PARBOABOA, Jakarta - Kabar kematian penyair Philipus Joko Pinurbo (Jokpin) mengejutkan publik dan pecinta sastra di Indonesia.
Jokpin meninggal pada usia 61 tahun; sebuah periode usia yang terbilang tidak singkat untuk seorang penyair yang kerap ‘bergaul dengan kopi’, rokok, dan kesunyian.
Kabar duka ini diberitakan pertama kali oleh istrinya, Nurnaeni A. Firmina kepada Mirna Yulistianti yang menjadi editor buku-buku Jokpin, Sabtu (27/4/2024).
Mirna membenarkan bahwa penulis puisi 'Celana Ibu’ itu menghembuskan nafas terakhir pada pukul 06.03 WIB di RS Panti Rapih, Yogyakarta.
Belum ada informasi pasti dari pihak keluarga terkait penyebab kematian Jokpin. Namun, sejumlah kerabat menduga, kematiannya disebabkan karena penyakit paru-paru.
Hal senada disampaikan Maria Azalea Anggraeni atau Lea, anak pertamanya.
Menurut Lea, Jokpin berulang kali mengeluhkan sakit pada paru-paru. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit pada Kamis (25/04/2024) dan meninggal dini hari tadi.
Dikabarkan sejumlah media, jasad Jokpin akan dimakamkan pada Minggu, 28 April pukul 10.00 WIB di Demangan, Ngemplak, Sleman.
Pasca kematiannya, sejumlah anggota keluarga, kerabat, dan kenalan dari berbagai daerah menyampaikan rasa duka. Mereka kehilangan sosok penyair yang hebat dan inspiratif.
Penyair Hasan Aspahani, misalnya menyebut Jokpin sebagai sosok yang gigih dan memberi banyak teladan.
“Jokpin itu guru, senior, teman diskusi, yang memberi banyak teladan. Terutama kegigihan mencari cara ucap yang baru dalam puisi Indonesia,” ungkap Hasan kepada PARBOABOA, Sabtu (27/04/2024).
Baginya, semua keutamaan yang dimiliki Jokpin terejawantah secara jelas dalam puisi-puisi yang ditulisnya.
Seperti Hasan, Ketua Komunitas KAHE Maumere, Eka Putera Nggalu turut menyampaikan kesannya pada sosok penyair kelahiran Sukabumi itu.
Bagi Eka, Jokpin adalah sosok penyair yang terbilang ‘sederhana’. Dalam beberapa kesempatan bertemu, ia menilai karakter sederhana itu tampak seperti gambaran seorang pastor Katolik.
“Sebagai seorang Katolik, saya melihat Jokpin sebagai sosok yang sangat rendah hati. Dari karyanya, sikapnya, cara dia berbicara, rasanya seperti kita sedang melihat seorang pastor,” ungkap Eka kepada PARBOABOA, Sabtu (27/04/2024).
Masih banyak pujian, apresiasi, dan decak kagum yang disampaikan publik dan pecinta sastra atas kiprah Jokpin.
Kematiannya, dengan demikian menyimpan banyak kenangan dan keistimewaan yang terungkap dalam semua puisi.
Yang Istimewa dari Jokpin
Jokpin mulai menaruh kecintaannya pada dunia sastra sejak masa Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ia intens menulis puisi dan sesekali menulis cerita pendek. Dalam beberapa kesempatan, ia juga menulis esai dan komentar terkait perkembangan sastra Tanah Air.
Selama berkarya, ia telah menerbitkan sejumlah antologi, antara lain Tugu (1986), Tonggak (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dan Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998).
Karya-karya lain yang berhasil diterbitkan berjudul, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacar Kecilku (2002), hingga Telepon Genggam (2003).
Laporan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta menyebut, ada setidaknya 20 buku puisi, 1 buku cerita, 2 kumpulan esai, dan 2 buku terjemahan yang pernah ditulis Jokpin.
Di samping itu, ia juga memperoleh sejumlah penghargaan sastra bergengsi, seperti SEA Write Award (2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2015), dan Anugerah Kebudayaan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (2019).
Menurut Hasan, hal yang istimewa dari Jokpin adalah keseriusannya dalam berkarya. Sikap itu terlihat dari ketekunannya untuk membaca, mencari tahu, dan mengembangkan hasil bacaan dalam sebuah karya.
“Istimewanya Jokpin itu serius menyair. Dia membaca semua puisi penyair terdahulu, memetakannya, lalu mencari ruang mana yang bisa dimasuki dan dikembangkan,” ungkap Hasan.
Model kerja yang demikian, lanjut Hasan bermaksud agar perpuisian di Indonesia terus berkembang dan tak mandek.
Sementara Eka menyebut, keistimewaan Jokpin justru terletak pada kemampuannya untuk menjadikan bahasa Indonesia memiliki makna yang luas dan kaya.
“Dia bolak-balik (kata), bermain dengan kata, dan banyak komposisi yang membuat kita merasa seperti bahwa ada kekuatan yang luas, lebar, dan dalam pada setiap puisi,” ungkap Eka.
Baginya, kekuatan yang terkandung dalam karya-karya Jokpin terejawantah dalam permainan ironi, main blowing dan pembalikan makna yang membuat pembaca geli dengan kata-kata yang dia bangun dalam puisi-puisinya.
“Tapi justru dari situ, puisi-puisi Jokpin penuh perasaan dan memiliki unsur kemanusiaan yang kuat,” lanjut Eka.
Masa Depan Penyair
Kematian Jokpin membawah pesan berarti untuk para pecinta sastra di Indonesia. Ia tak hanya meninggalkan karya, tetapi juga teladan hidup dan konsistensi.
“Harapan saya, siapapun yg hendak melanjutkan tradisi perpuisian kita, maka lakukanlah dengan kesadaran,” ungkap Hasan.
Baginya, kesadaran itu mengandung pemahaman bahwa tradisi perpuisian di Indonesia sesungguhnya telah ada.
“Tugas kita sekarang adalah mengolahnya, mengembangkannya, dan menawarkan kebaruan lain.”
Sementara Eka mengharapkan agar banyak anak muda tertarik untuk mengenal dan membaca keseluruhan karya Jokpin.
“Jokpin adalah seorang yang memiliki sikap etis dan fondasi politik yang jelas untuk kemanusiaan,” ungkapnya.
Dengan pendasaran demikian, lanjut Eka, anak muda yang belajar puisi tidak bisa tidak belajar Jokpin. Mereka harus membaca dan mengenal karya-karyanya.
Selain harapan tersebut, Eka juga menilai kematian Jokpin sebagai ironi. Ia menyinggung persoalan finansial yang dihadapi Jokpin di masa tuanya.
Sebagai pekerja seni, Eka menilai banyak penyair yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka hanya hidup dari hasil penjualan buku karya sendiri.
“Jadi, iklim produksi buku dan perlindungan untuk pekerja-pekerja kreatif juga perlu dipikir secara matang oleh para seniman, penulis maupun oleh stakeholder.”
Baginya, nasib para pekerja seni kerap berada di persimpangan jalan. Mereka sudah bersusah payah menulis buku, tetapi apresiasi yang diperoleh tidak selaras dengan usaha yang dilakukan.
“Jadi, perlindungan terhadap pekerja-pekerja kreatif, karya intelektual, dan hak atas karya mereka harus dijaga secara ketat,” lanjut Eka.
Sembari mengenang semua catatan di atas, kita sampaikan selamat berpulang untuk penyair Jokpin.
Ia telah memulai semuanya dalam puisi dan pergi dengan sunyi. Semoga 'Tuhan yang merdu menerima semua kicau burung dalam kepalanya'.
Editor: Defri Ngo