PARBOABOA, Jakarta - Kebocoran gas beracun H2S di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara (Sumut) telah menelan banyak korban jiwa dan ratusan orang lainnya mengalami sakit.
Gas beracun tersebut berhembus dari lubang sumur proyek geothermal milik PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) yang beroperasi di daerah itu.
Temuan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), pada 25 Januari 2021 semburan gas dari sumur bor proyek PT SMGP telah menyebabkan 5 orang tewas dan puluhan orang lainnya menjalani perawatan intensif.
Ke 5 korban adalah seorang petani remaja berusia 15 tahun, seorang ibu bernama Saturmi (46), Syahrani (14), Dahni, Laila Zahra (5), dan Yusnidar (3).
Mereka yang meninggal diidentifikasi sebagai warga yang sedang bekerja di ladang dan anak-anak di sekitar wilayah kerja PLTP Sorik Marapi.
Kejadian yang sama berulang pada Februari 2022, di mana 123 warga dua desa di daerah itu, Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga mengalami keracunan gas.
Semenjak itu, warga sering menjalani perawatan di Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan (Faskes) terdekat karena sering muntah-muntah, pusing dan pingsang.
"Korban yang terdata seratus lebih. Kemungkinan akan terus bertambah,” tutur warga Sorik Marapi, Saptar dalam rilis yang diterima PARBOABOA, Sabtu (24/2/2024).
Namun sayangnya, hingga saat ini rentetan tragedi maut yang menghantui warga belum diperhatikan secara serius oleh negara. Bahkah, dalam catatan JATAM proses penegakan hukum atas kematian warga tidak pernah dilakukan.
Pemerintah pernah memberikan sanksi terhadap PT SMGP, tetapi terbatas pada pemberhentian sementara operasinya pasca kasus yang menelan korban jiwa pada 25 Februari 2021.
JATAM menyayangkan pembiaran operasi perusahaan karena terbukti telah mengancam nyawa ribuan warga. Terutama mereka yang bermukim di Desa Sibanggor Julu dan Sibanggor Tonga, persis dua lokasi yang dikepung oleh pabrik geothermal PT SMGP.
Tak hanya itu, operasi PT SMGP juga menyebabkan menurunnya lahan pertanian warga karena berjarak tak sampai 100 meter dari lokasi geothermal.
Hal ini disebabkan karena semburan lumpur dan gas beracun mengaliri lahan warga, terutama sawah ditambah adanya rasa trauma untuk bekerja di tengah kepulan asap yang tiada henti.
Selain itu, JATAM juga menyangsikan dampak geothermal terhadap kesehatan warga yang sering mengalami batuk, pilek, demam, hingga sesak napas.
"Situasi ini tak pernah terjadi sebelum PT SMGP beroperasi," kata JATAM.
Proses Hukum Kejahatan PT SMGP
Apa yang terjadi di Mandailing Natal harus menggugah kepekaan negara untuk segera menunjukkan keberpihakannya kepada warga sebagai korban.
Dalam rangka itu, JATAM menagih kepada negara mengambil inisiatif untuk memulihkan dan memberi rasa keadilan bagi korban terdampak.
Antara lain, mereka meminta Kementerian ESDM, KLHK, dan Polri untuk segera memproses hukum kejahatan PT SMGP yang menyebabkan kematian warga serta proses hukum atas kerusakan lingkungan hidup.
JATAM juga menuntut pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM Cq Ditjen EBTKE dan KLHK untuk segera cabut izin operasi PT SMGP, memberi pemulihan terhadap warga yang menderita sekaligus memperbaiki lingkungan yang rusak.
Untuk diketahui, luas konsesi PT SMGP mencapai 62.900 hektar yang tersebar di 10 kecamatan dan 138 desa di Kabupaten Mandailing Natal.
Perusahaan saat ini baru beroperasi di Kecamatan Puncak Sorik Marapi dan Lembah Sorik Marapi yang mencakup 10 desa di dalamnya.
JATAM merekam, selain beberapa tragedi maut di atas, sejak kehadiran PT SMGP di Mandailing Natal, ada banyak catatan kelam yang telah mengorbankan warga.
Tak hanya terkait efek dan dampak buruk gas beracun, tetapi juga soal konfik sosial di tengah-tengah masyarakat, antara yang mendukung dan menolak kehadiran perusahaan.
Pada 20 Januari 2015 misalnya, terjadi bentrok kubu pro dan kontra di Kecamatan Lembah Sorik Marap menyebabkan satu orang tewas.
Tiga tahun berselang, tepatnya pada 29 September 2018, dua orang santri di Desa Sibanggor Jae, Kecamatan Puncak Sorik Marap, Irsanul Mahya (14) dan Muhammad Musawi (15) tewas tenggelam di kolam penampungan air pengeboran milik PT SMGP.
Kolam milik perusahaan ini disinyalir tidak memiliki pagar pengaman dan penjaga (Security).
Kemudian pada 14 Mei 2021, kebakaran dan ledakan di lokasi geothermal yang berjarak hanya 300 meter dari pemukiman penduduk membuat warga harus mengungsi.
Selanjutnya kebocoran gas beracun H2S terjadi secara beruntun. Pada 6 Maret 2022 kebocoran sebabkan 58 orang warga sakit, 24 April 2022 21 orang terpapar dan semburan lumpur panas merendam persawahan warga.
Lalu pada 16 September 2022 dan 27 September 2022, kebocoran menyebabkan masing-masing 8 orang dan 86 orang warga terdampak. Mereka mengalami keracunan hingga dirawat di Rumah Sakit