PARBOABOA, Jakarta - Kemacetan masih mendera Ibu Kota Jakarta di usianya ke 496 tahun. Macet menjadi bagian dari keseharian warga DKI Jakarta setiap hari. Tidak hanya di hari kerja, di akhir pekan pun, kemacetan masih terjadi, terutama menuju pusat-pusat perbelanjaan.
Menyikapi fenomena yang masih belum mendapat jalan keluarnya ini, Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menilai target memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum masih belum berhasil kendati jumlah armada dan cakupan layanan Transjakarta semakin meningkat setiap tahun.
"Kemacetan karena kendaraan pribadi sebesar 52,9 persen dan akses transportasi publik hanya 21,3 persen menjadi persoalan yang harus diselesaikan Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono," kata Djoko dalam keterangan yang diterima Parboaboa, Selasa (20/6/2023).
Selain itu, pertumbuhan penduduk yang pesat di Jakarta menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 60 persen penduduk bergantung pada kendaraan pribadi juga menjadi penyumbang kemacetan di provinsi itu.
Penyumbang kemacetan lainnya, lanjut Djoko, yaitu perbaikan layanan angkutan umum di Jakarta yang tidak diikuti daerah penyangganya. Apalagi dalam mengatasi kemacetan, DKI Jakarta tidak bisa sendiri. Provinsi itu memerlukan mitra pendukung untuk mengurai kemacetan yang disumbang wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
"Baru dua daerah yang memiliki angkatan umum yaitu Kota Bogor dan Kota Tangerang. Dan itu sebenarnya sudah berjalan di masa BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek). Sebelum pandemi, BPTJ selalu mampu memberikan dukungan dalam bentuk rekomendasi yang berdasarkan bukti (based on evidence) dan juga pengkondisian opini publik," jelas dia.
Yang kembali dikerjakan DKI Jakarta di antaranya Transjakarta sudah mengoperasionalkan layanan Transportasi ke Bekasi dan ke wilayah tetangga lainnya, imbuh Djoko.
Pemprov Jakarta Harus Segera Atasi Kemacetan
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno juga menilai strategi Pemprov DKI lewat pola transportasi makro (PTM) dengan menggabungkan semua jenis moda transportasi dalam satu perencanaan yang utuh dan berkelanjutan sudah cukup baik.
"Hal ini merupakan jawaban dari kekakuan perundangan sektor perhubungan yang mengamanatkan perencanaan transportasi terbatas hanya berdasarkan masing-masing moda, angkutan jalan, rel dan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, pola transportasi makro menjadi dasar Pemprov DKI Jakarta membangun transportasi dalam sistem yang komprehensif. Bahkan dari PTM, muncul beberapa Peraturan Daerah (Perda) yaitu Nomor 14 Tahun 2005 tentang Transportasi, Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Perda Nomor 10 Tahun 2014 tentang Bus Rapid Transit.
"Di samping itu, masyarakat yang beraktivitas di Jakarta tidak hanya warga Jakarta, namun warga Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) sebagai daerah penyangga Ibu Kota Jakarta," tambah Djoko.
Sementara itu, salah seorang penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta, Dita Kartika mengaku tidak nyaman naik kendaraan umum di Ibu Kota. Apalagi tidak ada kendaraan umum yang mumpuni dari rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara ke kantornya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Bagi saya, beralih-alih kendaraan umum sangat merepotkan, terutama di jam-jam padat kendaraan. Belum lagi harus berdesak-desakan di kendaraan umum. Sangat melelahkan," katanya kepada Parboaboa, Selasa (20/6/2023).
Pengguna kendaraan pribadi lainnya, Elise juga mengaku lebih nyaman menggunakan sepeda motor karena lebih praktis dibandingkan harus naik angkutan umum.
"Di daerah saya, kendaraan penghubung seperti JakLingko masih belum ada. Sehingga lebih sulit menggunakan transportasi umum. Lebih enak naik ojek atau motor sendiri," katanya.
Di sisi lain, kemacetan di DKI Jakarta menjadi salah satu penyumbang utama pencemaran kualitas udara termasuk di Jakarta. Bahkan berdasarkan air quality index atau indeks kualitas udara yang diukur oleh IQair menunjukkan kualitas udara di Jakarta hari ini berada di angka 154, atau masuk kategori tidak sehat.
Sementara konsentrasi polutan PM2.5 di Ibu Kota hari ini sebesar 11,6 kali dari nilai panduan kualitas udara tahunan yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dengan kategori udara Jakarta yang sangat tidak sehat itu, IQair menyarankan masyarakat agar mengenakan masker saat di luar ruangan atau menghindari aktivitas di luar ruangan. Termasuk menutup jendela rumah untuk menghindari masuknya udara luar yang kotor dan menyalakan penyaring udara.