parboaboa

Picu Bencana, Masyarakat Minta Hentikan Pendanaan Tiongkok untuk Tambang PT DPM di Sumut

Gregorius Agung | Nasional | 13-06-2024

Aksi tolak pendanaan Tiongkok untuk tambang DPM di Jakarta, Selasa (11/6/2024). (Foto: Dokumen JATAM)

PARBOABOA, Jakarta - Perwakilan masyarakat Sumatra Utara (Sumut) bersama organisasi masyarakat sipil peduli lingkungan, meminta agar menyetop pendanaan Tiongkok untuk kelanjutan proyek pertambangan Dairi Prima Mineral (DPM).

Pasalnya rencana pertambangan seng dan timbal di dekat Parongil, Kabupaten Dairi, Sumut ini berpotensi menimbulkan resiko berat bagi desa-desa dan lingkungan sekitar.

Saat ini, masyarakat yang terancam mempertanyakan Persetujuan Lingkungan yang diberikan kepada perusahaan tambang dan kasusnya sekarang ada di Mahkamah Agung (MA).

Namun begitu, di tengah sengkarut hukum tersebut perusahaan tetap berencana memberi pinjaman senilai 245 juta USD ke DPM untuk menggerakkan proyek.

Ketidakberesan inilah yang menggerakan masyarakat mendatangi Kedutaan Tiongkok, Selasa (11/6/2024). Mereka menuntut agar otoritas setempat menghentikan dukungan lewat penyaluran dana.

Tak hanya itu, masyarakat juga mendatangi Gedung MA mendesak Mahkamah agar segera mempercepat proses hukum dugaan perbuatan melawan hukum izin lingkungan oleh perusahaan.

Yang mengherankan rencana pengucuran dana tersebut di atas diumumkan setelah pakar keselamatan tambang internasional mengonfirmasi bahwa proyek DPM menimbulkan risiko berat bagi masyarakat dan lingkungan.

Salah satu resiko paling rentan adalah runtuhnya bendungan tailing yang akan dibangun - dan jika ini terjadi, banjir yang membawa jutaan ton limbah tambang yang beracun akan merenggut nyawa banyak penduduk desa yang tinggal di hilir.

Lebih memprihatinkan, pada Agustus 2022, meskipun mengetahui bahayanya tambang, KLHK Indonesia tetap memberikan proyek ini Persetujuan Lingkungan. 

Masyarakat lalu mempersoalkan ini ke PTUN Jakarta. Pengadilan berpihak kepada pengadu, yaitu masyarakat dan memutuskan agar Persetujuan Lingkungan tersebut dibatalkan. 

Bahkan pengadilan mengakui area tersebut tidak cocok untuk tambang karena rawan bencana. DPM dan Kementerian lalu mengajukan banding ke PT TUN. 

Keputusan banding dimenangkan oleh DPM dan Kementerian. Tak puas, masyarakat pengadu telah dan sedang mengajukan peninjauan ke MA.

Rainim Purba, salah satu pihak pengadu dari Desa Pandianagn menyayangkan Persetujuan Lingkungan yang diberikan. Ia heran perusahaan yang dikendalikan oleh Tiongkok setuju mendanai proyek yang membawa bencana dan kasus hukumnya masih berjalan.

"Mungkin mereka tidak pernah diberitahu mengenai risiko-risikonya," kata Rainim.

Karena itu, ia mengutuk keras pendanaan tambang DPM sekaligus mengutuk keras Persetujuan Lingkungan yang diberikan oleh KLHK.

"Seolah kedua pemerintah, Indonesia dan Tiongkok tidak peduli dengan rakyat ataupun lingkungan," tegasnya.

Rainim mengingatkan, jika mereka tetap kekeh dengan rencana proyek pertambangan yang membahayakan warga, pihaknya akan terus melawan.

"Tidak ada pilihan. Hidup, mata pencaharian kami dan budaya adat kami terancam bahaya. Kami ingin para pemodal berhenti mendanai tambang yang berbahaya ini." 

Mangatur Lumbantoruan, warga masyarakat yang tinggal di Desa Sumbari juga mengutuk pemaksaan proyek pertambangan DPM karena bisa merenggut nyawa.

Kata dia, seluruh permukaan tanah di daerah itu tidak stabil sehingga tidak cocok untuk pertambangan.  

Mangatur heran lalu berkata, "mengapa lembaga negara Tiongkok ini mendanai sesuatu yang akan membunuh kita?"

"Yang bahkan tak akan diizinkan di Tiongkok sendiri!" tambahnya. 

Ia mengatakan belum ada kata terlambat. Mungkin saja Pemerintah Tiongkok kekurangan informasi, maka sudah saatnya untuk segera menarik dukungannya dalam bentuk pendanaan. 

Sementara itu, BAKUMSU, LSM yang membantu komunitas untuk masalah hukum mengingatkan runtuhnya bendungan tailing di Barzil pada tahun 2015 yang mengakibatkan hilangnya 272 nyawa dan hancurnya desa-desa karena teracuni oleh air sungai.

Terkait rencana pertambangan di Parongil, Direktur BKUMSU, Tongam Panggabean mengakui pihaknya mendapat informasi dari pakar bahwa potensi kerusakannya akan sama seperti yang terjadi di Brazil.  

"Jujur, saya terkejut lembaga pemerintah Tiongkok bisa ada di balik proyek DPM. Sungguh tidak ada manfaatnya," kata Tongam.  

Sementara itu, Muhammad Jamil dari JATAM mengatakan, ada ribuan orang di Dairi dan Aceh yang dapat terkena dampak negatif dari tambang DPM. 

Pembiayaan dan persetujuan yang diberikan untuk proyek pertambangan kata dia, turut menyumbang bencana yang terjadi di seluruh Indonesia. 

Masyarakat tegas Jamil "tidak seharusnya menjadi korban dari keputusan finansial yang dilakukan secara gegabah." 

Dalam aksi yang berbeda di depan MA, perwakilan masyarakat mendesak mahkamah/pengadilan agar mempercepat proses kasasi menentang penerbitan persetujuan lingkungan oleh pemerintah Indonesia untuk DPM.

Mereka juga meminta agar mahkamah/pengadilan memberikan pesan yang jelas bahwa persetujuan tersebut merupakan kesalahan dan dibatalkan. 

"Adalah konyol kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan persetujuan lingkungan kepada DPM," kata Rainim Purba.

Mandat KLHK kata dia  adalah melindungi rakyat dan lingkungan. Bukan justru mendukung tambang yang berbahaya yang berpeluang membunuh warga dan meracuni lingkungan. 

"Kami butuh MA untuk mengakhiri ini, dan melakukannya segera," tambah Rainim. 

Dr. Steve Emerman, konsultan lingkungan untuk tambang dengan pengalaman 40 tahun, dan yang telah meninjau rencana DPM tambang memprediksi terjadinya malapetaka jika pertambangan tetap dilanjutkan. 

Di seluruh dunia tegas Steve, bencana tambang terjadi, khususnya ketika berhadapan dengan tata kelola yang buruk. Karena itu penting bagi pengadilan berperan memastikan pemerintah melindungi rakyat dan lingkungan. 

"Sebelumnya telah saya sampaikan, tambang DPM yang diusulkan adalah kasus paling parah yang pernah saya temui," kata Dr. Steve.

Gamblangnya, demikian ia menambahkan, ketidakpedulian mereka akan nyawa manusia dan lingkungan sangat mengejutkan. Ia juga memprediksi jika DPM diperbolehkan untuk melanjutkan pertambangan, semua perusahaan manufaktur yang mencari mineral untuk transisi energi bersih akan angkat kaki dari Indonesia.

Kasus DPM, tambahnya, adalah penguji akan signifikansinya kasus ini pada skala internasional. Jika sebuah tambang yang jelas-jelas mengakibatkan bencana tetap diizinkan maka tidak ada gunanya klaim "bahwa Indonesia dapat membantu dunia dalam transisi energi bersih."

MA kata dia, perlu mendukung PTUN Jakarta "bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan gagal menjalankan tanggung jawab mereka menerapkan tata kelola yang baik. 

Pada 27 April 2024 lalu, China Nonferrous Metal Industry's Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC), perusahaan induk Dairi Prima Minerals (DPM), mengatakan Carren Holdings Corporation Limited akan meminjamkan 245 juta USD kepada DPM. 

Perusahaan ini terdaftar di Hong Kong dan dimiliki oleh CNIC Corporation Limited, sebuah Corporation yang dikuasai oleh China's State Administration of Foreign Exchange (SAFE).

Editor : Gregorius Agung

Tag : #Tambang DPM    #Sumut    #Nasional    #Talok Tambang    #Pendanaan Tambang    #Tiongkok    #JATAM    #Izin Tambang   

BACA JUGA

BERITA TERBARU