PARBOABOA - Novel Pulang karya Leila S. Chudori memaparkan perjalanan dramatis tokoh-tokoh yang terjebak dalam pusaran sejarah Indonesia, dari pengasingan politik hingga krisis identitas.
Dengan latar belakang peristiwa G30S 1965 dan kerusuhan politik lainnya, cerita ini memadukan fakta sejarah dengan narasi fiksi yang menggugah.
Terbit pertama kali pada tahun 2012, buku ini mengajak pembaca menjelajahi kisah pengasingan politik, pencarian identitas,serta dampak mendalam dari peristiwa G30S 1965.
Sebagai penulis dan jurnalis terkemuka, Leila menghadirkan kisah ini dengan latar sejarah yang kuat, menggabungkan peristiwa nyata dengan narasi fiktif yang menegangkan.
Salah satu tema sentral dalam Pulang adalah tokoh Dimas Suryo, seorang wartawan yang terjebak dalam arus sejarah Indonesia.
Terinspirasi dari kata flaneur dalam bahasa Prancis, yang berarti pengelana, Dimas digambarkan sebagai sosok yang terus mencari jati dirinya tanpa pernah bisa "berlabuh".
Ketika menghadiri Konferensi Wartawan di Beijing, Dimas berhasil lolos dari kekacauan di Indonesia saat meletusnya peristiwa G30S.
Namun, nasib pula membawanya ke pengasingan di Paris, karena hubungan dekatnya dengan Lekra, sebuah kelompok yang berafiliasi dengan PKI, dan membuat paspornya dicabut oleh pemerintah Orde Baru.
Pengasingan ini tak hanya mengasingkan Dimas secara fisik, tetapi juga memutusnya dari tanah air, keluarga, dan masa lalunya.
Di Paris, Dimas bersama teman- temannya membangun sebuah restoran bernama Tanah Air, yang di mana, hal itu menjadi simbol harapan dan keterikatan dengan kampung halaman yang tak mungkin akan mereka kunjungi kembali.
Generasi Kedua: Krisis Identitas
Selain Dimas, novel ini juga mengangkat kisah Lintang Utara, putri Dimas dari pernikahannya dengan Vivienne Deveraux, seorang perempuan Prancis.
Lintang tumbuh besar di Paris, jauh dari Indonesia, dan mengalami krisis identitas yang mendalam.
Apakah ia adalah seorang Indonesia yang tak pernah mengenal tanah airnya? Atau seorang Prancis dengan setengah darah Indonesia? Kebingungannya pun mendorong Lintang untuk terbang ke Indonesia pada tahun 1998, di tengah kerusuhan politik yang mengguncang negeri kala itu.
Lintang datang ke Indonesia dengan tujuan menyelesaikan tugas skripsi sekaligus membuat dokumenter tentang korban dan keluarga tahanan politik. Di sinilah Pulang memperlihatkan dampak jangka panjang dari peristiwa 1965.
Lintang kala itu menghadapi diskriminasi terhadap keluarganya yang dianggap eks- tapol (mantan tahanan politik), di mana mereka masih dicurigai dan dilarang bekerja di sektor publik.
Salah satu adegan tragis dalam novel ini adalah ketika sepupu Lintang, Rama, gagal menikah karena sang calon mertua menganggap Dimas sebagai seorang “pezinah politik”.
Leila Chudori berhasil menjalin sejarah nyata dengan kehidupan fiktif tokoh- tokohnya, serta menciptakan suasana yang tegang dan penuh intrik.
Melalui mata Lintang, pembaca dibawa ke masa-masa kerusuhan menjelang jatuhnya Orde Baru.
Kita pun bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti masyarakat Indonesia kala itu, di mana intelijen mengawasi setiap langkah, kantor-kantor digeledah, dan unjuk rasa yang bergejolak.
Dengan paduan sejarah dan narasi particular, Pulang dapat menggugah perasaan dan membuka mata kita tentang betapa panjang dan menyakitkan dampak dari tragedi politik di Indonesia.
Sebuah Karya dengan Prestasi Gemilang
Salah satu keunggulan dari Pulang adalah bagaimana cara Leila mengemas ceritanya.
Meskipun menggunakan sudut pandang dari banyak tokoh, mulai dari Dimas, Bimo, Alam, Lintang, hingga Vivienne, novel ini tetap mudah dipahami. Leila menyusun alurnya dengan rapi, meski tebal, novel ini tidak membosankan.
Bahkan, konflik demi konflik yang muncul di dalamnya justru membuat para pembaca semakin penasaran.
Perubahan sudut pandang yang sering terjadi tidak membuat alur cerita menjadi rumit, justru memperkaya perspektif dan emosi yang dirasakan pembaca.
Karakter Dimas digambarkan dengan sangat memikat, terutama dalam hubungannya dengan tokoh Surti.
Kisah cintanya yang mendalam dengan Surti menambah lapisan emosional pada narasi yang sudah sarat dengan intrik politik dan pengasingan.
Selain itu, kehidupan Dimas sebagai buronan politik yang harus berpindah dari satu negara ke negara lain juga memberikan dimensi petualangan dalam novel ini.
Di sisi lain, Lintang sebagai generasi kedua yang tak pernah merasakan langsung tanah kelahirannya, membawa tema krisis identitas yang relevan bagi banyak diaspora.
Dengan gaya penulisan yang menarik dan karakter yang kuat, Pulang mampu menggugah perasaan pembaca dan memberikan wawasan baru tentang dampak mendalam dari sejarah yang belum tuntas.
Novel Pulang karya Leila S. Chudori pun meraih sejumlah prestasi gemilang. Selain menembus pasar internasional dengan diterjemahkan ke dalam lima bahasa, novel ini juga terpilih sebagai salah satu buku yang menjadi bagian dari proyek Novel of the World dalam Expo Milano di Italia.
Pada tahun 2013, Pulang berhasil memenangkan penghargaan bergengsi Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa, menegaskan posisinya sebagai salah satu karya sastra terbaik Indonesia.
Novel Pulang mengangkat drama kehidupan yang penuh dengan intrik keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan, dengan berlatar tiga peristiwa bersejarah tragedi Indonesia pada 30 September 1965, pergolakan di Prancis pada Mei 1968, serta kerusuhan Indonesia pada Mei 1998.
Sejak pertama kali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, pada Desember 2012, novek ini langsung disambut antusias dan dicetak ulang dalam waktu sebulan.
Hingga September 2014, Pulang telah melewati lima kali cetak ulang dan hadir dengan desain sampul yang baru.
Bagi para pecinta sejarah dan sastra, Pulang adalah karya yang wajib dibaca. Leila S. Chudori berhasil menyatukan elemen-elemen particular dan politis dalam sebuah narasi yang kaya akan makna dan emosi.
Penulis: Mila Rismaya Sriyatni