Praktik Politik yang Mencederai Demokrasi Indonesia

Aksi 4 November 2016 yang memadati kawasan Bundaran Air Mancur Bank Indonesia di Jakarta (Foto: Reuters)

PARBOABOA - Demokrasi adalah sistem yang dianut oleh Indonesia semenjak negara berdiri. Hal itu terbukti dari sudut pandang normatif dan empirik yang dimiliki bangsa Indonesia.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif dari masa ke masa. Demokrasi juga kerap digaungkan sebagai salah satu janji reformasi sekitar 20 tahun yang lalu.

Namun, ada saja hal yang selalu menjadi hambatan tercapainya demokrasi secara substansial dan bahkan berpotensi mencederai demokrasi itu sendiri, terlebih dari aspek praktik politik yang telah berlangsung sejak lama di Indonesia.

Politik Identitas

Secara umum, politik identitas mengacu pada alat politik yang dimiliki kelompok tertentu seperti etnis, suku, budaya, agama dan lainnya, dengan tujuan menunjukkan eksistensi mereka ke hadapan publik.

Menurut Zahrotunnimah (2018), politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok dengan latarbelakang persamaan identitas tertentu.

Di Indonesia, keberadaan politik identitas cenderung mengangkat kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili oleh para elit politik dengan gaya bahasanya masing-masing untuk mencapai tujuan memperoleh kekuasaan.

Contoh politik identitas dapat ditemukan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017 silam. Saat itu, beberapa anggota komunitas Muslim memobilisasi massa dalam jumlah besar melawan mantan Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Sebuah identitas yang dipolitisasi ini dapat merusak citra demokrasi Indonesia lantaran menggaungkan paham primordial dan menganggap orang dengan identitas lain adalah inferior bagi mereka.

Menurut The Guardian, ketika kelompok merasa terancam, mereka akan mundur dalam kesukuan, menyebabkan orang menjadi lebih defensif, lebih menghukum, hingga “kita-lawan mereka”.

Politik Dinasti

Dalam dunia politik Indonesia, istilah “Dinasti Politik” sudah tidak asing di telinga masyarakat. Banyak dinasti politik yang muncul setelah Orde Baru runtuh, keluarga dan kekuasaan merupakan kunci utama dari istilah ini.

Politik kekerabatan ini berpotensi penyalahgunaan kekuasan, yang berujung lahirnya KKN, sehingga upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sulit untuk tercapai.

Salah satu contohnya sempat menjadi sorotan publik yakni dinasti politik yang berkuasa hampir 20 tahun di Kabupaten Probolinggo. Pasangan Hasan Aminuddin dan Puput Tantriana Sari akhirnya berujung di balik jeruji besi.

Itulah salah satu alasan mengapa politik kekerabatan ini dapat mencederai demokrasi di Indonesia.

Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Selasa (12/04/2022) dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana menyebut gaya politik dinasti sebagai gejala neopatrimonialistik.

Benihnya sudah lama berakar secara tradisional yaitu berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam hal menimbang prestasi.

Menurutnya, politik dinasti kini disebut neopatrimonial, lantaran terdapat unsur patrimonial lama, namun dibalut dengan strategi baru.

"Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," ucapnya.

Anak atau keluarga para elite masuk ke dalam suatu institusi yang telah disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Kendati demikian, tidak ada aturan yang melarang ataupun membatasi siapa pun terhadap hak konstitusional untuk memilih dan dipilih.

Hanya saja, dinasti politik dinilai menyebabkan mandeknya fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen kader. Sehingga, anggota keluarga dinasti yang memiliki popularitas dan modal besar cenderung lebih diuntungkan dibandingkan yang lainnya.

Hal tersebut memicu calon instan yang berasal dari pengusaha, anak pejabat, kerabat pejabat, ataupun elit partai dapat menuju kekuasaan tanpa melalui kaderisasi, sehingga kerap mengabaikan kesempatan kepada kader yang bersih dan kompeten.

Money Politic

Menjelang pemilu, politik Indonesia selalu identik dengan mahar. Seluruh kandidat mempersiapkan amunisinya untuk mendapat rekomendasi dari partai politik agar dapat mencalonkan dan juga menutupi biaya politik lainnya.

Politik uang (money politics) menjadi momok terbesar di setiap pesta demokrasi Indonesia.

Secara umum, money politic merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon untuk menarik simpati para pemilih dengan cara memberi imbalan berupa uang maupun barang.

Para kontestan yang tidak memiliki popularitas lebih memilih jalan pintas ini untuk mendapatkan hasil yang sekiranya menguntungkan bagi mereka.

Praktik yang dapat merusak demokrasi ini sudah mendarah daging bahkan telah menjadi budaya bagi rakyat Indonesia.

Fenomena politik uang bukan hanya melanggar hukum, namun melanggar moral demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia.

Lucunya, perbuatan ini sudah dianggap biasa oleh sebagian rakyat yang suaranya telah dibeli dengan mudah, tanpa memikirkan nasib daerah atau negara 5 tahun ke depan.

Dilansir dari Liputan6 (12/04/2022), Mada Sukmajati, seorang peniliti sekaligus dosen DPP Fisipol UGM menyebutkan terdapat tiga faktor mengapa money politic terjadi.

Salah satunya adalah faktor politik, yang mana calon legislatif (caleg) tidak memiliki program namun ingin menang. Sementara, partai politik yang mengusung tidak berperan banyak selain membantu pencalonan.

Hal tersebut merupakan cikal bakal lahirnya pemimpin dengan kualitas rendah, serta melemahkan politisi dan institusi demokrasi itu sendiri.

Berdasarkan dari tiga hal di atas, sudah semestinya kita selaku warga negara yang baik harus membenahi diri terlebih dahulu agar sistem demokrasi yang tengah berjalan semakin baik ke depannya.

Untuk itu, ingat selalu asas JURDIL dan LUBER, agar tidak pernah sekali-kali berkhianati hati demi sesuatu yang belum tentu didapatkan.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS