PARBOBOA, Jakarta - Lonjakan permintaan barang dan harga bahan pokok menjadi salah satu problem serius yang perlu disiasati menjelang Bulan Suci Ramadhan 1445 Hijriah.
Pemerintah dituntut bergerak cepat untuk memastikan stabilitas ketersediaan pangan di seluruh wilayah Indonesia demi mengantisipasi potensi inflasi.
Sejauh ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah merancang beberapa strategi dalam mendukung ketersediaan pangan selama periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Rachmi Widiriani, Direktur Distribusi dan Cadangan Makanan, BAPANAS, mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui Gerakan Pangan Murah (GPM) di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Hal ini, kata dia, sudah dibahas dalam rapat koordinasi yang dipimpin langsung Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, beberapa waktu lalu.
GPM diyakini bisa menjadi salah satu instrumen pengendalian inflasi, karena harga berbagai bahan pangan pokok strategis lebih terjangkau atau berada di bawah harga pasar.
Eksekusi program ini nantinya akan melibatkan sejumlah asosiasi dan BUMN sebagai mitra dengan skema penawaran harga yang lebih terjangkau.
Menurut Rachmi, GPM tak hanya menjadi solusi strategis untuk menstabilkan harga pangan, tetapi juga meningkatkan akses publik terhadap bahan pangan yang terjangkau.
"Penggiatan gerakan pangan murah nantinya menawarkan harga yang lebih terjangkau," ungkap Rachmi dalam dialog bertajuk 'Persiapan Ramadhan, Kondisi Harga Bahan Pokok', yang digelar daring pada Senin (4/3/2023).
GPM sendiri resmi diluncurkan pada Juni 2023 lalu. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, yang saat itu menghadiri acara peluncuran menegaskan, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci sukses keberhasilan dalam pengendalian pangan.
Karena itu, stabilisasi pasokan dan harga pangan, khususnya menjelang bulan suci Ramadhan perlu dijaga. Rantai distribusi perlu diperpendek, rakyat pun mendapatkan harga terbaik.
Kendati demikian, GPM rupanya tidak mampu menjaga stabilitas ketahanan pangan dalam jangka panjang. Hal itu ditegaskan oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.
GPM hanya mampu menjangkau masyarakat yang dekat dengan zona oprasi. Artinya, gerakan ini tidak bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan pada saat ramadhan. Di sisi lain, kata Anthony, GPM tidak pernah efektif untuk menekan inflasi, karena efeknya hanya sementara.
“GPM dulu dinamakan operasi pasar. Gerakan ini tidak bisa menurunkan harga Pangan secara fundamental,” kata Anthony kepada PARBOABOA, Selasa (5/03/2024).
Sentil soal Harga Beras
Persoalan kenaikan harga beras yang banyak menjadi keluhan, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, juga mencuat dalam diskusi tersebut.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, kata Rachami, produksi beras nasional mengalami kontraksi selama delapan bulan terakhir yang berada di bawah angka kebutuhan beras nasional.
Pemerintah menyiasatinya melalui impor beras yang dilakukan sejak tahun 2023 sekaligus menyiapkan cadangan pangan untuk intervensi sesuai dengan Perpres 125 Tahun 2022.
Tak hanya itu, pemerintah juga telah memberikan bantuan pangan sebesar 10 kg per Keluarga Penerima Manfaat (KPM), kepada 22 juta penerima. Langkah ini diklaim telah terbukti berdampak pada pengendalian laju inflasi.
Bantuan pangan, demikian Rachmi, akan terus diserahkan ke KPM hingga Juni mendatang sambil menunggu rilis antuan untuk keluarga risiko stunting dengan ayam 1 kg dan telur 10 butir.
Isy Karim, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, dalam forum yang sama mengimbau masyarakat agar tidak perlu khawatir.
Menurutnya, berdasarkan pemantauan di aplikasi Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), cadangan beras nasional saat ini masih dalam kondisi aman.
Pemerintah, kata dia, telah menyiapkan lebih dari 1,2 juta ton beras cadangan, ditambah dengan cadangan untuk keperluan komersial menjadi 1,4 juta ton.
Selain itu, pemerintah juga telah mengintervensi kenaikan harga beras dalam beberapa waktu terakhir di beberapa wilayah di Indonesia.
Karim menjelaskan, kondisi yang terjadi saat ini tidak lepas dari fenomena El Nino yang mempengaruhi masa tanam, terutama untuk beras premium yang hampir seluruhnya beras lokal.
Karena itu, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah strategis seperti impor dan peningkatan subsidi pupuk demi memastikan ketahanan pangan.
Karim juga memastikan bahwa pemerintah memutuskan untuk tidak merelaksasi Harga Eceran Tertinggi (HET), tetapi membanjiri pasar dengan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dalam rangka mengendalikan harga.
Permintaan beras menjelang Ramdhan memang biasanya meningkat. Menurut Dekan Pertanian Universitas Sriwijaya, Ahmad Muslim, hal ini dipicu faktor psikologis masyarakat yang ingin memastikan pada waktu ini kebutuhannya aman, sehingga cenderung lebih banyak dalam membeli bahan pokok.
Kendati pun pemerintah menerapkan skema impor dalam mengatasi kekurangan beras, namun strategi sistematis jangka panjang perlu juga untuk dipikirkan dengan memanfaatkan potensi besar yang dimiliki Indonesia.
Ahmad membaca, faktor utama menurunnya produksi beras di Indonesia adalah luas lahan padi yang masih rendah, yaitu sekitar 10,2 juta hektar. Idealnya kata dia, untuk mencapai swasembada, dibutuhkan luas lahan padi 40 juta hektar dengan asumsi 500 meter persegi per kapita.
Ia juga melihat perubahan iklim menjadi salah satu penyebab yang membuat Indonesia rentan terhadap penyakit tanaman padi. Karena itu, Ahmad mendorong perlu mempertimbangkan diversifikasi beras dengan varietas yang lebih sehat.
Editor: Norben Syukur