parboaboa

Medan Terjal Disabilitas Mencari Kerja: Dibekap Stigma dan Regulasi Tak Bertaji

TIM Parboaboa | Liputan Unggulan | 29-12-2023

Ilustrasi penyandang disabilitas yang berusaha mencari pekerjaan. (Foto: Istockphoto/Yulia Sutyagina)

PARBOABOA - "Sebentar ya, lagi ngisi formulir CPNS (calon pegawai negeri sipil)," ujar perempuan itu dengan ramah.

Jemari tanganya lantas meraba-raba meja kayu berkelir cokelat untuk menjangkau ponsel pintar. 

Kemudian ia kembali tenggelam dalam kesibukan dengan layar gawai yang jarak ke mata kirinya tak sampai sejengkal. 

Namanya Dian Hendriany, seorang tunanetra kategori low vision berusia 32 tahun. Penglihatan Dian tidak awas. 

Mata kanannya tidak bisa melihat. Sementara mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Ia harus mendekatkan objek ke mata kiri tiap kali ingin membaca.   

Parboaboa bersua dengan Dian dan suaminya di sebuah kafe di Bilangan Jakarta Selatan, medio Desember lalu.

Dalam obrolan kami, Dian banyak bercerita tentang mimpi-mimpinya, juga kenyataan yang harus dihadapinya sebagai disabilitas. 

Dian seorang sarjana psikologi jebolan salah satu kampus swasta di Jakarta. Lulus tahun 2014, ia bercita-cita menjadi konsultan atau bekerja di bidang yang berhubungan dengan manajemen sumber daya manusia. 

Dengan latar belakang pendidikan di bangku kuliah, ia cukup punya kualifikasi.  

"Tapi, gimana?," katanya, "Sesusah itu ternyata kan, sampai sekarang pun juga masih enggak dapat pekerjaan yang formal."

Dian Hendriany, perempuan tunanetra low vision. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Sembilan tahun terakhir, ia sudah melamar ke mana-mana. Dari lowongan di situs pencari kerja, media sosial, hingga job fair sudah dijajal. Hasilnya sama saja: nihil. 

Dian sadar, keterbatasan penglihatan menjadi kendala utama untuk diterima perekrut. Segelintir perusahaan memang mencari pekerja disabilitas. 

Akan tetapi rata-rata peluang tersebut dibatasi untuk kelompok disabilitas tunadaksa, tunarungu, atau tuli. Dian pernah berusaha melamar CPNS di beberapa kementerian. 

Namun jalur disabilitas tunanetra hanya diperuntukan bagi penyandang kebutaan penuh. 

"Masa saya harus butain mata (kiri) saya dulu biar dapet CPNS?" kalimat itu meluncur dengan nada getir. 

Kondisi fisik dengan low vision menempatkan Dian di posisi yang serbasalah. Tidak mungkin dia melamar di jalur umum. 

Sementara bila melamar di jalur tunanetra, dia pun tidak buta sepenuhnya. Dian sebenarnya sudah tak mau berharap banyak untuk bekerja di sektor formal. 

Apalagi usianya yang sudah kepala tiga tergolong tidak muda lagi. Kebanyakan lowongan mensyaratkan usia maksimal 25 tahun. 

"Tapi kalau kita enggak coba, nanti dikira orang jadi disabilitas males amat, sih, enggak mau berusaha," ujarnya. 

Hambatan disabilitas terjun ke dunia kerja juga dialami Wahyu Prasetya (27). Ia lulusan sarjana desain interior dari Universitas Bina Nusantara (Binus) tahun 2019. 

Titel tersebut tak lantas membuatnya bisa menatap dunia kerja dengan mudah. September lalu, pria yang tuli sejak lahir itu gagal di proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) salah satu kementerian.

"Ada satu surat yang gagal yaitu surat keterangan disabilitas, saya tidak tahu di mana salahnya," ucap Wahyu. 

Ia merasa sudah memenuhi semua persyaratan yang diminta. Pengalaman mengecewakan lain juga pernah ia alami pada 2021. 

Ia melamar di sebuah perusahaan teknologi keuangan terkemuka. Sempat mendapat panggilan wawancara, tiba-tiba tidak ada lagi kabar lanjutan. 

"Aku nanya di WhatsApp, 'jadi tidak?' enggak dibalas," tutur Wahyu.

Dian dan Wahyu hanya dua dari sekian banyak angkatan kerja dari kalangan disabilitas yang belum bisa menikmati kesempatan layak untuk mendapat mata pencaharian. 

Payung hukum berumur tujuh tahun dalam wujud Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas seperti tak bertaji.

Pasal 53 beleid tersebut, misalnya, mengamanatkan pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD wajib mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2 persen. Sementara sektor swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen.

Pekerja disabilitas yang bekerja di sektor formal, berdasarkan perkiraan kasar Kementerian Tenaga Kerja, berjumlah 71.928 orang atau 9,98 persen dari total disabilitas usia kerja yang mencapai 720 ribuan.

Sementara 90,02 persen sisanya bekerja di sektor informal. Angka-angka tersebut didapat dari hasil ekstrapolasi data Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2022 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik. 

Trennya, masih berdasarkan perkiraan Kemenaker, menunjukkan sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya. Pekerja disabilitas di sektor formal pada 2021 berjumlah 29.681 orang atau 10,71 persen. Sisanya berkecimpung di sektor informal sebanyak 247.337 orang.

Klaim-klaim itu sekilas tampak menggembirakan. Namun kenyataan masih berjarak dari data statistik. Di DKI Jakarta saja, hanya 562 disabilitas yang terserap sektor formal. 

Hal itu disampaikan Taufik, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, dalam sebuah forum diskusi beberapa waktu lalu. 

Adapun porsi serapan tenaga kerja disabilitas terbesar masih dipegang instansi pemerintah. Di lingkungan pemprov DKI, 33 organisasi perangkat daerah telah mempekerjakan 425 pekerja disabilitas.

Sisanya, 15 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mempekerjakan 66 orang dan 18 perusahaan mempekerjakan 71 orang. 

Jumlah itu relatif kecil dibanding perusahaan swasta di Jakarta, yang kata Taufik, "Di atas 200 ribu.” Pemprov DKI, lanjut dia, hanya memberikan imbauan kepada perusahaan yang belum melibatkan kelompok disabilitas dalam usahanya. . 

Taufik, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Itu yang terjadi di DKI Jakarta, ibu kota negara sekaligus pusat perekonomian yang punya Perda nomor 4 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. 

Bila di Jakarta saja angkanya belum signifikan, bagaimana pula dengan kondisi di daerah lain? 

Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kemnaker, mengakui tidak ada sanksi bagi perusahaan yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. 

"Implementasi dan penegakan UU tersebut dapat berbeda-beda di setiap perusahaan dan wilayah," katanya.

Kalau dari penuturan Deka Kurniawan, Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas, kontribusi sektor swasta dalam menyerap tenaga kerja disabilitas memang sangat minim. 

"Masih sangat jauh sekali, mungkin nol koma sekian persen gitu," ungkapnya. 

Ia mengibaratkan kondisi tersebut seperti fenomena gunung es. Tidak semua masalah di lapangan dapat dipotret oleh pemerintah. 

Itu sebabnya angka perkiraan pemerintah berbeda dengan kondisi riil. 

"Kami ketemu di lapangan, oh ada kasus ini, kasus ini, lebih parah datanya," Deka menghimbuhi. 

Ia menilai akar hambatan pemenuhan hak disabilitas di sektor formal adalah stigma. Masih ada anggapan penyandang disabilitas itu tidak memiliki kemampuan, kecakapan, dan kelayakan untuk bekerja. 

Keterbatasan mereka, lanjut Deka, dianggap akan menyulitkan pemberi kerja. Di sisi lain, ada pula stigma pada penyandang disabilitas terhadap diri sendiri. Persepsi tersebut membuat mereka tidak memiliki kepercayaan diri. 

"Itukan saling tektokan ya, stigma orang lain terhadap dia, dia pun akhirnya membentuk stigmanya terhadap diri sendiri," kata Deka. 

Masalahnya bertambah kompleks lantaran rata-rata disabilitas tidak mengenyam pendidikan tinggi. Alhasil, mayoritas disabilitas memilih mencari penghidupan di sektor formal. 

Kebuntuan itu yang kini berusaha diurai Komisi Nasional Disabilitas (KDN). Salah satu yang tengah didorong adalah peraturan turunan dari UU 8/2016.

Komisi mencatat, saat ini baru 20 persen dari 500 kabupaten/kota plus 38 provinsi yang memiliki perda jaminan disabilitas. Itu pun belum semua diimplementasikan secara efektif. 

Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Deka Kurniawan. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Deka mengakui penerapannya butuh waktu. Baginya, keberadaan regulasi bisa menjadi langkah awal. 

"Kalau sudah punya perda, enak tuh Kami. Punya kekuatan, kenapa nih enggak dijalankan gitu," lanjut Deka. 

Sambil pelan-pelan mendorong pembentukan regulasi, KDN bergerilya mendekati pelaku dunia usaha. Deka menilai komitmen pengusaha untuk memberi ruang bagi kalangan disabilitas sudah ada. 

Ia mencontohkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang sudah punya panduan bagaimana mempekerjakan disabilitas. 

"Secara umum kesadarannya sudah cukup tinggi, tapi juga harus paham gimana how to-nya, dan itu butuh waktu," ujar Deka.

Kecenderungan positif itu juga diakui Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia, Aria Indrawati. Tinggal implementasinya, yang menurut dia, masih menjadi pekerjaan rumah.  

Ia memilih cara yang lebih proaktif untuk mendorong perubahan ketimbang menunggu pemerintah menyelesaikannya. Aria menggambarkan persoalan lapangan kerja bagi disabilitas sebagai, "Hutan belantara, yang memang harus di-handle." 

Ketua Umum Pertuni, Aria Indrawati. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

Ia blusukan ke organisasi-organisasi pengusaha untuk mengikis stigma. Ia juga mengelola Yayasan Mitra netra, yang salah satu lingkup kerjanya mendampingi dinas-dinas tenaga kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk unit layanan disabilitas.

Upaya proaktif yang ditempuh diharapkan dapat membuka mata pemberi kerja. Menurut Aria, langkah menuju penerimaan kelompok disabilitas memang harus dilakukan bertahap. 

Persiapannya tidak cukup sekadar kesadaran terhadap kemampuan disabilitas. Dunia usaha juga perlu melakukan sejumlah adaptasi untuk mempekerjakan disabilitas.

Pemberi kerja, sebagai contoh, harus mempersiapkan infrastruktur pendukung inklusivitas. 

Sebab, tiap kondisi disabilitas butuh perlakuan yang berbeda-beda. Teman-teman tuli, misalnya, butuh fasilitas juru bahasa isyarat, atau bantuan informasi berupa teks, alarm blitz/lampu.

Sementara, kelompok tunadaksa butuh ramp atau lift untuk memudahkan mobilitas pengguna kursi roda, kruk atau tongkat. Tunanetra lain lagi, mereka perlu alat pembaca teks atau alat bantu lain.

Perlu komitmen dua arah yang sinergis. Pencari kerja perlu memastikan punya kapasitas untuk bekerja. Pemberi kerja pun harus mempersiapkan diri untuk bisa menerima pekerja disabilitas. 

Seperti kata Aria indrawati, "Ini masih still long way to go."

Reporter: Muazam

Editor : Jenar

Tag : #disabilitas    #dunia kerja    #liputan unggulan    #jakarta    #cpns    #penempatan kerja   

BACA JUGA

BERITA TERBARU