menyelesaikan proyek sodetan Ciliwung, agar banjir tak lagi menghantuinya.
Tak hanya Dewi, ada Sjamgani, warga RT12/RW11 Bidara Cina, yang juga mengeluhkan sisa lumpur banjir.
Pria yang tinggal seorang diri ini selalu merasa kelelahan membersihkan sisa-sisa banjir.
“Capeknya, Mas. Enggak tahan. Anak enggak di sini. Kalau lagi bantuan (saja), kalau enggak, saya sendiri. Naikin, bersih-bersih, waduh mas,” ucap pria 66 tahun ini.
Pria yang sehari-hari berjualan di warung ini telah menetap di Bidara Cina sejak 1978.
Namun, baginya, banjir mulai sering terjadi sejak 1990-1991. Terparah terjadi pada 2007. Ia menggambarkan kawasan tempatnya tinggal tersebut berubah seperti pulau pada saat itu.
Seperti kata Dewi, Sjamgani juga mengatakan, rumah-rumah di sana hanya tersisa atap rumah tahun itu.
“Setelahnya, setiap kali banjir, saya harus mengangkat barang dagangan ke lantai dua terutama minuman kemasan kardus,” ungkapnya.
Namun belakangan ini, Sjamgani mulai mempertanyakan fungsi dari sodetan Ciliwung yang katanya bisa mengurangi banjir, tak hanya di Bidara Cina, tapi juga Jakarta.
Apalagi pada 31 Juli lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan pembangunan sodetan Ciliwung yang telah dibangun sejak 2013.
Sodetan sendiri berupa terowongan sepanjang 1.268 meter dengan 2 jalur pipa masing-masing berdiameter 3,5 meter. Fungsi dari terowongan ini untuk mengalirkan 60 m3/detik debit banjir dari Sungai Ciliwung menuju Kali Cipinang dan Kanal Banjir Timur (KBT).
“Bukan saya marah. Saya nanya sama baju oren (petugas kebersihan). Mas, kok moto-moto doang, itu BKT, Sodetan buat apa? Saya gituin, karena begitu dibuka (pintu air), dia (air) balik lagi,” kesalnya.
Pertanyaan Sjamgani itu lantas dijawab Lurah Bidara Cina, Hartono.
Ia menyebut infrastruktur yang dibangun pemerintah seperti Sodetan Ciliwung dan rumah pompa setidaknya mempercepat waktu surut air yang menggenangi lingkungan dan rumah warga.
“Dibuang lagi ke Ciliwung. Jadi ini Ciliwung, (dan) ini rumah warga. Diloncatin ke sini, itu aja intinya,” ucap Hartono.
Sodetan Ciliwung, diklaim juga bisa mengurangi area terdampak banjir hingga 107 hektare atau 62 persen dari permasalahan banjir Jakarta. Itupun dibantu pembangunan bendungan Ciawi dan Sukamahi serta Kanal Banjir Timur.
Sedangkan 38 persennya, masih menjadi pekerjaan rumah bersama Pemprov DKI dan Kementerian PUPR.
Pada banjir 2022, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), 52,1 persen banjir di Jakarta disebabkan oleh hujan lokal yang disimpulkan dari status siaga pos pantau tinggi muka air. Sisanya karena banjir kiriman, banjir rob dan penyebab lainnya.
Untuk sejumlah wilayah yang masih tergenang, salah satu penyebabnya karena belum selesainya proyek normalisasi yang telah berlangsung sejak tahun 90-an.
Ada dua RW yang normalisasinya masih dalam proses, yaitu RW 11 dan 7. Normalisasi di dua RW masih terkendala pembebasan lahan dan pembangunan pintu air.
Menurut Kepala Satuan Pelaksana Sumber Daya Air di Kecamatan Jatinegara, Robi Triawan, sebagian besar banjir yang menggenangi kawasan Jatinegara merupakan banjir kiriman. Tidak hanya itu, posisi Kali Ciliwung juga lebih tinggi dibandingkan Kali Mati yang berseberangan dengan Bidara Cina.
“Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya arus balik (backwater), sehingga menyebabkan genangan,” jelasnya kepada Parboaboa.
Selain di Bidara Cina, proses normalisasi yang belum selesai juga terjadi di Kelurahan Kampung Melayu.
Di sana, ada 4 RW yaitu RW 4, 5, 7 dan 8 yang belum dilakukan normalisasi. Kondisi tersebut yang membuat banjir di 4 RW hampir mencapai 2 kilometer.
Normalisasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemprov DKI
Masih adanya sejumlah RW di Jakarta yang tak tersentuh proyek normalisasi sungai mendapat sorotan kalangan parlemen.
Salah seorang Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian menilai, Pemprov DKI kurang serius melakukan normalisasi kali, utamanya di daerah yang menjadi langganan banjir seperti Kali Ciliwung.
Meski menjadi proyek Kementerian PUPR, normalisasi Kali Ciliwung juga masih menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKI. Di samping masih ada sungai lainnya di Jakarta yang juga perlu ditangani, seperti Sungai Krukut, Pesanggrahan dan Mookervart.
“Selama zaman Pak Anies normalisasi enggak bisa dilakukan. Maksimal cuma sodetan (Ciliwung) doang, itu pun kecil,” katanya kepada Parboaboa.
Namun Justin tak menampik terhambatnya pembebasan lahan dan status lahan masyarakat menjadi salah satu kendala normalisasi yang tak kunjung selesai.
Normalisasi Sungai Ciliwung direncanakan sepanjang 33 kilometer dan baru selesai dikerjakan 16 kilometer.
Sementara proyek sodetan Ciliwung mulai dikerjakan pada 2013 dan di 2015 tuntas sepanjang 650 meter. Pembangunannya juga sempat terhenti di era Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok karena penolakan warga Bidara Cina di 2015.
Penolakan warga ini berujung pada gugatan warga Bidara Cina kepada Ahok di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akhirnya dimenangkan warga pada 2016.
Di era Gubernur Anies Baswedan, proyek sodetan Ciliwung kembali dilanjutkan sejak 2021 sepanjang 580 meter. Pembangunan itu meliputi terowongan ganda, bangunan permanen inlet dan outlet sodetan serta lanjutan normalisasi Sungai Ciliwung dan Sungai Cipinang.
Selain normalisasi, Justin juga mengingatkan penanganan banjir di Jakarta sangat ditentukan daya tampung air.
Kondisi ini erat kaitannya dengan kesiapan fasilitas jalur air atau drainase yang perlu direvitalisasi. Belum lagi ketidakseimbangan permukaan tanah dan masih banyaknya bangunan liar turut menambah masalah pengelolaan drainase.
“Perlu keseriusan penangan, mengingat geografis Jakarta yang merupakan dataran rendah,” kata politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini.
Justin meminta Dinas Sumber Daya Air memastikan kelancaran drainase, terutama di kecamatan-kecamatan untuk mencegah banjir.
Dilema Normalisasi Ciliwung dan Tata Ruang Jakarta
Peneliti Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah menilai proyek fisik seperti sodetan Ciliwung dapat mempercepat air banjir menuju laut.
Hanya saja, materi sedimentasi yang dibawa aliran sungai ini bisa membuat pendangkalan yang signifikan, terutama di daerah muara.
“Idealnya, air banjir bertahan di sepadan sungai sehingga ada ruang untuk penyerapan menjadi air tanah,” katanya.
Kondisi tersebut, sekaligus memberi penyerapan organisme di sekeliling sungai.
Sementara menurut pengamat tata ruang dari Universitas Trisakti, Marcelinus Nirwan Luru, mitigasi banjir di Jakarta harus dilakukan multidimensi.
Tak hanya soal infrastruktur fisik seperti Sodetan Ciliwung, tapi berbagai jaringan drainase primer, sekunder dan tersier yang kemudian bermuara ke pembuangan utama juga harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI.
“Dengan intensitas hujan yang cukup tinggi, (jika) drainase kurang bagus akan dibuang semua ke Sodetan Kali Ciliwung, ya tentu saja tidak bisa menampung itu semua,” katanya saat dihubungi Parboaboa.
Dosen tata ruang planologi ini juga menilai, pemenuhan alokasi tata ruang menjadi aspek penting pengurangan risiko bencana banjir. Utamanya ruang terbuka hijau.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, alokasi ruang terbuka hijau harus mencapai 30 persen.
“Jakarta baru berhasil mencapai 9,1 persen ruang terbuka hijau setelah usaha panjang,” ungkapnya.
Marcel menyebut salah satu tantangan kota besar adalah keseimbangan fasilitas pendukung permukiman dengan kebutuhan masyarakat.
Aspek lainnya yaitu minimnya keterlibatan masyarakat dalam pemenuhan tata ruang suatu wilayah. Padahal dalam Undang-Undang Penataan Ruang, partisipasi masyarakat turut diatur.
“Dan di Jakarta, masyarakat seringkali menempati ruang-ruang non pemukiman karena tidak mendapatkan pemukiman yang formal,” imbuhnya.
Reporter: Faisal Bachri
Editor: Kurniati