PARBOBOA, Jakarta - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kini resmi mengisi kursi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Ketua Umum Partai Demokrat itu dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/2/2023), menggantikan Hadi Tjahjanto yang juga dilantik sebagai Menko Polhukam.
Pelantikan AHY rupanya tak hanya menegaskan posisi politik Demokrat yang mulai mesra dengan kekuasaan, tetapi juga membangkitkan kembali memori publik ketika masih menjadi partai oposisi.
Selama hampir 10 tahun, Demokrat memang cukup getol mengkritisi kebijakan rezim Jokowi. Di mata partai berlambang bintang mercy itu, banyak kebijakan pemerintah dieksekusi tanpa kalkulasi yang matang.
Dalam pidato politik di Lapangan Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023) misalnya, AHY sempat menyinggung soal alokasi anggaran triliunan rupiah untuk pengembangan kawasan pangan berskala luas (food estate).
kebijakan food estate, kata AHY, hanya mengandalkan ekstensifikasi lahan saja, tetapi mengabaikan aspek ekologis dan sosial.
Padahal, jika mengacu pada sustainable grow with equity yang menjadi mazhab ekonomi Partai Demokrat, kedaulatan pangan mesti berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat.
Ia juga menganggap pemerintah gagal mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal.
Karena itu, AHY tetap mendorong “pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan alam."
Tak hanya soal food estate, AHY juga pernah menyoroti terkait penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengatakan, Perppu Cipta Kerja tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya.
Ia bahkan menganggap Perppu tersebut telah mengangkangi esensi demokrasi, gagal menjawab kebutuhan rakyat kecil dan hanya dirancang untuk mengakomodir kepentingan elite.
"Janganlah menyelesaikan masalah dengan masalah,” ungkap AHY melalui keterangannya pada Selasa (3/1/2023).
AHY juga mengaku banyak menampung keluhan elemen sipil terkait minimnya akses terhadap materi undang-undang selama proses revisi.
Baginya, perlu ada proses legislasi yang aspiratif, partisipatif dan sah terkait revisi UU Cipta Kerja. Bukan malah diganti melalui Perppu.
Kendatipun ada alasan kegentingan memaksa yang menjadi alasan terbitnya Perppu ini, AHY malah tidak menemukan argumen tersebut di Perppu.
Catatan kritis AHY terus berlanjut. Termasuk soal anggaran negara yang menurutnya banyak terkuras untuk membiayai proyek mercusuar.
Proyek-proyek tersebut justru tidak berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat kecil, tetapi hanya untuk mendapatkan perhatian dari luar negeri.
Efeknya, anggaran negara mengalami defisit yang kemudian berimbas terhadap kenaikan utang negara.
Sementara pemerintah, kata dia, kesulitan untuk membayar utang karena keuangan negara terus mengalami tekanan. Rakyat yang bakal menanggung utang tersebut lewat pajak.
Terlepas dari rentetan kritik dan inkonsistensi sikap politik Demokrat, merapatnya partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu ke lingkaran istana hendak menunjukkan bahwa politik itu selalu dinamis.
Ahmad Atang, analis politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, menyebutnya sebagai jalan rekonsiliasi politik antara SBY dan Jokowi.
"Bergabungnya AHY dalam kabinet Jokowi menandai babak baru hubungan antara Jokowi dan SBY yang sudah mulai mencair," ungkap Atang kepada PARBOBOA, Jumat (23/2/2023).
Menurutnya, selama 10 tahun berkuasa, Jokowi dan PDIP memang tidak memberi ruang politik kepada Demokrat, sehingga posisinya berada di luar pemerintahan.
Namun, kalkulasi politik Jokowi berubah di penghujungan masa jabatannya. Mantan Wali Kota Solo itu melihat Demokrat sebagai modal politik untuk memperkuat kekuasaan Prabowo-Gibran di masa depan.
Bagi Demokrat, kata Atang, hal ini merupakan momentum untuk bangkit setelah mengalami dinamika internal yang cukup menguras energi.
"Maka masuknya AHY dalam kabinet sekaligus sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY," tegas Atang.
Di sisi lain, Atang melihat bahwa bergabungnya AHY dalam kabinet bisa dibaca dalam persepktif sosiologis sebagai bentuk rekonsiliasi politik di tingkat elit.
"Namun secara politik merupakan bentuk pengakuan legal formal atas kepemimpinan AHY di Demokrat," tambah Atang.
Selain itu, Atang juga membaca ada semacam balas jasa politik pilpres di balik bergabungnya AHY di pemerintahan Jokowi.
Karena wacana soal posisi AHY dalam jajaran kabinet Jokowi sebenarnya sudah lama, namun tidak kunjung terwujud hingga di penghujung kepemimpinan Jokowi.
Hal ini tidak lepas dari sikap politik Demokrat yang membangun koalisi dalam barisan koalisi Indonesia maju dalam mendukung Prabowo-Gibran sebagai capres dan cawapres.
"Dengan demikian, setiap tindakan politik selalu mendapatkan konsekuensi," kata Atang.
Editor: Gregorius Agung