parboaboa

Cak Imin Kembali Diperingatkan soal PKB, Konflik Lama yang Tak Kunjung Selesai

Andy Tandang | Politik | 06-09-2023

Allisa Wahid meminta Cak Imin untuk berhenti menyebarkan narasi yang tidak jujur ke publik. (Foto: Instagram/@allisawahid)

PARBOABOA, Jakarta - Pernyataan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, yang menyebut dirinya dikeluarkan Gus Dur dari PKB membuat Alissa Wahid geram.

Melalui akun X pribadinya @AlissaWahid, putri Presiden ke-4 RI itu meminta Cak Imin untuk berhenti menyebarkan narasi yang tidak jujur ke publik.

Meski pun Alissa mengaku tidak pernah terlibat masuk ke PKB, namun, ia masih mengingat ucapan ayahandanya selama masih hidup.

Kepada Alissa, Gus Dur pernah mengatakan kalau Cak Imin menjadi sosok yang ingin mengambil alih kekuasaan dari PKB. Karena itu, Gus Dur berpesan agar tindakan Cak Imin tidak boleh dibiarkan.

"Imin merebut PKB dan tidak bisa dibiarkan", cuit Alissa dilihat PARBOBOA, Rabu (6/9/2023).

Sebelumnya, dalam wawancara bersama Mata Najwa pada Senin (4/9/2023), Cak Imin menyebut jika dirinya yang dikudeta oleh Gus Dur lalu diberhentikan.

Pernyataan Cak Imin sebagai tanggapan atas sejumlah isu yang kerap muncul ke publik yang menuding dirinya sebagai dalang di balik kudeta Gus Dur. Isu tersebut, demikian Cak Imin, sering diedarkan ketika dirinya terjun ke politik, seperti di Pilpres 2024. 

Cak Imin mengklaim jika dirinya ikhlas tanpa melakukan perlawanan ketika diberhentikan Gus Dur dari ketua umum. Hal tersebut terbukti dengan dirinya yang langsung menyerahkan kepemimpinan kepada Ali Masykur sebagai Wakil Ketua Umum DPP PKB dan Yenny Wahid sebagai Sekjen DPP PKB.

Kilas Balik Konflik Cak Imin dan Gus Dur

Konflik Gus Dur dan Cak Imin tak pernah lepas dari sejarah berdirinya PKB yang muncul di tengah pergolakan politik lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Mengutip laman resmi PKB, sehari setelah peristiwa reformasi terjadi, warga Nahdlatul Ulama (NU) yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air mulai memberikan usulan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk membentuk partai politik (parpol).

Usulan pembentukan parpol ini menjadi salah satu penanda historis setelah sekian lama hidup di bawah dominasi totalitarianisme rezim orde baru yang membatasi pembentukan partai-partai politik baru.

Di antara usulan warga NU itu, salah satu yang paling lengkap ialah berasal dari Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai KH M Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat. 

Meski dibanjiri usulan warga NU untuk segera membentuk partai politik baru, PBNU memilih untuk tidak gegabah dan menanggapinya secara hati-hati. Hal ini tidak terlepas dari hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang secara organisatoris NU tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Pada 3 Juni 1998,  PBNU berinisiatif untuk menggelar Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah. Rapat tersebut menghasilkan keputusan terkait pembentukan Tim Lima yang dimandatkan untuk memenuhi aspirasi warga NU.

Tim yang diketuai Rais Suriyah sekaligus Kordinator Harian PBNU KH, Ma`ruf Amin itu beranggotakan KH M Dawam Anwar yang menjabat sebagai Katib Aam PBNU, Dr KH Said Aqil Siroj, M.A. sebagai Wakil Katib Aam PBNU, HM Rozy Munir,S.E., M.Sc. yang saat itu sebagai Ketua PBNU, dan Ahmad Bagdja yang menjabat Sekretaris Jenderal PBNU.

Tim Lima kemudian mendapat legasi melalui pemberian surat tugas yang dikeluarkan oleh Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada 20 Juni 1998.

Tim Lima juga diperkuat oleh Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi yang saat itu menjabat Wakil Sekjen PBNU. Tim Asistensi ini beranggotakan sepuluh orang, di antaranya H Muhyiddin Arubusman dan H.M. Fachri Thaha Ma`ruf, Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, Drs. Amin Said Husni, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Tugas Tim Asitensi adalah membantu kerja-kerja Tim Lima khusus dalam menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU yang ingin membentuk partai politik baru, sekaligus membantu melahirkan parpol baru yang bisa mewadahi aspirasi politik warga NU.

Tim Lima dan Tim Asistensi kemudian menggelar rapat bersama pada 22 Juni 1998 untuk mengelaborasi kembali tugas-tugas sebagaimana yang sudah dimandatkan. Beberapa hari setelahnya, pada 26-28 Juni 1998, kembali bertemu di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol.

Saat itu, Gus Dur sebagai inisiator pembentukan parpol bagi warga NU, sempat merasa khawatir bahwa dengan pembentukan parpol baru tersebut dinilai dapat menciptakan kesan mencampuradukan agama dan politik partai.

Namun, Gus Dur berubah pikiran hingga pada akhir Juni 1998, ia bersedia menginisiasi kelahiran parpol baru berbasis ahlussunah wal jamaah. Keinginan Gus Dur diperkuat dengan dukungan sejumlah deklarator lainnya, seperti KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH A. Mustofa Bisri dan KH A. Muchith Muzadi. 

Selanjutnya, Tim Asistensi, Tim Lajnah, Tim NU, Tim Asistensi NU, Perwakilan Wilayah, para tokoh pesantren, dan tokoh masyarakat mengadakan musyawarah untuk pembentukan nama partai. Pada 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998, partai baru tersebut resmi dideklarasikan di Jakarta.

Perpecahan PKB, Relasi Makin Memburuk

Perpecahan PKB dimulai sebelum Sidang Khusus MPR yang kemudian diturunkannya Gus Dur sebagai Presiden. Saat itu, anggota PKB sepakat untuk tidak hadir dalam sidang tersebut sebagai bentuk solidaritas partai.

Namun, Ketua PKB Matori Abdul Djalil ngotot hadir lantaran ia adalah Wakil Ketua MPR yang juga harus mengikuti agenda sidang tersebut.

Pada 15 Agustus 2001, Gus Dur kemudian menggeser posisi Matori sebagai Ketua Umum PKB. Matori pun dilarang untuk terlibat dalam aktivitas partai sebelum akhirnya keanggotaan Matori dicabut pada November 2001.

Matori kemudian melakukan perlawanan dengan menggelar Munas Khusus pada 14 Januari 2002 yang dihadiri pendukungnya di PKB. Ia kemudian terpilih kembali sebagai Ketua Umum PKB berdasarkan hasil munas tersebut.

Sehari setelah Munas Matori selesai, pada 17 Januari 2002, Gus Dur menggelar Munas tandingan. Saat itu, Alwi Shihab terpilih sebagai Ketua PKB dan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasihat.

Hal ini yang di kemudian hari membedakan PKB Gus Dur yang dikenal sebagai PKB Kuningan dan PKB Mantori dikenal sebagai PKB Batutulis.

Perpecahan dan gejolak internal partai berlangsung selama beberapa tahun hingga puncaknya pada Muktamar PKB 2005 di Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, Cak Imin terpilih sebagai Ketua Umum yang baru dan Gus Dur ditunjuk sebagai Ketua Dewan Syura PKB. 

Cak Imin berhasil menyingkirkan lawan-lawannya, seperti Mahfud MD, Ali Masykur Moesa, serta Saifullah Yusuf.

Tiga tahun setelah Muktamar Semarang, internal PKB kembali bergejolak. Cak Imin sempat diberhentikan setelah melalui voting dalam rapat gabungan Dewan Syura dan Dewan Tanfidz.

Dalam laporan Majalah Tempo berjudul 'Sejarah yang berulang (2008)', alasan pemberhentian Cak Imin lantaran dinilai Gus Dur banyak melakukan manuver dan bermain mata dengan penguasa.

Apalagi, berhembus kabar Cak Imin bakal menjegal Gus Dur pada Pilpres 2009. Karena itu, Gus Dur mengambil langkah cepat dengan memecat Cak Imin setahun sebelum Pilpres.

Sayangnya, pemecatan terhadap Cak Imin tidak menyelesaikan persoalan. Cak Imin yang merasa tidak melakukan kesalahan menilai pemecatan tersebut cacat aturan. Bersama pendukungnya, Cak Imin kemudian mengajukan gugatan terhadap Gus Dur ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sejak saat itu, relasi Gus Dur dan Cak Imin semakin memburuk. Wacana Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB pun muncul. Kubu Gus Dur menggelar MLB PKB di Parung Bogor dari 30 April hingga 1 Mei, dan sehari setelahnya kubu Cak Imin melaksanakan MLB di Anco, yakni pada 2-4 Mei 2008.

Namun, hasil MLB kedua kubu dinyatakan tidak sah oleh PN Jaksel, karena baik Cak Imin maupun Gus Dur tidak hadir dalam MLB satu sama lain. Kemudian diputuskan kepengurusan PKB kembali pada hasil Muktamar di Semarang 2005.

Di tengah dualisme internal, masing-masing kubu sempat mendaftarkan partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar bisa terlibat sebagai partai peserta Pemilu 2009.

Oleh pengadilan saat itu, PKB pimpinan Cak Imin tetap dinyatakan sebagai PKB yang sah. Putri Gus Dur, Yenny Wahid, berusaha melakukan sejumlah upaya untuk membangkitkan kembali PKB Parung, namun tidak berhasil.

Sementara Gus Dur pada akhirnya memilih untuk tidak melawan, lalu perlahan mulai meninggalkan dunia politik hingga wafat pada 2009. Hingga Saat ini, Cak Imin pun menjabat sebagai Ketua Umum PKB yang sah.


 

Editor : Andy Tandang

Tag : #cak imin    #gus dur    #politik    #pkb    #allisa wahid    #konflik pkb   

BACA JUGA

BERITA TERBARU