PARBOABOA, Jakarta-Malam 30 September 1965 menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia.
Tragedi yang dikenal dengan peristiwa G30S/PKI ini bukan hanya merenggut nyawa sejumlah jenderal, tetapi juga membuka luka besar di tubuh bangsa.
Ribuan nyawa melayang, banyak yang ditangkap, diasingkan, dan bahkan dieksekusi tanpa pengadilan yang jelas.
Saat itu, situasi penuh ketidakpastian menguasai negeri. Namun, dibalik semua kegelapan itu, satu pertanyaan terus bergulir: apakah Soekarno, sang Proklamator, terlibat dalam peristiwa berdarah ini?
Banyak spekulasi beredar mengenai sejauh mana keterlibatan Soekarno dalam G30S/PKI. Dalam buku, “Palu Arit di Ladang Tebu” (2000) karya Hermawan Sulistiyo, diterangkan setidaknya Soekarno mengetahui rencana peristiwa tersebut.
Bahkan, menurut Samsudin dalam buku, “Mengapa G30S/PKI Gagal?” (2014), Soekarno sempat terlihat di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang dikenal sebagai pusat komando operasi G30S.
Pembicaraan Soekarno dengan para tokoh pelaku kudeta serta perlindungannya kepada sejumlah pimpinan PKI memunculkan dugaan kuat bahwa dia mungkin lebih dari sekadar saksi.
Namun, bukti konkret yang mengaitkan Soekarno sebagai dalang langsung belum pernah ditemukan.
Walau demikian, Soekarno dikenal sebagai seorang pemimpin yang penuh dengan ide besar. Salah satunya adalah konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Bagi Soekarno, Nasakom adalah upaya untuk mempersatukan berbagai ideologi yang berkembang di Indonesia.
Namun, konsep ini tidak mungkin bisa bertahan tanpa kehadiran PKI.
Di sinilah dilema muncul. Karena bagi Soekarno, PKI merupakan bagian integral dari visi politiknya, tetapi bagi pihak militer dan sebagian besar rakyat, PKI adalah ancaman terhadap stabilitas negara.
Sikap Soekarno yang cenderung melindungi PKI dan menolak membubarkan partai itu menimbulkan kecurigaan lebih lanjut.
Pada 11 Maret 1966, ketika Letnan Jenderal Soeharto diberi wewenang untuk mengambil tindakan demi menjaga stabilitas pasca G30S, PKI akhirnya dibubarkan.
Soekarno marah besar, namun posisi politiknya semakin terjepit. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang pada awalnya ditujukan untuk menjaga keamanan, justru menjadi alat bagi Soeharto untuk mengeliminasi PKI dari percaturan politik Indonesia.
Meski Soekarno berupaya menahan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kemudian mengesahkan Supersemar menjadi TAP MPRS No. IX/MPRS/1966, yang memperkuat keputusan tersebut.
Sejumlah tindakan Soekarno pasca G30S juga semakin memperkeruh dugaan keterlibatannya. Ia terlihat melindungi beberapa tokoh kunci yang diduga terlibat dalam kudeta.
Misalnya, Omar Dhani, Panglima Angkatan Udara yang terlibat dalam peristiwa tersebut, justru diberikan tugas ke luar negeri dan tidak ditindak.
Selain itu, Brigadir Jenderal Soepardjo, salah satu pimpinan gerakan, tidak ditangkap meski keterlibatannya jelas.
Soekarno juga membubarkan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang anti-PKI, memperkuat dugaan bahwa ia cenderung melindungi kepentingan komunis.
Meski demikian, semua dugaan ini tetap sebatas spekulasi. Soekarno tidak pernah dinyatakan bersalah secara hukum atas keterlibatannya dalam G30S/PKI.
Namun, dampak politiknya sangat besar. Ia diisolasi oleh pemerintahan baru dan menjadi tahanan politik hingga akhir hayatnya pada 21 Juni 1970.
Baru-baru ini, TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yang menjadi landasan bagi tuduhan keterlibatan Soekarno dalam G30S/PKI, dicabut oleh MPR RI.
TAP tersebut pada awalnya menuduh Soekarno terlibat dan melindungi para pelaku G30S. Namun, dengan pencabutan ini, tuduhan resmi terhadap Soekarno dianggap gugur.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menyatakan bahwa keputusan ini didasarkan pada perkembangan hukum yang lebih objektif, mengingat bahwa banyak bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Soekarno tidak pernah terbukti secara sah.
Pencabutan TAP MPRS ini memberikan semacam rehabilitasi moral bagi Soekarno. Sang Proklamator kini bisa dikenang tanpa beban sejarah kelam yang selama ini menyertainya.
Anaknya, termasuk Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra, menerima langsung surat pencabutan tersebut, menandai momen bersejarah bagi keluarga besar Soekarno.
Editor: Norben Syukur