PARBOABOA - Kondisi ekonomi menjadi alasan utama Asmawati Manik, 59, mulai berjualan monza sejak 28 tahun lalu. Pendidikannya yang juga tidak begitu tinggi mendorong dia untuk mencari nafkah dengan menjual pakaian bekas impor itu.
"Awalnya jual monza itu kan kita tidak punya pendidikan, jadi apa yang bisa kita kerjai untuk menghidupi anak karena agak susah kami tidak bisa melamar ke perusahaan karena tidak memiliki tamatan, jadi karena ada monza ini ada modal kita sedikit ya udah kita manfaatkan," jelasnya ketika ditemui di Pasar Melati, salah satu pasar terbesar penjualan pakaian bekas impor di Kota Medan, pekan lalu.
Ibu tiga anak itu memulai usahanya dengan modal Rp500 ribu dengan menjual pakaian-pakaian yang dia pilih dari pengumpul besar untuk dijual kembali. Kerja kerasnya tidak sia-sia, dan membuahkan hasil.
Berjalan beriringan waktu dia terus meningkatkan kapasitas penjualannya, dari kecil-kecilan dan berkembang menaikkan modal usahanya. Dia pun membeli monza dalam ukuran bal dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pakaian impor yang dia jual bervariasi, mulai dari celana, baju, dan berbagai jenis pakaian perempuan dan laki-laki. Modal per bal-nya bervariasi, ada yang modal Rp5 jutaan per bal, dan untungnya bisa didapat Rp3 juta-Rp6 juta per bal.
"Celana itu modalnya Rp5 jutaan, untungnya sekitar Rp3 jutaan kadang lebih, tak tentu tergantung celananya,"ucapnya.
Dalam sebulan dia mampu menjual 3-8 bal per bulan, dengan rata-rata pendapatan Rp13-Rp20juta per bulan.
Asmawati hanyalah salah satu dari sedikitnya 1.000 pedagang monza di Medan yang sudah menikmati keuntungan selama bertahun-tahun. Dari usaha monza dia membiayai kehidupan keluarganya sehari-hari, bahkan membiayai pendidikan anaknya sampai di perguruan tinggi negeri dan mendapatkan gelar sarjana.
"Sudah tiga anak yang dibesarkan dari jualan monza ini, dua orang sarjana satu orang tamatan STM," katanya.
Sudah rahasia umum, ilegal tapi beredar bebas
Sebelum namanya dikenal sebagai thrifting di Jakarta, di Kota Medan pakaian bekas impor sudah tren sejak tahun 1990-an. Konon, kata monza merupakan singkatan dari Mongonsidi Plaza, merujuk Jalan Mongonsidi Medan, yang dulunya merupakan kawasan pertama lapak pakaian bekas impor di kota itu.
Belakangan kawasan itu tutup seiring dengan munculnya lapak-lapak monza baru, antara lain di Pasar Simalingkar, Pasar Sambu, Pasar Helvetia dan Perumnas Mandala.
Sudah seperti rahasia umum, meski dilarang dan dianggap barang ilegal, monza tetap beredar ke tingkat pengepul dan bebas dipasarkan di sejumlah pasar. Di Sumatra Utara, barang-barang bekas itu didatangkan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang dekat dengan Malaysia, seperti Tanjung Balai.
“Tanjung Balai itu merupakan basis, karena aku juga orang situ, jadi aku tahu betul bagaimana importir itu menjual itu setiap hari,” kata Mukhis Hasbullah, pengamat budaya dari Fakuktas Bahasa dan Seni Unimed, yang telah lama mengamati tren monza di Sumut, kepada Parboaboa, pekan lalu.
Larangan impor monza bukan pertama kali dilakukan pemerintah. Pada tahun awal tahun 2000 pemerintah pernah mengeluarkan larangan. Ratusan pedagang monza gulung tikar dan beralih ke usaha lain. Meski demikian perdagangannya tetap berjalan.
Pada Maret 2023, pemerintah kembali mengeluarkan larangan impor barang bekas sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor dan Undang-Undangnya adalah Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.
Tetapi menurut Hasbullah, rasanya tidak mungkin aturan bisa berjalan karena monza sudah sempat lama melekat dalam tren berpakaian masyarakat. Menutup peredaran monza, katanya, sama saja dengan menghentikan kesukaan masyarakat dengan pakaian yang sudah sempat lama terjadi.
“Ini sudah persoalan budaya, budaya itu susah diubah, budaya kita itu senang bersolek, terus dirubah budaya kita? Mana mau kita,” katanya. Menurutnya, menolak monza sama dengan membangun kebudayaan baru, yang butuh waktu hingga puluhan tahun.
Harusnya pemerintah jangan cuma bisa melarang
Pasca diberlakukannya larangan itu, puluhan pedagangan monza di Medan mulai khawatir, jika benar-benar pemerintah akan menutup peredarannya, lantas apa mata pencaharian mereka di masa mendatang?
Pada 3 April lalu, mereka pun menemui anggota Komisi IV DPRD Medan agar pemerintah mencarikan solusi untuk mereka. Asmawati merupakan salah satu pedagang yang hadir dalam pertemuan itu.
Dia mengatakan, sejak adanya larangan itu pendapatannya drastis turun, dari biasanya sebulan bisa mencapai Rp15 juta jatuh ke Rp5 juta.
"Pendapatan menurun drastis, sewa tempat Rp1 juta sebulan perkios. Kios kita yang satu tutup, tadinya ada tiga, karena sudah tidak terbayarkan lagi," ungkap Asmawati yang mengaku sangat kecewa dengan larangan pemerintah itu.
Menurutnya, harusnya pemerintah punya solusi, karena banyak orang yang menggantungkan nasibnya di sini, banyak juga yang menjadi tulang punggung keluarga.
"Kita minta solusi kalau bisa jangan ditutup monza ini, karena nanti banyak yang pengangguran," katanya.
Parboaboa mengonfirmasi anggota DPRD Komisi IV Afif Abdillah,Senin (22/5/2023), terkait aspirasi para pedagang monza itu. Dia katakan, hasil rapat di DPRD Kota Medan thrifting atau monza akan dihentikan dulu sampai stoknya habis, dan meminta pemerintah untuk menstransisikan usaha para pedagang.
“Kalau saya lebih setuju dipajakin aja monzanya. Inikan yang diserang pedagangnya, tolong hukum importirnya, jangan hukum pedagang kecilnya, importir itu yang melanggar aturan bukan yang pedagang kecil ini,” katanya.
Sementara, bagi pedagang monza seperti Asmawati Manik, yang sudah menjadikan monza sebagai sumber percaharian selama hampir 30 tahun hanya bisa heran dengan larangan itu.
"Kenapa dari sekian lama baru ini dihebohkan, padahal ini ilegal sudah lama, sejak saya masih gadis monza ini sudah ada,"ucapnya heran.
*Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus edisi ‘larangan impor pakaian bekas’
Reporter: Ilham Pradilla
Editor: Tonggo Simangunsong