PARBOABOA, Jakarta - Siapa sangka, pemasaran kerajinan batik dari Desa Lumpang, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat telah merambah pasar Asia Tenggara, mulai dari Malaysia, Singapura hingga Thailand. Omzetnya pun tak tanggung-tanggung, Rp50 juta setiap bulannya.
Menurut pemilik kerajinan batik Desa Lumpang, Koh Athiyong, dirinya mulai merintis usaha milik orang tuanya itu sejak 2010.
"Saya sih ini meneruskan bisnis orang tua saya. Sejak 2010 saya mulai belajar. Namun Tahun 2013 saya mulai fokus sampai sekarang. Intinya kalau berbisnis itu harus sabar dan tekun, pasti tuhan berikan jalan," katanya kepada PARBOABOA, Sabtu (19/08/2023) siang.
Athiyong mengaku usahanya ini telah merambah seluruh provinsi di Indonesia. Ia juga telah mencetak lebih kurang 50 motif kain batik untuk dijual. Harga jualnya pun berbeda-beda, mulai Rp400 ribu hingga Rp1,8 juta, tergantung motif.
"Saya jual itu harga grosiran dan lusinan. Harga Rp400 ribu hingga Rp1,8 juta, tergantung motif, karena motif bagus pasti mahal," ungkapnya.
Athiong hanya berharap usahanya bisa kembali normal, apalagi setelah pandemi, persaingan harga batik di Asia semakin kompetitif.
"Harapan saya sih bisnis ini bisa normal lagi ya. Saat ini harga jual baju yang bermotif itu mereka (pembeli) tidak mau beli di kita dan memilih membelinya di negara lain, dan baju bekas impor juga berpengaruh karena dijualnya hanya Rp25 ribu hingga Rp35 ribu. Sedangkan di kita dijualnya Rp65 ribu setiap daster. Jadi kita sudah kalah harga," jelas Athiyong.
Sementara ketika disinggung mengenai izin lingkungan produksi batik miliknya, Athiong mengaku saat ini tengah proses penyelesaian di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor.
"Silahkan cek saja ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, izinnya masih terus berjalan ya. Lagipula limbah batiknya ini sudah tidak dibuang ke sungai yang dipakai masyarakat, kita sudah punya tempat sendiri," katanya.
Saat ini, jumlah pegawai Athiong mencapai 40 orang. Seluruhnya berasal dari Desa Lumpang.
Salah seorang pegawai, Aef mengaku dirinya bisa menghidupi keluarganya setelah bekerja di pabrik batik milik Athiong.
"Alhamdulillah ya, dengan adanya kain batik ini saya bisa menyambung hidup bersama keluarga saya. Saya ini karyawan terlama di sini. Sejak berdiri hingga saat ini saya masih ada, kurang lebih sudah 20 tahun ya," katanya kepada PARBOABOA.
Aef lantas menceritakan suka duka bekerja di pabrik batik.
"Saya pernah kena besi dan air batik yang panas, hingga tangan saya melepuh robek, tapi saya tidak masalahkan karena ini adalah pekerjaan jadi nikmati dan syukuri saja," katanya.
Sementara karyawan lainnya, Aceng berharap keluarganya bisa sejahtera setelah bekerja di pabrik batik milik Athiong. Apalagi produksi batik telah merambah pasar luar negeri.
"Harapan saya bisa sejahtera terus ya, saya dan keluarga saya di sini dan semoga usaha ini terus laris sampai Eropa," harapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Ade Yana, membenarkan izin limbah batik masih berjalan.
"Izin limbah batik itu masih proses ya, pengajuan sudah masuk awal tahun untuk pengelolaan limbah, nanti kedepannya akan ada Pak Kabid dan jajarannya untuk cek pengelolaan limbah batik ini," katanya saat dihubungi PARBOABOA lewat sambungan telepon.
Namun, Ade Yana tidak merinci apa saja masalah terkait limbah batik dan memilih tidak merespons kembali panggilan PARBOABOA.
Editor: Kurniati