PARBOABOA, Jakarta - Penurunan angka kemiskinan di Indonesia tampaknya belum memberikan hasil optimal selama satu dekade terakhir.
Diketahui sebelumnya, Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menetapkan target ambisius dalam mengurangi angka kemiskinan menjadi 7-8% pada masa jabatan pertama dan 6,5-7,5% pada periode kedua.
Namun, hingga Maret 2024, target ini masih 'jauh panggang dari api'. Data menunjukkan angka kemiskinan tercatat sebesar 9,03% dari total populasi 279 juta, atau sekitar 25,22 juta orang.
Kemiskinan di Indonesia hanya berkurang sebesar 2,22 poin, dari 11,25% pada Maret 2014 menjadi 9,03% pada Maret 2024. Angka ini menunjukkan perlunya kerja ekstra untuk mencapai target 7,5%.
Meski tren kemiskinan menurun dibandingkan dengan Maret 2023 yang mencapai 25,90 juta penduduk atau 9,36%, tetapi upaya pencapaian target masih terkendala oleh beberapa faktor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat garis kemiskinan pada Maret 2024 berada di angka Rp582.932 per kapita per bulan. Angka ini terdiri dari Rp433.906 untuk kebutuhan makanan dan Rp149.026 untuk kebutuhan non-makanan.
Pada bulan yang sama, rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,78 anggota dengan garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp2.786.415 per bulan.
Jumlah penduduk miskin sempat meningkat selama pandemi, naik dari 25,14 juta pada Maret 2019 menjadi 27,54 juta pada September 2020, sebelum akhirnya menurun kembali.
Peningkatan angka kemiskinan di Indonesia disebabkan sejumlah faktor. Akses pekerjaan yang terbatas dan mahalnya kebutuhan pokok menjadi dua alasan kunci.
Survei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2024 lalu tentang kemiskinan di Kota Jakarta mempertegas tesis tersebut.
Mayoritas responden menyatakan bahwa tingginya harga kebutuhan pokok (24%) dan kesulitan mencari pekerjaan (18%) menjadi tantangan utama yang mereka hadapi.
Kondisi ini semakin terasa bagi mereka yang kurang memiliki modal sumber daya manusia atau yang usianya tak lagi produktif, seperti dialami oleh Siti (47), seorang tunawisma.
“Cari kerja sulit, saya kan hanya tamatan SMP doang. Mata saya juga sudah buta kan, udah remang-remang,” keluh Siti kepada PARBOABOA Kamis (29/10/2024) lalu.
Di kalangan generasi muda, keterbatasan akses terhadap lapangan kerja terus membayangi generasi muda, termasuk mereka yang baru lulus sekolah atau kuliah.
“Pernah coba melamar kerja, tapi selalu ditolak. Sekarang tinggal di jalanan saja,” pungkas Rudy (17), anak semata wayang Siti yang kini mengikuti jejak ibunya sebagai pengemis.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 3.618.300 individu dalam kelompok usia Gen Z (15-24 tahun) terdaftar sebagai pengangguran.
Secara rinci, kelompok usia 15-19 tahun tercatat sebanyak 1.034.119 penganggur. Sementara untuk usia 20-24 tahun, angka pengangguran mencapai 2.584.181 orang.
Persoalan Bansos
Meski anggaran bantuan sosial (bansos) telah meningkat dalam APBN 2024 menjadi Rp152,30 triliun, atau naik dari Rp143,57 triliun pada 2023, dampaknya dinilai belum maksimal.
Hingga Mei 2024, realisasi anggaran bansos mencapai Rp70,5 triliun, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan publik luas.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa dana bansos yang besar seharusnya menghasilkan penurunan kemiskinan yang signifikan.
Namun, pendistribusian yang belum tepat sasar menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya program bansos.
“Harusnya semakin besar anggaran bansos, kemiskinan bisa lebih menurun secara signifikan,” ujar Bhima, Senin (01/07/2024) lalu.
Masalah lain adalah kurangnya koordinasi dalam pendistribusian bansos yang kadang salah sasaran, bahkan hingga melibatkan Eselon I Bappenas sebagai penerima.
Selain itu, kenaikan bansos yang cenderung mendadak pada 2023, jelang Pemilihan Umum, menunjukkan indikasi bahwa faktor politis bisa memengaruhi penyaluran bantuan tersebut.
Bhima juga menyoroti perlunya keterkaitan bansos dengan program produktivitas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin secara berkelanjutan.
"Sebagian besar penerima bansos bekerja di sektor pertanian, yang sebenarnya perlu dukungan agar tidak kembali mengalami kemiskinan setelah bantuan berhenti," jelasnya.
Lebih lanjut, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menegaskan agar pemerintah perlu menggunakan pendekatan yang lebih inovatif dalam mengurangi angka kemiskinan.
Ia menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pemerintah pusat, serta mengoptimalkan program bansos melalui pembaruan data yang akurat.
Yusuf bilang bahwa upaya ini sebaiknya diimbangi peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan membuka lebih banyak peluang di sektor formal, agar masyarakat miskin memiliki pendapat tetap.
Pendapat lain disampaikan Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal yang menyarankan perubahan fokus anggaran dari bansos ke program pemberdayaan yang lebih berkelanjutan.
Dengan pendekatan ini, bantuan pemerintah bisa berdampak lebih panjang dan efektif dalam mengurangi kemiskinan tanpa harus meningkatkan anggaran setiap tahun.
"Program-program untuk mengatasi kemiskinan yang tersebar di berbagai kementerian sebaiknya diintegrasikan agar efisien," kata Faisal.
Selain optimalisasi bansos, stabilisasi harga pangan perlu menjadi perhatian utama. Inflasi pada harga pangan akan berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, penyaluran bansos juga harus tepat sasaran, salah satunya melalui pembaruan data penerima secara berkala agar dapat menyentuh masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Hal ini juga disampaikan Mantan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang meminta semua pihak terkait untuk meningkatkan kualitas implementasi program-program pengentasan kemiskinan.
Ma'ruf menyarankan agar program bansos mempertimbangkan tingkat harga di setiap daerah, sehingga besarannya dapat disesuaikan untuk menutupi kebutuhan yang berbeda-beda.
Ia juga meminta agar validasi data penerima bansos dilakukan dengan akurat menggunakan Data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Review Kebijakan
Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program dan kebijakan yang bertujuan memberdayakan masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan.
Selain bansos, pemerintah menyediakan akses seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan Kredit Usaha Kecil (KUK).
Program-program tersebut ditujukan untuk memperkuat perekonomian masyarakat kecil dan meningkatkan kemandirian mereka.
Program pengentasan lain yang cukup signifikan adalah Instruksi Presiden Desa Tertinggal (IDT) yang mencakup sepertiga dari desa di seluruh Indonesia.
Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, pemerintah bahkan mewajibkan BUMN untuk mengalokasikan 1-5% dari labanya guna pembinaan usaha kecil dan koperasi untuk memperkuat sektor ekonomi mikro.
Pemerintah pun mengimplementasikan berbagai inisiatif pemberdayaan, seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan Program Pembangunan Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).
Lebih lanjut, pada tahun 2002 lalu, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 124/2001, yang kemudian diperkuat oleh Keppres No. 8/2002 dan No. 34/2002.
Komite ini melibatkan berbagai pihak, antara lain akademisi, LSM, pelaku usaha, lembaga keuangan, dan organisasi masyarakat, dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat sebagai landasan untuk pengentasan kemiskinan.
Namun, di balik upaya-upaya tersebut, beberapa pertanyaan penting muncul: seberapa efektif kebijakan-kebijakan ini dalam mengurangi angka kemiskinan secara berkelanjutan? Mengapa dampaknya sering kali belum mencapai harapan?
Erwan Agus Purwanto (2007) dalam risetnya mengungkapkan salah satu penyebab adalah kurangnya upaya mendorong kemandirian dalam implementasi program-program pemerintah.
Banyak program yang memberikan bantuan ke masyarakat miskin, namun tidak disertai pelatihan dan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana memanfaatkan bantuan secara produktif.
Akibatnya, banyak bantuan yang hanya memenuhi kebutuhan konsumtif, tanpa menghasilkan dampak ekonomi yang berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya panduan dan dukungan untuk pemanfaatan produktif, bantuan hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak menjawab persoalan kemiskinan.
Serupa, Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), Guntoro Gugun Muhammad, menyampaikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, masih belum menunjukkan hasil yang efektif.
Gugun menilai bahwa program dan kebijakan yang ada belum berhasil menyasar pada akar permasalahan kemiskinan secara mendalam, sehingga dampaknya bagi masyarakat miskin menjadi kurang signifikan.
Ia menyoroti bahwa pendekatan karitatif dalam program penanggulangan kemiskinan, seperti pemberian bantuan sembako cenderung konsumtif dan kontra produktif.
Menurut Gugun, bantuan semacam ini hanya menciptakan ketergantungan di kalangan masyarakat miskin tanpa memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan potensi untuk kemandirian ekonomi.
“Memberikan sembako hanya membuat mereka bergantung, tanpa adanya alat produksi atau dukungan untuk memulai usaha. Ini justru menghina, bukan solusi,” tegas Gugun.
Dia mengusulkan agar pendekatan bansos dikaji ulang dan diubah dengan kebijakan yang lebih struktural, yang berfokus pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas individu.
Untuk mengatasi kemiskinan secara berkelanjutan, ungkapnya, kebijakan yang mendukung peningkatan sumber daya manusia dan penguatan sektor pendidikan harus menjadi prioritas utama.
Pendekatan yang mengutamakan pemberdayaan akan lebih efektif dalam menciptakan masyarakat yang mandiri dan mampu keluar dari garis kemiskinan.
Bantuan pemerintah perlu difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang dan memberdayakan mereka secara menyeluruh.
Di samping itu, dalam upaya mencapai target penurunan kemiskinan, kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan berbagai kementerian serta lembaga sangatlah penting.
Sebab, pengentasan kemiskinan tidak cukup dengan pemberian bansos semata, tetapi memerlukan program yang berkelanjutan serta didukung kebijakan stabilisasi harga dan penciptaan lapangan kerja.